Panas sepanas-panasnya. Jalanan berdebu.
Asap mengepul di udara. Turun dari angkot, kedua kaki Marr ditarik sekuat
tenaga. Langkahnya panjang-panjang. Dia melewati jalan beraspal dengan banyak
sisi berlubang. Rumah-rumah berdekatan. Jemuran bergelantungan. Bocah-bocah
kecil berlarian dengan ingus meleleh tanpa sapu tangan.
Di hadapan bangunan berdinding
batu-bata, Marr langsung melepas sepatu dan kaus kaki, melemparnya sembarangan.
Tasnya dia tumpuk di sebuah kursi yang sudah penuh oleh cucian yang baru
kering. Dia merebahkan diri pada kasur busa tipis, setipis badan remaja
tanggungnya. Kasur busa itu melengkung di tengah, menyisakan pegal tiap habis
tidur semalam.
Marr menyalakan kipas angin di samping
kasur, memencet tombol nomor tiga. Baling-baling benda itu perlahan berputar
cepat, menimbulkan sedikit gemerisik, mengeluarkan angin segar. Lega menjalari
dada Marr.
Marr bersiul-siul. Oh, ada langkah kaki
yang semakin dekat. Ibunya.
“Datang-datang nggak uluk salam. Urukane sopo kui?”
Marr mencium punggung tangan. Dia ambil
segelas es teh manis segar yang sudah ibu Marr taruh di atas meja belajarnya.
Celemek lusuh masih melekat pada tubuh wanita itu. Ada noda minyak di sisi atas,
ada tumpahan kecap di sisi bawah.
“Angkotnya Pak Po.” Dia menyebut nama tetangga
yang tinggal sepuluh langkah dari rumah. “Lagi malas naik kereta. Tadi Pak Po
nyuruh aku nggak bayar lagi, Bu.”
“Ck. Laki-laki itu.”
Wajah Ibu Marr juga berpeluh. Rambutnya
yang sudah beruban terjurai melewati kuping dan dagu. “Nanti malam antarkan
gorengan buat dia, ya. Nggak enak merepoti terus.”
“Sekalian aku mau ke rumah Kamto, Bu.
Mau ngerjakan tugas kelompok.”
Kipas angin terus berputar. Kali ini ibu
Marr turut mendekati benda berbaling-baling plastik itu. Ikut menikmati semilir
angin yang menerpa wajah dan punggung yang basah.
“Pakai sepedamu. Sudah Ibu perbaiki ke
bengkel tadi pagi. Ban dalamnya harus diganti. Sekarang makan dulu, lah. Nasi
di belakang masih hangat. Ibu baru goreng ayam sama tempe tahu.”
“Nanti saja. Aku ngantuk, Bu.”
“Kalau begitu, lepas dulu seragammu.”
Marr menuruti dengan malas. Dia berkaos oblong
dan bercelana pendek sekarang.
Kipas angin masih menyala. Deritnya
masih ada. Debu-debu yang menempel di permukaan plastiknya bertambah tebal
saja. Ibu Marr tersenyum, mengacak-acak rambut anaknya yang makin besar saja
tiap hari.
Sementara di luar, cuaca masih panas.
Langit bumi belum menurunkan hujan. Dan Marr sudah terjatuh di alam mimpi.
*
Pondok Aren, 21 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar