Ada sebuah ruang yang kamu tinggali. Temboknya bercat
pelangi. Di dalamnya, ada sebuah piano besar yang bisa kamu mainkan (denting melodinya
begitu indah), televisi berwarna, pendingin ruangan, dan sepasang jendela kaca.
Setiap hari, akan ada seekor burung pipit menyapa, mengetuk-ngetuk dengan paruh
kecilnya, mengintip dari luar.
Kamu sangat betah tinggal di situ, seolah-olah nggak ada
ruang lain yang mungkin lebih luas, lebih indah, lebih menarik.
Karena satu dan lain hal, kamu harus angkat kaki dari ruang
itu. Beberapa barang boleh terbawa. Tapi nggak ada lagi tembok bercat pelangi,
piano, televisi, sampai burung pipit tiap pagi.
Kamu, tiba-tiba saja sedih. Sedih karena tahu bakal susah untuk
kembali. Kamu meraung. Kadang sampai menjambak rambut sendiri. Depresi? Nggak
sampai sejauh itu.
Uniknya, ada berita unik, berupa berita baik.
Berita baiknya, kamu disediakan sebuah ruang lagi. Kamu boleh
tinggal di sana dengan kondisi lebih luas, lebih lebar, lebih lega. Temboknya memang
nggak bercat pelangi, tapi hijau cukup menyejukkan hati. Nggak ada piano, tapi
sekarang ada biola. Dawainya bisa kamu mainkan lagu favoritmu. Televisi berwarna
tergantung di pojokan, masih ditambah dengan penyejuk udara.
Oh, ya. Burung pipit tiap pagi ternyata ada juga yang
menyapa di jendela.
Kamu lalu nggak sedih lagi. Kamu mulai betah di tempat ini. Sementara
ruang yang dulu kamu idolakan, ditempati oleh seseorang yang nggak kalah
betahnya dari kamu. Kamu berterima kasih sudah pernah tinggal di sana, dan
nggak lupa bersyukur dengan ruang yang baru.
Jadi, bisakah kita menganggap ruang itu sebagai hati?
Pondok Aren, 6 September 2016. 22.30.
sumber: pinterest.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar