Aku anak pertama dari empat bersaudara. Namaku Mei.
Ya, aku lahir di bulan kelima tanggal sepuluh pukul enam pagi. Ibuku bilang, beliau
menamaiku Mei biar gampang. Gampang membuat akta kelahiran, gampang hapalan
dalam kelas –tidak di awal tidak pula diakhir saat dipanggil bu Guru, dan tentu
saja, gampang dalam menulis nama di ujian. Asal kamu tahu, namaku bukan Mei
Hwa, Mei Intansari, Mei Kusumadewi, atau yang lain. Namaku Mei. Mei saja.
Pasti kamu
bertanya-tanya, apa kaitan payung dengan aku, seorang Mei?
Begini. Sebagai
seorang anak, kamu pasti pernah mendengar nasihat orang tua untuk selalu
membawa payung di musim hujan, bukan?
Aku yakin
seratus persen, tidak ada yang menyuruh kamu membiarkan benda yang bisa
mengembang itu tergeletak di pot besar rumah saat kilat sudah mulai
menyambar-nyambar. Aku juga ragu, kalaupun tak bawa payung karena kamu naik
motor, pasti terselip jas hujan di jok dudukmu. Ibuku bilang, tak baik kalau
hujan-hujanan. Bisa jadi aku demam setelahnya. Senjata paling pamungkas adalah
payung.
Begitu juga
dengan teman-temanku. Di musim penghujan seperti ini, payung mereka
warna-warni. Merah totol-totol, biru polos, sampai warna-warni pelangi yang
berseri. Payung-payung itu akan mengembang sempurna saat serbuan air menyerbu
tanah bumi. Ada malah, temanku yang suka mengoleksi payung. Beberapa payung
favoritnya dibeli di negeri empat musim.
Aku sendiri,
aku tak pernah bawa payung. Aku lebih senang hujan-hujanan, berkecimpung dengan
genangan air, bulir-bulir yang menetes dari lampu jalan, dan juga pakaian basah.
Aku tak peduli dengan seragamku yang kotor. Toh aku punya pakaian cadangan dan
aku mencuci sendiri seragam-seragam itu. Kalau sudah menjejakkan kaki di rumah
dengan rambut yang sudah layu, tas yang sudah didekap di dada, raut ibuku akan
berubah. Ibuku tak marah, mungkin sudah menyerah dengan kelakuanku.
Hujan
barusan sungguh istimewa, seperti hujan-hujan sebelumnya. Bebanku seakan
terangkat seiring dengan menguapnya panas tanah ke udara. Aku juga banyak
menemui anak kecil yang bermain bola. Yang perempuang berlari-larian dengan
temannya.
Hmm.
Secangkir cokelat panas sangat cocok untuk menghangatkan badanku.
Namaku Mei.
Kamu mau bermain hujan denganku? Atau kamu mau duduk-duduk bercengkerama dengan
secangkir cokelat panas juga? Datanglah ke rumahku. Rumahku dekat perempatan
jalan, di samping toko bakeri yang tak pernah sepi. Pagar rumahku bercat putih
dengan bel di dekat pintu (oh, tentu saja).
Besok, hujan
tidak, ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar