TUMBUH KEMBANG ANAK LEBIH BERMAKNA SAAT BERKAWAN DENGAN NODA
Oleh: Sri Mulyati
Judul
Buku: Cerita Di Balik Noda: 42 Kisah Inspirasi Jiwa
Penulis:
Fira Basuki
Penerbit:
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun
Terbit: 2013
Tebal:
xii + 235 halaman
ISBN:
978-979-91-0525-7
Harga:
Rp40.000
Apa
yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata “noda”?
Kotor,
bau, dan biasa menempel pada pakaian anak-anak. Begitulah yang mungkin Anda
jawab. Intinya, noda dipersepsikan sebagai sesuatu yang harus dihindari oleh
anak-anak. Noda menjadi pencetus aktifitas super ribet yang ujug-ujug-nya, merepotkan.
Faktanya,
noda tak seburuk itu. Noda itu indah. Noda itu bermakna. Noda ibarat pintu gerbang kreatif
anak-anak dalam masa tumbuh kembangnya. Tak percaya? Buku “Cerita di Balik
Noda” karya Fira Basuki adalah jawabannya.
“Cerita
di Balik Noda” memuat 42 kisah mengharukan dari 39 penulis Indonesia. Amanat
tentang budi pekerti yang luhur sangat kuat di buku ini. Ditulis ulang oleh
penulis kenamaan Fira Basuki, cerita-cerita tentang noda menjadi camilan ruhani
yang memikat dan bermakna. Seperti judulnya, sebagai “inspirasi jiwa.” Bahasanya
sederhana, alurnya mengalir, amanatya tersampaikan. Ketiga ramuan ajaib
tersebut sukses membuat saya menitikkan air mata pada cerita pertama.
Buku ini menyampaikan pesan bahwa noda
seharusnya dijadikan kawan, bukan lawan. Noda menjadi saksi tumbuh
kembang anak-anak. Saat noda hadir, kita jadi tahu apa yang mereka inginkan,
apa yang mereka pikirkan, dan apa yang telah mereka lakukan. Kebanyakan orang
dewasa (terlebih orang tua) menginginkan hal tersebut, bukan?
Di
balik noda terdapat empati. Seperti kisah “Agi tidak Pelit”, “Untuk Bu Guru”,
“Siluman Tikus”, “Nasi Bungkus Cinta”, dan “Celengan”. Beragam tokoh hadir
‘menyentil’ kita agar tak lupa berbuat baik pada orang lain.
Di
balik noda terdapat bakti seorang anak kepada ibunya. Seperti tokoh Acon dalam
cerita “Penangkap Ikan Cupang”. Acon mengotori baju baru pemberian emaknya demi
uang sebesar Rp8.000. Uang itu digunakan untuk membeli beras dan makanan.
Awalnya, baju baru itu Emak Acon beri agar dipakai Acon saat bertemu calon ayah
baru. Namun beliau tak marah, malah terharu.
Di
balik noda juga tersimpan kenangan. Seperti cerita “Bos Galak”, “Sarung Ayah”,
dan “Pohon Kenangan”. Jalinan cerita yang dirangkai oleh Fira Basuki pada “Bos
Galak” sangat menyentuh. Bagaimana kebaikan hati seorang karyawan bisa
meluluhkan bos galak lewat sebuah kue ulang tahun yang mengingatkan pada
mendiang anaknya.
“Cerita
di Balik Noda” kembali menyadarkan bahwa pada dasarnya berani kotor itu baik. Noda
yang menempel di tubuh anak-anak mencerminkan pengalaman yang mereka dapat. Pengalaman
itu akan menjadikan mereka semakin ‘kaya’ dalam hidup. Maka, kenapa harus
memermasalahkan noda? Toh noda bisa juga dibersihkan. Biarkan anak-anak
berkreasi sebebas mungkin.
Saya
jadi teringat peristiwa yang berkaitan dengan ‘noda’, saat saya dan teman
sekelas di kampus berwisata ke Bogor. Setelah menghabiskan waktu memancing ikan
mujair, satu per satu dipersilakan nyemplung
ke kolam ikan yang penuh lumpur. Awalnya sih, pada keki. Namun pada
akhirnya, kami semua menikmati noda yang menempel di sekujur tubuh. Ya, noda
yang berbalut kebersamaan! Menjalani kegiatan seperti ini bukanlah ide buruk
ternyata.
Setelah
membaca buku ini, saya lebih membebaskan adik-adik saya dalam bermain, terutama
yang berkaitan dengan noda. Adik pertama saya, Iza (kelas 5 SD), sangat suka
memasak. Sedangkan adik kedua saya, Ida, suka bersepeda. Ida masih TK dan ingin
bisa mengendarai sepeda roda dua. Maka, saya harus mendukung mereka sepenuhnya.
Iza harus yakin makanannya matang sempurna. Dapur yang kotor dan celemek yang
basah bisa dibersihkan. Ida juga tak perlu takut jatuh, karena jatuh itu biasa.
Yang terpenting adalah tetap berusaha, mengayuh sadel terus menerus. Kebiasaan berkawan
dengan noda akan membuat mereka lebih berkembang esok hari nanti. Siapa tahu Iza
akan menjadi koki handal dan Ida menjadi pembalap yang handal di masa depan.
Saat
ada noda di sekeliling, saya jadi lebih tenang. Tidak eksplosif. Anak-anak
tidak menyukai bentakan dan amarah (orang dewasa juga, kan?). Saya tidak akan
meneriaki adik-adik saya saat tetes es krim jatuh ke baju atau celana. Nanti
juga bisa dicuci.
Noda
juga bisa diartikan sebagai kesalahan. Maka, saat Ida masih salah mengeja,
tidak mengapa. Gadis imut berusia 5 tahun itu masih dalam proses membaca. Yang
terpenting adalah, setiap anggota keluarga mendukung kelancaran membacanya.
Noda
tidak hanya melekat pada adik-adik saya, tetapi adik-adik yang notabene anak
tetangga. Sekarang saya lebih mendukung mereka yang berlarian mengejar layangan
putus, bermain sepak bola, atau bermain hujan-hujanan. Kebahagiaan mereka
kebahagiaan kita juga :).
Membaca
“Cerita di Balik Noda” membuat saya lebih tertantang untuk tidak takut kotor. Ya,
jika anak-anak bisa demikian, mengapa saya tidak? Entah mengecat tembok rumah,
berkebun, memasak, atau membuat prakarya. Masa kalah dengan tokoh Nisa dalam
“Koki Cilik” yang telah sukses membuat cupcakes
dan kue lumpur?:P.
Kelak,
saat saya menjadi seorang ibu (aamiin), saya sudah siap dengan segala noda yang
di’ukir’ balita mungil. Ompol, noda makanan, mainan yang berserakan. Saya juga
akan membiarkan anak saya berkembang seperti anak-anak lainnya: bermain di
sawah; bermain layangan; berangkat sekolah sendiri; mencorat-coret tembok
rumah. Apa saja. Karena semuanya akan baik-baik saja. Insya Allah.
Well,
ternyata banyak yang bisa kita lakukan, bukan, saat kita berani kotor?
Yuk,
yuk, baca buku keren ini biar terinspirasi. Siapapun (ibu-ibu, bapak-bapak,
kakek-nenek, dan anak-anak muda) bisa menjadikannya sebagai pelengkap nutrisi
jiwa. Saya memberi bintang 4 pada buku ini. Bayangkan, saya langsung membacanya
setelah bangun tidur. Saya hanyut dengan cerita-ceritanya sampai akhirnya
rampung sebelum azan zuhur berkumandang. Serius, saya tidak hanya menangis
sekali, tetapi berkali-kali.
Sebagai penutup, saya berikan
potongan kalimat pada cerita “Harta Sebenarnya.” “Orang hebat itu yang kakinya menjejak tanah.” Maksudnya, jadilah
orang yang selalu rendah hati. Bagi saya, “menjejak
tanah“ juga berarti terus mencoba dan mencoba. Pantang menyerah meski jatuh
berkali-kali. Seperti tokoh-tokoh dalam “Cerita di Balik Noda” ini.
Selamat membaca! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar