Bagi kebanyakan perantau, tanggal merah berantai diibaratkan sebagai
durian runtuh. Inilah kesempatan emas untuk pulang ke kampung halaman. Rehat
sejenak sebelum kemudian balik lagi ke tempat asal. Tanggal merah berarti
menyelamatkan sebagian kecil penghasilan karena nggak bakal dipotong oleh
selembar kertas Surat Izin.
Well, itu juga berlaku bagi
saya. Di ujung tahun 2015, ada empat hari libur yang bisa saya pergunakan untuk
pulang ke rumah. Dari tanggal 24 Desember sampai 27 Desember. Rumah saya di
Jawa Timur. Sedangkan tempat rantau saya di Jawa Barat. Actually it’s the
perfect time. Jadi saya bisa berangkat Rabu malam tanggal 23, balik hari Minggu
sore tanggal 27.
I used to go home with train.
Saya belum pernah mudik dengan bus, pesawat, atau bahkan kapal laut sebelumnya.
Belum naik bus karena sudah tahu bakal capai di perjalanan duduk terus (kalau
di kereta bisa jalan-jalan di gerbongnya). Belum naik pesawat karena belum
sempat dan terhitung mahal buat saya. Dan tentu saja, nggak bakal naik kapal
laut karena malah membuat saya lebih rempong
nantinya.
Rabu malam saya berencana berangkat. Hari Seninnya, saya santai saja.
Belum beli tiket! Lama-lama rasa santai itu berubah jadi rasa khawatir.
Jangan-jangan udah nggak ada kursi kosong. Jangan-jangan orang-orang nggak ada
gitu yang cancel tiket dari Bandung ke Surabaya.
Mulailah saya agresif buka web sana-sini. Hampir aja nyerah, di layar
hape saya akhirnya tertera satu pesanan kosong jurusan Tasikmalaya-Surabaya
Gubeng (yey dapat!). Esok harinya saya dapat kursi Malang-Tasikmalaya dengan
Malabar untuk balik ke tempat kerja. First one is business class and the last
one is excecutive class. Haha. Jangan tanya kenapa pilih kelas nomor satu untuk
Malabar. Karena tanpa bertanya pun saya akan bercerita. Tiket eksekutif adalah
satu-satunya sisa tiket yang ada. Jadi, saya tak punya pilihan. Saya ambil
saja. Toh saya juga suka :)
Rabu malam, saya sudah membayangkan. Saya akan berangkat dari Tasik pukul
tujuh malam dan tiba di Stasiun Surabaya Gubeng kamis pagi, pukul 05.30. Pas
nyampai Surabaya, saya akan membelah kota dengan Gojek kesayangan sampai
terminal Purabaya. Setelah naik gojek, saya bakal naik bus yang langsung cussss
melalui berbagai kota di provinsi sehingga saya bisa sampai rumah jam 08.00
(dua setengah jaman aja gitu looh).
Itu bayangan a.k.a harapan saya.
Di kereta Mutiara Selatan yang penuh, saya memilih tidur, sesekali
memutar Joox, aplikasi musik a la a la anak gaul sekarang. Penumpang di samping
saya, seorang pemuda, memilih tidak membuat percakapan. Saya pun juga.
Kota-kota melesat dalam kejapan mata. Sebentar melek sampai Yogyakarta,
sebentar melek udah sampai Jombang.
Saya memang beneran tiba di Gubeng pukul setengah enam pagi. Tak lama
naik ojek yang saya pesan via android. Ojeknya memang cepet banget daripada naik angkutan terus disambung naik bus kota sehingga saya sudah di terminal pukul enam pagi.
Wow. Pucuk dicinta ulam pun tiba! Ada bus yang keluar gerbang terminal yang bisa saya naiki. Jurusannya Surabaya-Banyuwangi. Pas lah kalau begitu. Kondekturnya berseru-seru, “Jember! Jember!
Probolinggo!”
Terus saya berusaha masuk ke bus setengah berlari.
“Pasuruan, Pak?” sedikit memastikan saya dibolehkan naik. JFYI, terkadang
kondektur nggak mau ngangkut calon penumpang yang turun di Pasuruan. Alasannya
simpel, trayek Surabaya-Pasuruan dianggap terlalu pendek. Ongkos yang diterima
moda ini bakal lebih murah. Berbeda jika yang naik dari Jember yang lebih jauh,
duitnya lebih banyak....
“Iyo, Pasuruan. Ayo, masuk. Kasih jalan. Pak, geser, Pak. Geser!”
Oh yes. Saya boleh naik. Kondisi bus saat itu bisa dideskripsikan dengan
banyak penumpang. Sisi kanan penuh, sisi kiri juga tidak berbeda. Banyak yang
terpaksa berdiri sambil menopang badan seadanya. Ini nggak pakai AC. Di pikiran
saya adalah, nggak papa lah, saya berdiri saja. Apa yang mau saya harapkan.
Yang penting dapat pulang ke rumah secepatnya.
Ngeeeng. Bus keluar menuju tol. Kondektur mulai bekerja dengan menariki
ongkos satu per satu. Saat ditagih, saya sedikit protes –dalam hati-, kok lebih
banyak ya tarikannya. Sampai lima belas ribu. Biasanya cuma dua belas ribu. Karena
ini hari libur, ya sudahlah. Sedikit memberi buat si kondektur.
Perut saya sebetulnya antara lapar-nggak lapar. Di dalam tas ada
sebungkus Roti O yang masih hangat (dibeli waktu di stasiun). Kalau saya makan,
bolehlah difungsikan sebagai pengganjal perut. Sampai rumah baru bisa makan
nasi hangat buatan Ibu dengan segelas teh hangat pula yang menggoda.
