sumber: cokelatinridesu.blogspot.com
Saat masih merantau satu tahun lalu, saya ngekos
di salah satu rumah di daerah perumahan di Cimahi. Namanya perumahan, jadinya ya seperti
perumahan lainnya, nggak terlalu ramai seperti di daerah rumah saya yang hebring oleh suara anak-anak bermain. Tetangga
pun hanya satu yang dikenal (ibu-ibu penjual pulsa depan rumah). Masalah
pemenuhan kebutuhan sehari-hari sih, sangat terjangkau karena dekat dengan
warung retail warna merah-kuning-biru. Toko fotokopi pun hanya berjarak lima
puluh-an langkah. Kalau mau belanja pagi, di dekat masjid juga ada.
Yang jadi masalah adalah saat masih
lapar di malam hari dan bosan dengan menu tempe (yang digoreng sendiri). Nggak tahu
nih, di daerah orang jadi suka makan gini. Hehe. Maka, warung sate di dekat
kosan menjadi pilihan. Saya suka sate karena berdaging dengan bumbu kacang yang gurih.
Awal mulanya, saya mengira bapak
penjual sate ini dari Madura. Iya, benar sekali ternyata ketika saya bertanya kepada beliau. Karena di sana jarang ada orang yang berbahasa jawa, jadi, dengan bapak
inilah saya bisa mengeluarkan unek-unek saya *uhuk. Emang apaan :b. Seringnya si bapak menanyakan jumlah teman kos, biaya kos per bulan, hingga kapan jadwalnya pulang kampung. Lelaki yang
kira-kira berumur separuh abad ini ramah pisan,
euy. Beliau sendiri tetiba cerita tentang kelima anaknya yang sudah pada
besar-besar.
Yang menggembirakan adalah, saya nggak
hanya dapat teman ngobrol, tetapi juga sate.
Lah, emangnya beli sate dapat nasi
rendang gitu?
Maksudnya, tiap kali saya beli di
bapak tsb, saya selalu mendapat sate dengan tambahan entah satu tusuk atau dua tusuk. Pernah
tiga tusuk kalau nggak salah.
Duh, meski nggak banyak banget, perkara jumlah tusuk seperti ini, saya jadi
terharu. Harga seporsi tuh Rp8.000,00 (dapat sepuluh tusuk). Saya sering beli separuhnya, dan bapak
itu sering memberi tambahan. Dan kadang nggak pakai pemberitahuan. Hati pembeli
mana yang nggak terenyuh. Mungkin beliau tahu anak kos-kosan itu serba pas-pasan
hidupnya, jadi menghiburnya dengan cara yang seperti ini. Mungkin juga sebagai
bentuk sedekahnya bapak ini kepada saya. Walau bagaimanapun, saya terhibur.
Apalagi kalau udah laper, galau, pengen nangis kenceng, nggak ada temen curhat,
rasanya… speechles. *apaan sih. Makasih atas kebaikanmu, Pak. Semoga Gusti Allah membalas.
Intinya, bapak penjual sate yang belum diketahui namanya ini sudah memberikan contoh yang baik kepada saya. Hikmahnya, berbagi. Tahu, nggak? Beberapa kali saya dapati beliau dikasih uang lebih sama pembeli. Yang memberi itu biasanya baru pulang kerja. Mungkin mereka salut juga dengan seorang lelaki yang sudah sepuh tapi masih eksis bekerja, mencari nafkah yang halal.
Jadi, kalau membahagiakan orang lain, bakal dijamin diri sendiri juga bahagia...
Anyway, saya jadi pengin makan sate lagi, nih :)
|