“Ikut,
yuk!” ajakan Khizril seperti kembang api yang meledak-ledak, bersinar di depan
matanya. Warda sampai menjatuhkan pensil ke tanah hingga berbunyi nyaring. Ini
siang yang terik, bukan hujan gerimis romantis dengan angin yang semilir.
Tiba-tiba saja, di tengah jadwal kuliah yang padat betul, pemuda yang juga
jurusan seni rupa itu rela menemui Warda di selasar kampus –tempat yang sangat
tidak disukai Khizril– demi sebuah janji. Janji untuk memperkenalkan Warda
bersama komunitas design interior-nya.
“Kapan
lagi kamu menjadi arsitek handal jika tidak dimulai dari sekarang!” Khizril
mengompori semangat Warda agar kian membara. Ah, Warda memang belum lama
mengenalnya. Tak lebih dari sebulan setelah ospek jurusan diadakan, tetapi Khizril
telah menjelma menjadi kakak tingkat yang begitu membantu. Informasi apa saja
didapatkan. Beasiswa untuk mahasiswa semester satu, tempat kos yang nyaman,
hingga tempat toko buku murah.
Ledakan
itu sungguh membuat dada Warda bergemuruh. Komunitas itu, komunitas yang bisa membantu
mengembangkan bakatnya. Namun, dia tetap menimbang-nimbang. Apa yang akan
menjadi respon ayahnya, apa yang akan menjadi keputusan ibunya bila mereka mengetahui
ia akan pergi sejauh 100km hanya untuk dengan teman-teman Khizril; yang tak
jelas siapa mereka semua; apakah ada perempuan berjilbab seperti dirinya.
“Tidak
mengajak yang lain?” tanya Warda antusias. Bagaimanapun, menjadi arsitek handal
adalah impiannya. Ia bisa pergi jika bersama satu saja teman perempuan lain.
“Ada!
Citra dan Mega akan menemanimu,” sahut Khizril mantap.
Warda
berusaha keras menguak memori tentang dua nama itu. Citra dan Mega. Mereka
adalah teman yang cukup baik. Selalu menutupi mahkota kepala mereka dengan
jilbab, santun, dan pintar. Namun Warda bimbang, Citra dan Mega bertindak aneh
akhir-akhir ini. Mereka berdua sering membolos kuliah tanpa alasan yang jelas,
sering terkikik kala dosen memberikan kuliah, dan beberapa kali dilihatnya
mereka melepas jilbab saat pergi ke kampus.
“Lihatlah profil komunitas ini, Kak. Visi
mereka tak jelas. Masa diskusi tentang wallpaper
rumah saja sampai di café yang buka 24 jam?” Warda seketika teringat apa
yang ditunjukkan Tiwi, teman satu kos dan satu jurusan tempo hari. Situs tumblr Komunitas Merah, komunitas yang
digadang-gadang Khizril sebagai komunitas seni rupa terbaik di kota ini. Tak
ada yang menarik baginya karena acara hanya berputar pada perkenalan di café A
selama lima jam, café B selama empat jam, dan seterusnya. Tak ada fasilitas
makalah, tutor yang diundang, atau yang lainnya. Selain itu, mengapa harus
membayar dua ratus ribu hanya untuk satu kali pertemuan?
Warda
menerawang langit senja, berharap akan menemukan jawaban atas apa yang
dipikirkannya. Tak ada, tentu saja. Ia harus meminta izin ibu terlebih dahulu. Singkat,
dikirimnya sebuah pesan. “Bu, bolehkah aku ikut pertemuan komunitas seni rupa
pukul sembilan malam?” satu menit, dua menit, lima menit. Tak ada balasan. Ah,
pastilah ibu belum turun sawah sembari berjalan ke pematang. Sementara itu, Khizril
masih menungguinya dengan tenang.
Jika aku pergi ke
sana pukul sembilan malam, aku tak dapat memastikan pukul berapa pulang ke
kosan. Pasti sangat larut. Lagipula, hati kecilku bilang ini bukan komunitas
yang kucari. Aku pun sudah melihat situs tumblr mereka. Ini hanya perkumpulan
anak muda yang tak jelas juntrungnya. Namun, tak ada salahnya untuk berteman.
Toh dia masih semester satu. Tak banyak tugas. Gelora
di hati Warda berkecamuk.
Saat
itu, Warda menangkap bayangan Izzah, teman sekelasnya yang berjalan melewati
selasar perpustakaan. Langkahnya tenang dan berwibawa. Sebuah buku diktat besar
digenggamnya. Ada perasaan iri dalam diri Warda –iri yang baik- karena
perempuan itu telah mengikuti berbagai kejuaran tingkat nasional bahkan
internasional. Warda memperhatikan bagaimana Izzah membalut tubuhnya dengan
busana muslim yang rapi itu.
“Bagaimana,
Warda, kamu ikut?” Khizril mendekat. Aroma rokok yang tajam menusuk hidung,
membuatnya sedikit menjauh.
Citra
dan Mega datang. Mereka turut menyemangati gadis berjilbab itu agar ikut. Khizril
sampai setengah berlutut di hadapan Warda. Tak usah menunggu jawaban ibu, Warda
telah mendapat jawabannya.
*
Motor
melaju dengan sangat kencang di tengah jalanan yang ramai. Warda nampak khawatir
saat dibonceng di belakang Citra. Mega dan Khizril mengendarai motor
masing-masing. “Pelan-pelan saja, Cit!”
“Ah,
nasihatmu seperti nasihat orang tua! tenang…”
“Kamu
yakin bensinnya sudah diisi penuh?”
“Ya.
Sebelum menjemput kamu, aku pergi ke pom bensin.”
“Kalau
rem motornya, nggak blong, kan?”
Citra
tertawa, “Kamu ini seperti orang mau
mati saja. Tak akan, percayalah. Kakakku selalu mengecek motornya setiap hari. Sampai
bosan aku melihatnya.”
Warda
memejamkan mata, terus berdoa. Entahlah. ini bukan malam minggu. Lazimnya jalan
tak seramai di akhir pekan. Namun, ada kekhawatiran yang membayanginya.
Khawatir yang bercampur dengan ketakutan. Khawatir motor ini akan bertabrakan
dengan kendaraan lain, dan juga takut jika komunitas itu tak seperti harapannya.
Citra
terus mengendarai motornya kencang-kencang. Warda mulai membuka mata. Ah, aman.
Dua jam perjalanan dan ia sudah hampir sampai. Sebentar lagi ia akan bertemu
dengan Komunitas Merah, komunitas terbaik di kota ini.
“Sudah
sampai. Yuk!” Citra menggamit tangan Warda secara kasar.
Sebuah
café yang dipenuhi dengan hiruk pikuk remaja. Warda meringis melihat
pemandangan di depannya. Citra dengan santainya membuka jilbab di hadapannya,
lantas menggelayut manja kepada seorang pemuda. Begitu pula dengan Mega. Nyali
Warda untuk belajar seni rupa menciut. Ia tak mengekor bergabung dengan
perbincangan yang sama sekali tidak ia mengerti, juga gaya hidup yang tak ia
terima.
Ah, ada apa ini?
Mengapa mereka membuka jilbab? Tak risihkah mereka seperti ini?
Khizril,
yang sedari tadi turut sibuk dengan teman-temannya, menangkap pertanyaan tersirat Warda dengan
nada sumbang, “Kalau jilbab dibawa-bawa di komunitasku, mereka takkan diterima.
Haha.” Betapa nyaringnya tawa Khizril. Betapa sempoyongannya caranya berjalan.
Kini, Warda tahu benar apa yang terjadi. Ini bukan Komunitas Merah, komunitas
terbaik. Ini bukan sarana pembelajaran seni rupa. Warda hanya dijadikan sebagai
kelinci taruhan saja.
Ooh.
Tiba-tiba Warda ingin kabur dari tempat ini. Tak peduli dingin malam yang
menyeringai. Tak peduli jika harus naik truk boks besar sekalipun. Tak peduli
jika dia tak dianggap sebagai adik tingkat lagi oleh kampus. Ia ingat bapak, ia
ingat ibu.
“Hei,
mau kemana kamu?” Khizril menahan langkahnya. “Di sini sajalah dulu. Tunggu
sampai matahari terbit.” Bau alkohol menguar tajam. Warda mencari celah dari
langkah Khizril cepat-cepat.
“Aku
mau pulang saja. Sendirian.”
Khizril
terbahak. “Tidak, tidak. Kau tak bisa. Tak ada yang akan mau mengantarkanmu.”
“Tak
mengapa. Aku bisa naik motor sendiri.” Kini keberanian itu semakin muncul. Kekuatannya
juga. Kekuatan untuk mempertahankan apa yang diyakini Warda sebelumnya. “Aku
mau pulang.” Tegasnya sekali lagi.
Khizril
mengangkat bahu, tak mau tahu. Dari kejauhan Citra dan Mega memanggil-manggil
namanya, turut membawa botol minuman keras itu. Yang lain juga seperti itu.
Warga bergidik. Tak ingin membuang waktu lagi, diacungkannya jempol saat sebuah
mobil bak bermuatan sayur lewat. Ia melompat sekuat tenaga ke dalam mobil bak.
Namun ada sesuatu yang menahannya.
“Mau
kemana kau?” Tangan kasar Mega menarik ujung roknya. Citra melakukan hal yang
sama. Warda mengaduh. Kakinya tercakar. Bagaimana bisa kedua temannya menjadi
seberingas ini? Kedua tangan Warda meraih ujung karung berisi wortel,
membuatnya tubuhnya lebih mudah masuk ke dalam bak mobil. Hap! Berhasil. Ia
berhasil lepas dari amukan kedua gadis itu. Namun mereka terus mengejar sembari
mengeluarkan sebuah belati. Belati tajam yang mengarah ke mata kanannya. “Anak
bau kencur, kau takkan bisa lepas dari komunitas kami!”
*
“Kak,
ayo bangun,” suara khas Tiwi, serak dan basah, memantul-mantul di kamar kos di pagi
yang dingin. “Ayo sholat subuh!”
Warda
terperanjat. Ia merasa terpisah dengan kejadian yang dialaminya barusan.
Matanya berkedip, tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Kak,
kenapa, habis mimpi buruk, ya?”
Mendengar
pertanyaan itu, Warda langsung bangkit, tetapi kepalanya berdenyut-denyut.
Pening.
Rekonstruksi
cerita melingkupi memori otak Warda. Barusan ia dikejar-kejar Mega dan Citra.
Namun, kejadian sebelumnya menghampirinya, kejadiaan yang benar-benar nyata.
Saat kemarin sore, saat Khizril menemuinya di selasar perpustakaan dan mengajaknya
ke komunitas tak jelas itu, ketika ia bimbang, lalu berpapasan dengan Izzah,
lalu ia menolaknya. Khizril pulang dengan tampang kecewa, begitu pula dengan
Citra dan Mega. Lantas ia pulang ke kosan seperti biasa, sholat maghrib dalam
keadaan capai luar biasa, makan, sholat isya, lantas tertidur. Dan ternyata
barusan hanya mimpi! sungguh, hanya mimpi!”
“Subhanallah… alhamdulillaah…” Warda merasakan
kelegaan yang amat sangat. Diperiksanya kaki kanannya. Tak ada bekas cakaran.
Pun dengan roknya yang baik-baik saja. Warda merasa sangat beruntung karena
menolak ajakan kemarin sore. Ya, ia ingat perkataan Izzah, teman sekelasnya
yang sangat cerdas itu. Pilihlah teman yang kamu anggap baik. Jika ragu, jangan
pilih.
“Kamu
akan menyesal, War, telah menolak ajakanku!” umpat Khizril kemarin sore,
sebelum pergi. Warda tak peduli. Ia tahu teman yang baik. Dan Khiril bukan
teman yang baik. Ia sendiri yang melihat Khizril melakukan hal yang sama kepada
Izzah minggu sebelumnya.
“Ada
berita buruk, Kak,” ucap Tiwi dengan suara tertahan, “Komunitas yang
kutunjukkan di tumblr itu ternyata
benar-benar membahayakan. Dan koordinatornya dibekuk polisi karena acara yang
berkedok transaksi narkoba tadi malam.”
Warda
beristighfar dalam hati. Ia tahu siapa yang dimaksud. Khizril lah
koordinatornya. Lagi-lagi ia bersyukur tak mengikuti acara hitam itu. Ia lalu bergegas sholat subuh, mengejar cinta untuk
bertemu dengan-Nya.*
-diikutsertakan pada lomba cerpen di fanpage Indahnya Islam. Feel free for comments or anything :)