Saya memutuskan berjongkok (meniru ibu yang ada di samping saya) sambil
nithili sobekan roti. Hmm. Lumayan enak.... Yang lainnya apa nggak tertular bau
roti gitu, yaa?
Tanggal 25 memang hari istimewanya teman-teman non muslim. Tapi bagi yang
lain, tanggal berapapun, kalau merah, bisa sangat berarti karena bisa liburan, istirahat,
atau sekadar nonton tivi di rumah. Iya. Di samping kanan saya sudah ada ibu-ibu
dengan anak-anak kecil dan bapak-bapak. Yang lain, yang saya duga masih
melajang seperti saya, memakai tas ransel. Melempar pandangan pada jalan raya.
Mungkin mereka mroyek di Surabaya,
pulang sepekan sekali.
Saya masih asik dengan sobekan roti itu ketika tiba-tiba bus mengeluarkan
bau nggak enak. Seperti ada yang terbakar. Saya santai aja, tapi beberapa orang
mulai berseru-seru, “Ambune ndak enak!
Ambune ndak enak!”
Sekejap saja para penumpang dilanda panik. Sopir memutuskan menepikan bus
di pinggir jalan tol yang sedang ramai. Penumpang berdesakan keluar bus.
Termasuk saya. Saya pengin selamet. Nggak peduli dengan tas ransel yang bersandar
pasrah di dekat kursi penumpang belakang.
Singkat kata, yang saya dengar dari penumpang lain adalah bus menepi
karena bau kampas. Remnya eror. Busnya juga sudah renta. Kata Google, yang kayak
begini sering terjadi karena terlalu sering menginjak rem saat di tanjakan
tinggi.
Tapi nggak usah khawatir. Nggak usah khawatir kalau nggak ada yang
bilang, “Aku udah pengalaman, dan aku nggak mau. Disuruh tetep naik bus berbau
kampas tapi pada akhirnya ada yang ndak selamet.”
JENG. JENG. Seperti mendengar kabar buruk di sinetron-sinetron, nyali
saya ciut juga.
Berpuluh penumpang menepi di pinggiran jalan tol, memandangi mobil, bus,
truk yang melesat sepanjang jalan bebas hambatan. Sementara supir dan kondektur
emboh ngelakoni apa. Ndak jelas. Ndak
njelasin sama penumpang satu persatu. Nggak ngasih snack sama air mineral
kayak maskapai penerbangan Garuda. Kami tidak diberi kepastian. Kami diabaikan
begitu saja :p :p :p
Ada mungkin setengah jam menunggu. Polisi yang sempat datang pada
akhirnya pergi. Tapi alhamdulillah ada bus pengganti yang mau menampung kami.
“YANG BAYAR SENDIRI KE SINI. BUKAN OPERAN. YANG BAYAR SENDIRI KE SINI!” Ya
iyalah dia mau ‘menampung’, karena dapat duit. Kami harus membayar dari awal lagi.
“Yo gak popo masio bayar maneh. Enek duwite kok!” Nggak papa bayar lagi
daripada harus naik bus reot itu. Ujar seorang wanita.
Walhasil saya pun pindah ke bus yang baru, dapat tempat duduk yang
nyaman, busnya ber-AC, dan duduk di sebelah bapak-bapak yang kerja tak jauh
dari tempat tinggal saya. Yeah. Sesuatu yang buruk masih ada sisi baiknya.
Dan sepanjang jalan tol, si Bapak PLTGU Grati ini bercerita, “Ini
kayaknya dapet doa dari orang yang teraniaya deh. Tadi, ada Pak Kiai mau naik
bus tadi turun di Pasuruan, tapi ditolak sama si kondektur. Nggak boleh turun
Pasuruan. Harus lebih dari itu tujuannya!
Tak terima ditolak, Pak Kiainya bilang bus ini nggak bakalan sampai
Jember dengan selamat. Dan beneran aja terjadi.”
“Tapi kok saya tadi diterima, yaa?” tanya saya heran.
“Masa?” si Bapak nggak kalah heran.
Sesekali saya manggut-manggut menimpali. Kalau dipikir-pikir, doa dari
orang teraniaya kan makbul. Nggak ada halangannya.
Jadi, ya... imbasnya nggak hanya ke kondektur sama supir. Tapi penumpang
lainnya. Ada yang udah bayar dua ratus ribu sekeluarga sampai Jember dan nggak
dapat kembalian. Ada yang udah bayangin harusnya tuh sekarang udah sampai rumah
tapi karena bus tua sialan dan jalanan macet pas liburan jadinya masih terjebak
pada ketidakjelasan ini (oh, penulis mulai lebai, Saudara).
Cerita selanjutnya berjalan mulus. Endingnya, bisa menapak kaki di
kampung halaman dengan selamat sekitar pukul sepuluh pagi.
Pesan moralnya adalah, manusia bisa berencana, dan Tuhanlah yang punya
skenario finalnya. Rencana cepet-cepet sampai rumah, bisa motong waktu dengan
ojek hanya bisa terlaksana jika kita diizinkan sama Yang Maha Kuasa.
Bagi para pemilik angkutan publik, semoga bisa dijadikan pelajaran. Nggak
bisa dibanggakan kalau bisa memuat bus hingga penuh. Yang patut dibanggakan
adalah memberi layanan dengan adil, aman, dan sejahtera.
Oh ya, Teman. Sudah ada tanggal merah lagi belum? Apa? Belum? Ya sudah,
selamat menikmati hari di tanah rantau tercinta, ya! :D Selamat berakhir pekan!
Cheers,
Cemul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar