I
Aku duduk di beranda rumah ditemani
emak. Anak-anak tetangga berkumpul di depan halaman rumahnya yang luas. Mereka
bermain jemblong singit. Salah satu
dari mereka menangis karena harus jaga terus. Akhirnya ada yang mengalah, hingga
satu per satu pulang karena hujan. Halaman rumah jadi sepi. Aku dan Emak masuk ke
dalam rumah.
“Ngomong-ngomong,
teman mondok kamu dulu itu mau menikah lo, le? Syafi’i namanya.” Kata emak
membuka percakapan. Topik yang sama selama satu minggu. Mungkin juga sama untuk
mingu depan.
“Iya. Sudah tahu kok, Bu.” Jawabku asal.
“Kamu kapan nyusul?”
Kugaruk-garuk kepala yang tak gatal.
Pertanyaan ini lagi. Emak, aku sudah berusaha untuk mendapatkan belahan jiwa, mati-matian.
Aku sudah bersosialisasi dengan banyak orang. Namun belum menemukan jawaban. Kata-kata
“Emak nggak minta apa-apa”, dan “Emak cuma pengen kamu lekas punya cucu” telah
cukup membuatku paham. Namun, namanya takdir, siapa yang bisa menebak? Aku
bersosialiasi, bertemu banyak kawan. Pekan kemarin, aku telah berusaha
mendekati Ning Mimin, guru satu madrasah. Sayang, telah ada seseorang yang
memberi kepastian. Aku selalu merasa tak cocok dengan perempuan-perempuan yang
pernah kutemui.
“Doakan saja ya, Mak.” Aku tahu, tanpa diminta
pun, emak telah merapal doa dalam tiap ba’da salatnya. Aku juga tak ingin
terburu, meski batas waktu seakan terus memburuku. Umurku telah kepala tiga.
Aku adalah seorang guru madrasah. Gajiku lumayan dengan kehadiran dua sapi di
kandang rumahku. Aku sudah berusaha bersabar. Bertahun-tahun. Menanti dan
menanti. Namun, aku juga manusia. Kesabaran ada batasnya. Apa harus bersabar
terus-terusan?
Jendela basah oleh hujan. Hujan, mungkinkah
aku bertemu dengannya, seseorang yang bernama entah di tengah derumu yang
deras?
*
II
Aku masih menatapnya. Mataku perih
karena memandangi komputer butut ini terlalu lama. Ujian akhir tahun segera
tiba. Dari sekian guru yang berada di sekolah dasar, hanya aku yang dipercaya
sebagai penanggung jawab soal. Mengetik berlembar-lembar, lalu mencetaknya
berpuluh kali lipat. Tiap lima belas menit, aku melayangkan pandangan pada
tembok rumah yang bercat kuning lusuh agar mataku kembali segar. Setelah itu mengetik
lagi, mengedit lagi.
Pikiranku
melayang. Kudengar dialog-dialog di sinetron kesukaan ibu.
“Kamu pergi terlalu lama. Aku telah
menunggumu!” kata seorang wanita dengan suara serak tertahan. Pedih. Pasti
wajahnya sedang muram.
“Maafkan aku..” diiringi dengan suara
musik yang mengharu biru. Pasti lelaki di sinetron itu mengiba-iba, sampai
berlutut di hadapannya.
Kutirukan dialog itu, dengan ekspresi
yang lebih dramatis. Dengan bibir yang kumaju-majukan. Aku tertawa, menertawai
nasib. Bisa ditebak, berates episode itu akan berakhir bahagia, selama-lamanya.
Apa aku sudah diracuni televisi?
Novel-novel yang kubaca? Puisi-puisi yang bertebaran di toko-toko buku? Aku
menggigit jari. Jauh di lubuk hati, aku juga ingin merajut kain-kain halus
untuk kaus kaki anak-anakku kelak, lalu terkantuk-kantuk, nyaris tertidur.
Setelah itu, aku benar-benar terlelap di atas kursi sofa yang empuk. Tengah
malam, orang yang istimewa mengambilkanku selimut agar aku tak kedinginan dan
digigit nyamuk. Intinya, aku tak mau hidup dalam kesendirian.
Aku juga ingin ada seseorang yang menggombal.
Sok cuek, tapi bisa memberi kejutan ulang tahun, menyulap restoran berhiaskan
lilin yang temaram.
Untuk sejuta kalinya aku berdoa, berdoa
dalam kesepian. Doa yang sama dengan doa ibu, ayah, dan kedua kakakku. Semoga
Tuhan memperkenalkanku dengan seseorang. Yang bisa menggandengku ke masa depan.
