Sumber gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Stasiun_Bangil
Aku
menggenapkan langkah keseratus saat tiba di stasiun ramai ini. Stasiun Bangil.
Stasiun yang berdiri di sudut pertigaan jalan pantura. Langkahku diiringi oleh
langkah mereka yang serba cepat. Orang-orang yang membawa koper-koper itu
mungkin tak sabar sampai di tempat kerja, pulang, begitu seterusnya. Hingga
tiba di penghujung akhir bulan, saat mereka menerima gaji.
Tentu
aku berbeda dari mereka. Aku tak ingin naik kereta api. Entah itu kelas
eksekutif, bisnis, atau ekonomi. Aku hanya membutuhkan kedatangan kendaraan
beroda baja itu. Lima menit saja. Aku juga tak ingin matahari pulang ke
peraduan cepat-cepat. Karena satu hari –satu hari saja— sangat berarti bagiku.
Aku yang berkalung tali usang, bergelang untaian puluhan bungkus kopi, dan berpangku
belasan gelas mie cepat saji. Bagiku, stasiun bukanlah tempat bertemu atau
berpisah. Stasiun juga bukan hanya sekadar tempat menunggu. Jika diibaratkan
tubuh, stasiun serupa jantung yang harus sering dikunjungi.
“Tak
sekolah lagi, Cong1?” Pak
Halim, penyedia informasi, menyadari kehadiranku. Aku memang terbiasa berdagang
pada sore hari. Aku hanya membalas dengan senyuman. Bagiku, tak penting
menceritakan mengapa aku tak sekolah hari ini, juga dua hari lalu. “Pesan kopi
panas satu, ya. Antar ke Ruang Informasi.”
Aku
tersenyum dan mengangguk. Dengan cekatan kutaruh bubuk kopi itu ke dalam gelas
plastik. Aku selalu hapal selera kopi Pak Halim. Kopi tanpa rasa. Bukan rasa
mocaccino, vanilla, chocholate, atau yang lain. Dan pilihannya tak pernah
berubah. Setelah bubuk kopi larut dalam air panas, segera kuantar ke ruang
informasi yang ia sebut. Pak Halim adalah salah satu langganan terbaik.
Terkadang kembaliannya diberikan kepadaku. Entah lima ratus rupiah, entah
seribu rupiah.
“Kembaliannya
buat kamu saja,” seperti pagi ini. Seribu lima ratus rupiah yang kugenggam tak
berpindah tangan.
“Ini
terlalu banyak, Pak Halim.” Aku tak mau mengandalkan belas kasihan orang lain,
hanya karena aku sedang tak sekolah dan terlihat membutuhkan uang.
Lelaki
itu tersenyum. “Sudahlah, ambil saja, Cong.
Dengan begitu, daganganmu cepat laku. Dan kamu lebih cepat pulang. Oh, ya. Lebih
berdagang sore hari saja, setelah kamu sekolah. Penumpang juga lebih ramai pada
waktu itu. Doa ibumu agar jadi anak yang pintar biar tak sia-sia.”
Aku
malu mendengar perkataannya. “Terima kasih, Pak Halim. Ini hari terakhir saya
bolos. Semoga rejekinya tambah lancar.” Lantas aku berlari menuju enam gerbong Kereta
Penataran yang baru saja berdecit. Sepuluh menit tak boleh kusia-siakan.
“Mie, Mie! Kopi, kopi! Mie-nya cuma enam ribu
rupiah. Kopinya cukup tiga ribu rupiah. Mie, mie. Kopi, kopi!” kususuri gerbong
demi gerbong. Berpacu dengan pedagang lain.
Kusapa
penumpang dengan uluran kopi dan mie di tubuhku. Sayang, hingga gerbong keenam
pun, dan aku kembali ke gerbong semula, tak ada yang mau membeli. Mungkin
mereka sudah sarapan subuh tadi. Masih ada cadangan energi di tubuh mereka. Aku
tak boleh menyerah. Uang di kantong celanaku belum genap dua ratus ribu rupiah.
Aku masih punya tiga perempatnya. Aku harus berusaha.
Lengkingan
peluit pendek diiringi satu siulang panjang terdengar. Aku melepas kereta
dengan ikhlas. Mungkin rezekiku bukan sekarang, mungkin nanti. Kuhabiskan waktu
dengan bercengkerama dengan pedagang lain. Tentang pertandingan sepak bola.
Sesekali tentang cuaca.
Benar
saja. Mutiara Timur Pagi seperti menyambut kedatanganku. “Kopinya satu, Dik.
Yang gambar kapal. Rasa original.” Seorang lelaki paruh baya berjaket kulit
memanggilku. “Ngantuk, nih. Pengin kopi.”
“Sebentar
ya, Pak.” Tak sadar senyumku mengambang. Kuucapkan terima kasih untuk tiga ribu
yang kuterima.
“Mie-nya
lima!” seorang ibu berseru dari balik jendela. Empat gadis kecil duduk
mengitarinya.
“Oh,
monggo, monggo.” Sampai gemetaran aku
melayani pesanannya. “Rasa baso atau rasa ayam?”
Aku
melepas kepergian Mutiara Timur menuju tujuan akhirnya, Surabaya. Bahagia
menyelusup di diriku. Uangku bertambah. Tapi masih belum cukup. Aku butuh dua
ratus ribu rupiah. Dan aku masih harus mencukupi seperempatnya.
Kursi
besi yang kududuki ini, menjadi saksi bisu perjalananku selama satu bulan
terakhir. Ibu memang tak pernah melarangku bekerja, asalkan tak bolos sekolah.
Tapi, aku terpaksa mengingkari janji itu. Demi ibu juga. Ibu yang setiap
harinya menjejakkan kedua kaki ke mesin jahit. Menghasilkan baju-baju pesanan
tetangga. Yang upahnya untuk memenuhi kebutuhan sekolahku. Yang penglihatannya
semakin kabur oleh usia. Mungkin ibu sekarang sedang menjahit seragam anak Bu
Minah yang diserahkan tempo hari. Tak lupa dengan siaran radio yang disetelnya.
Perlahan,
mendung tampak. Awan yang putih tiba-tiba kusam. kilat diiringi petir
terdengar. Cuaca telah berubah. Rel-rel panjang stasiun terpercik oleh air
hujan yang menderas. Aku menggigil. Siang yang cerah menjadi pekat. Orang-orang
pergi dari stasiun. Tak juga aku.
Aku
harus bertahan. Tak ada selimut hangat harus membuatku tegar. Sendirian
membuatku lebih menikmati hujan. Dua jam, dua jam saja menunggu Sri Tanjung
lewat. Seperti yang dikatakan Pak Halim. Kuharap penumpang banyak dan ramai,
hingga aku bisa pulang membawa sesuatu untuk ibu.
Bibirku
membiru. Tubuhku menggigil kedinginan. Aku baru ingat kalau belum sarapan.
Kuharap detik-detik berlalu lebih cepat. Kuharap kereta datang terlalu cepat. Kutelungkupkan
kedua tangan ke dada, berharap kehatangan menjalari tubuhku.
Tuhan
selalu Maha Cinta. Ia membuatku tertidur meringkuk, dan membuatku terbangun
kala kereta berwarna jingga itu datang. Aku berlari menuju Sri Tanjung yang
berhenti. Kulantangkan suaraku. Kusapa satu demi satu penumpang lewat
jendela-jendela gerbong.
“Mie,
mie. Kopi, kopi. Rasa baso, rasa ayam. Rasa cappuccino, mocaccino, vanilla,
original. Monggo, monggo.”
Lantas
pesanan demi pesanan datang. Hujan tak hanya menurunkan pasukan tetes air, tapi
juga berkah lain bagiku. Kini uangku genap dua ratus ribu rupiah. Saat senja,
aku bersiap pulang.
Kususuri
jalan. Sebuah toko beretalase bening masih buka. Dua ratus ribu itu kini
melayang. Tapi aku tak takut lagi menyesal. Kini, aku mengendap-endap ke dalam
rumah. Kuharap ibu sedang terlelap di ranjang kayu miliknya. Ia terlalu lelah. Syukurlah,
ibu benar-benar tertidur.
Aku
berbisik di dekatnya, meletakkan benda bening itu di meja tuanya. “Ibu, biarlah
aku bolos tiga hari saja. Tiga hari alpa takkan membuatku tinggal kelas.
Lagipula, guru-guru takkan merindukan kehadiranku yang tak istimewa. Aku yang
bukan juara kelas. Aku yang biasa-biasa saja.
Ibu,
ini memang bukan hari ibu. Tapi kuharap, kacamata ini bisa membantumu, menjahit
lebih baik hari demi hari. Demi kita.”
Tak
kuasa aku menahan tangis. Aku menyayangi ibu. Aku tak mungkin mengkhianati
pengorbanannya dengan bolos lagi. Aku akan masuk sekolah esok hari. (Dimuat di Ruang Publik Radar Bromo, 3 Maret 2013)
*
Catatan
kaki
1. Cong
= panggilan untuk anak laki-laki
|
wah, bagus mul.
BalasHapusselamat ya
tapi kalau harga jualannya genap, kenapa ada kembalian 1500?
#bingung. hehe
wah, iya py. anggap aja si bapak ngasihnya 4500 :D
BalasHapus