LANGIT JAKARTA
Langit Jakarta menumpahkan hujannya. Sesekali
kilat menyambar disertai gemuruh. Hingga azan magrib selesai berkumandang, bulir-bulir
bening itu tak juga berhenti. Membasuh jalan, membasahi pepohonan, juga menempa
jendela tempat Yudith bekerja.
“Lembur?”
Sebuah suara membuat Yudith mendongak,
membetulkan kacamata minusnya, menggeleng, dan berkata. “Cuma nambahin beberapa
detil aja untuk laporan bulanan. Kalau hujan berhenti, gue pulang.”
Di ruangannya sekarang memang sudah
sepi. Hanya ada satu OB yang sedang membersihkan ruang pimpinan, dia sendiri
yang menunggu hujan, dan Wulan yang di hadapannya sekarang. “Lu sendiri, ada deadline?”
“Lagi malas pulang cepat aja.”
"Ck. Pegawai teladan selalu ngeles kalau dibilang kerajinan."
Sambil duduk, Yudith merenggangkan
otot-otot di tangan dan bahunya agar lebih rileks. Gemeletuk dari ruas-ruas
jari lalu terdengar. “Gue mau bikin kopi. Mau?”
“Ya.
Kopi hitam. No sugar, please.”
Yudith merespon dengan bergerak menuju
dispenser yang terletak tak jauh dari mejanya. Sementara Wulan sudah menduduki
tempat kerja Yudith, ikut membaca uraian laporan bulanan yang dimaksud temannya
itu.
Wulan memiringkan kepala, membuat
koreksi. “Realisasi buat konsumsi ulang tahun kita kemarin kayaknya kegedean
deh, Dith.”
Jawaban Yudith diiringi denting sendok
beradu dengan cangkir “Udah segitu. Pak bos minta tambahan snack sepuluh menit sebelum acara dimulai. Tahu sendiri, kan. Dirut
sebelumnya berhalangan hadir.”
Wulan ber-O ria. “Biaya buat doorprize..... gede juga, ya?”
Yudith memberikan secangkir kopi untuk Wulan,
secangkir kopi untuk dirinya, lalu mencebik, “Menurut lu, lima iPhone yang kita
beli kemarin dari pasar gelap?”
Wulan terkekeh. “Ya. Ya. Ya. Kalau beli di pasar
gelap, mending buat kamu aja, deh.”
Perbincangan mereka lalu beralih ke
target perusahaan yang sepertinya tak terjangkau, rencana lembur Sabtu-Minggu
yang akan mengganggu tidur siang, karyawan pindahan dari negeri seberang, sampai
kedai kue baru yang luar biasa laris di hari pertama.
“Omong-omong tentang kue, gimana kalau
kita ke sana?” ajak Yudith spontan.
“Sekarang?”
“Tentu aja! Lihat, udah nggak hujan lagi
sekarang. Gue pesen uber nih, biar gampang.”
“Boleh. Lumayan lah buat nambah feed instagram.”
Maka itulah kesepakatan yang mereka buat. Kesepakatan atas secuil dari kisah
hidup mereka yang hidup di kota metropolitan.
Yang tersisa adalah jalanan basah. Jendela yang mengembun. Dan kerlip lampu yang romantis. Langit Jakarta sudah
tidak hujan (lagi).
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar