Dalam
kesusasteraan Indonesia, keahlian berpuisi Sapardi Djoko Damono tidak perlu
diragukan lagi. Bisa dipastikan, masyarakat akan terus mengaitkan namanya
dengan puisi “Hujan Bulan Juni”. Ya, bait-bait ciptaannya itu seakan abadi,
lekat pada ingatan pembaca.
Ada
satu fakta menarik tentang SDD. Selain pandai menulis puisi, beliau ternyata piawai
menulis cerita, esai, kolom, artikel, dan terjemahan berbagai karya asing. Mungkin
sangat berkaitan dengan latar belakang akademis beliau sebagai guru besar
Fakultas Ilmu Budaya UI.
Baru-baru
ini, terbit kumpulan cerita SDD berjudul “Malam Wabah” dan “Pada Suatu Hari
Nanti.” Kedua judul tersebut sebenarnya dua buku yang digabungkan dalam satu edisi
atau satu jilid. Mengapa? Gunanya untuk memisahkan tema yang ada.
“Malam
Wabah” merupakan buku berisi 13 kisah, menghadirkan tokoh, alur, beserta konflik
cerita –seperti ketentuan penulisan cerita pada umumnya—. Uniknya, para tokoh
yang terlibat adalah benda-benda mati, dapat mengisahkan persoalan mereka.
Mulai dari rumah-rumah, sepatu tua, hingga dedaunan jeruk purut di atas pagar
rumah sepasang suami-istri.
Seperti
cerita “Rumah-rumah”. Dikisahkan tiga rumah berdekatan dan bisa berbicara. Rumah
Nomor 11 membenci diri sendiri karena tidak bisa memilih pemiliknya. Penghuni
rumah pun selalu pulang dan pergi sekehendak hati (hal 2).
Rumah
Nomor 13 selalu mengeluhkan keributan sepele keluarga Rumah Nomor 11. Pada
dasarnya, dia sebal bukan karena keributan di sana, melainkan status
“dikontrakkan” pada dirinya, tetapi belum berpenghuni.
“Saya
tidak tahu Saudara siapa, tetapi saya sangat mengharapkan agar Saudara-lah yang
nanti mengontrak saya. Saya suka kepada Saudara karena Saudara kadang-kadang
membaca cerita pendek —oleh karena itu, tentunya melek huruf, sabar, cerdas,
berpengetahuan luas, intelek, hanya saja tidak mampu membeli rumah” (hal 3).
Sementara
itu, Rumah Nomor 15 sering berdebat dengan Rumah Nomor 13. Renovasi setengah
jadi yang menjadikan rumah itu tak sempurna –dan katanya berhantu—, sering
menjadi penyebab olokan Rumah Nomor 13.
Jika
cerita-cerita pada “Malam Wabah” terkesan baru, maka “Pada Suatu Hari Nanti”
memuat 10 kumpulan cerita atau dongeng lama–baik lisan maupun tulisan— yang ‘dipelintir’
menjadi versi yang lebih berbeda. Mulai dari Ken Arok, Rama dan Shita, hingga
Malin Kundang.
Malin
Kundang yang kita kenal pasti lelaki miskin yang merantau ke negeri seberang. Sukses
sebagai pedagang ditambah memiliki istri cantik membuat Malin lupa pada ibunya
sehingga dikutuk menjadi batu.
Dalam cerita berjudul “Sebenar-benar Dongeng
tentang Malin Kundang yang Berjuang Melawan Takdir Agar Luput dari Kutukan Sang
Ibu”, Malin tak sepenuhnya anak kurang ajar.
Malin
memang dikutuk menjadi batu. Tapi, saat kutukan ibunya mengenai perahu dan para
awak, dia lompat ke laut, lantas mencari-cari ibunya di segala tempat agar
mendapat permintaan maaf keesokan hari (hal 75).
“Setiap
kali pasar bubar, Malin tidak tahu mesti ke mana karena lupa letak rumahnya.
Kalau malam turun, Malin duduk di pasar sepi, yang dibersihkan oleh beberapa
tukang sampah yang sama sekali tidak pernah memperhatikannya. Ia tetap setia
menunggu. Siapa tahu besok-besok ada perempuan yang ikhlas mau mengaku sebagai
ibunya dan menerima permintaan maafnya (hal 82).”
Kumpulan
cerpen ini tentulah unik. Pembaca disajikan alur cerita berbeda dengan cara bertutur
yang tak hanya prosa-prosa, bisa juga hanya kumpulan potongan dialog, namun
tetap filosofis.
Kelebihan
lain adalah kover menarik dengan lukisan artistik. Kemasan per judul buku
dibuat bolak-balik, mengingatkan kembali pada dwilogi Padang Bulan dan Cinta di
dalam Gelas karya Andrea Hirata.
Ini
akan membuat geliat karya sastra semakin semarak di perbukuan tanah air. Apalagi,
ciri khas SDD tetap hadir, dengan kalimat-kalimatnya yang sederhana namun puitis.
Judul
: Malam Wabah & Pada Suatu Hari Nanti
Penulis
: Sapardi Djoko Damono
Penerbit
: Bentang Pustaka
Tebal
: 88 halaman dan 94 halaman
Terbit
: Cetakan I, Juni 2013
Harga
: Rp49.000
ISBN:
978-602-7888-40-1
*dimuat di Koran Jakarta, 6 Juli 2013