Menyusuri jalanan berbunga, dan berbelanja di pasar tradisional. Entah kapan.
Aku telah bertemu banyak orang, banyak teman. Namun hatiku belum berpaut.
Apa aku memang tidak ditakdirkan, Tuhan?
Ah, berhenti berpikir negatif. Berhenti. Berhenti. Bukankah semuanya sudah
tergores di langit maha mulia? Ya, kan?
Aku menanti. Tetap menanti. Berharap,
meski sering nyaris putus asa.
Lalu, aku pun tertidur pulas di tengah
hujan. Tak sadar, emak membalutkan selimut ke tubuhku.
*
I
Mimpi apa aku semalam? Bangun mendadak
siang. Ban sepeda bocor. Menunggu diperbaiki selama setengah jam. Lalu tergesa
menuju sekolah agar tidak terlambat mengajar. Belum aku diminta mengayuh sepeda lagi ke
dinas pendidikan, mengantar sebuah laporan.
Urusanku telah selesai. Aku mau pulang. Tenggorokanku
panas. Cuaca terik. Dari dinas pendidikan ke madrasah, jarak cukup jauh.
Syukurlah hujan mulai turun. Aku bisa rehat sebentar. Rintiknya semakin deras.
Kupilih turun sebentar di sebuah halte di pinggir jalan.
Lama. Hujan ini terlalu lama. Perutku
keroncongan. Tapi aku tak boleh terus mengeluh. Kususuri pemandangan. Bus antar
kota yang melaju, mencipratkan sedikit air. Pengendara sepeda motor yang
memakai jas hujan, dan sedikit anak SMA yang baru pulang sekolah.
Aku baru tersadar kalau aku tidak
sendirian. Sesosok perempuan nyata duduk di sampingku. Dia sedang duduk tenang.
Menanti angkutan datang atau dijemput? Entahlah. Sontak aku menggali ingatan,
dia adalah ibu guru yang pernah kutemui pada sebuah pembinaan. Namanya Jannah.
Ya, Jannah.
Terakhir aku bertemu dengannya, dia
adalah sosok guru yang ramah, telaten, meski agak cerewet. Tetapi, lihatlah,
mengapa aku baru menyadari kalau ia punya mata seteduh itu? Mengapa rasanya kakiku
tak berpijak? Inikah jatuh cinta? Jatuh cinta setelah sekian lamanya menanti.
Aku jatuh cinta di tengah hujan.
“Jannah..” dia menatapku. Aku memberinya
sebuah senyuman. Dia terkaget. Kuperkenalkan diriku. Dia tersenyum, menertawai
kelupaannya. Entah mengapa, firasatku mengatakan dialah yang akan menjadi
piihan untuk masa depan.
Samar, harum bunga menyeruak di
sekelilingku. Membuat suasana lebih hidup. Membuat hatiku lebih segar. Aku
gembira tak terkira. Semoga ini jawaban dari Tuhan atas doa-doaku.
*
II
Mimpi apa aku semalam? Hari ini, anak-anak
tak bisa diatur. Aku sampai kelelahan dibuatnya. Syukurlah aku bisa pulang. Tentu
setelah mengambil fotokopian soal yang banyak dengan penantian super lama.
Bosan. Agak bosan juga duduk
terus-terusan di halte ini. Terlebih hujan telah turun. Tapi aku merasa aku tak
sendirian. Benar, ada seseorang memanggilku. Suara lelaki. Aku menoleh
kepadanya. Dia mengenaliku! Dia menyebut namaku. Lamat, aku mengingat akan
sosoknya. Dia guru madrasah yang pernah kutemui dalam sebuah pembinaan, namanya
Akbar. Aku kagum akan semangatnya mengajari puluhan siswa berikut resolusi
perpustakaannya. Pernah kuintip jemari tangan kanan dan kirinya, siapa tahu ada
cincin tersemat di situ. Tidak ada. Tapi aku tidak terlalu yakin dulu. Kuanggap
diriku masih seperti anak kecil.
Dia menanyaiku banyak hal. Tentang
sekolah. Tentang rumah. Dan tentang keadaan. Tiba-tiba ada sebuah jawaban menyelusup
ke dalam hatiku, suatu pertanda. Inilah orangnya. Kami pun bercakap-cakap.
Lama.
Aku tersenyum. Rupanya aku jatuh cinta
di tengah hujan. *
Footnote: Ini adalah cerpen yang pernah saya kirimkan ke redaksi koran di kota saya. Nggak diterima sih, alias ditolak #pukpukmumul :D. Tapi saya senang karena tulisan ini bisa selesai. Hore!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar