Tentang Nuriz dan
Nindya
Jam
dinding ini, mengapa terlalu cepat berjalan? Jarum telah menunjukkan pukul
sebelas malam. Padahal, lima soal kalkulus belum berhasil kukerjakan. Aduh, aku harus
mengetok pintu siapa? Penghuni kamar sebelah sedang keluar. Pintu depan
takut kubuka, soalnya dia ketua asrama yang tegas dan berwibawa. Aduuh, ke
siapa lagi?
Kalau sudah begini, aku menyesal
meninggalkan acara asrama di hari pertama untuk berkenalan satu sama lain. Tak
usah kabur karena organisasi kampus. Kupandangi foto yang tersimpan rapi di
laci berpegangan hati itu, orang tuaku. Sebentar, Ibu. Anakmu sedang bergulat
dengan soal-soal kuliahnya. Aku juga takkan begitu mudahnya menyerah, Ayah.
Pandanganku mengarah kepada sosok
yang sedang tertidur pulas di sana. Oh, iya. Bukankah ada Mbak Nindya? Menurut
ketua asrama, dia cerdas luar biasa. Lagipula, Mbak Nindya minta dibangunkan
pukul sebelas. Mau belajar katanya.
Tapi,
aku segan untuk berbicara banyak dengan perempuan yang baru dua hari kukenal
ini. Entahlah, kombinasi antara gengsi dan… malu. Gengsi karena dari dulu aku
tak pernah memulai pembicaraan. Malu karena sepertinya dia lebih rajin dariku.
Hari pertama kuliah saja belajarnya sampai tengah malam.
Ya
sudah, gengsi dan malu tidak berlaku lagi sekarang. Lebih baik bertanya
daripada ditertawakan dosen sendirian di kelas hanya karena tak bisa
mengerjakan lima soal.
“Mbak, mbaak..” kupanggil dia dengan
suara sehalus mungkin.
“Mmm..” dia menggeliat keluar dari
selimutnya.
“Katanya mau belajar? Sudah pukul sebelas.”
Matanya mengerjap-kerjap sesaat,
mengumpulkan tenaga. “Oh, iya. Terima kasih, Nuriz.” Lantas ia berjibaku dengan
buku-buku tebal miliknya, tentang coding.
“Mbak,” ujarku parau.
“Iya?”
Pandangannya teralih sebentar, dari layar monitor laptop ke arahku.
“Bisa
membantuku, tidak? Kalkulus…”
Jawabannya
membuatku sontak terpana, “Boleh sekali. Mana, mana soalnya? Waah, itu kuliah
kesukaanku. Aku dapat A semester kemarin.”
Aku
menelan ludah. “Dapat A? Mbak anak informatika juga?”
“Lho,
jadi kamu belum tahu? Oh, aku baru ingat, kemarin kamu tidak ikut acara kampus.
Hmm, baiklah, kuperkenalkan lagi. Namaku Nindya. Nindya saja. Jangan panggil,
Mbak. Meski sudah semester lima, aku masih seumuran kamu, kok. Asalku dari
Jombang. Bla..bla…”
Sekarang
tenggorokanku tercekat. Mengagumkan. Muda, pintar, ramah luar biasa. Aku jadi
tak gengsi apalagi malu lagi. Akhirnya sampai dini hari diajarinya aku belajar.
”Kamu sebenarnya cerdas. Cuma perlu banyak latihan, kok. Insyaallah bisa dalam
waktu yang tidak lama.” Acara begadang ini ditutup dengan sholat tahajjudnya Nindya
dan dengkuran halus mahasiswa semester satu sepertiku.
Dan,
sejak itulah aku bersahabat dengannya. Aku belajar banyak hal, khususnya
tentang menghargai kebiasaan yang berbeda. Kami tak pernah gontok-gontokan karena lampu kamar yang dihidupkan saat tidur. Jika
hari ini lampu kamar mati, besok harus hidup. Kami juga tak pernah debat kusir
karena aku selalu qunut di waktu
subuh dan Nindya tidak. Karena perbedaan itu indah. Karena banyak hal lain yang
bisa kami perdebatkan. Kalkulus, matematika diskrit, dan sebagainya. Banyak hal
yang bisa dibagi. Aku mengajarinya bahasa inggris, Nindya mengajariku
norma-norma agama.
Kali
ini, tubuhku ringkih tak bertenaga. Demam masih menyerang. Sering sekali merasa
gatal tak terkira. Aku terkena cacar. Terpaksa aku harus absen dari kuliah
kalkulus dan kuliah-kuliah lainnya yang kini kutunggu-tunggu.
“Kutitipkan
surat keterangan sakit kamu ke Ratih, ya?” lagi-lagi aku merepotkan Nindya.
“Terima
kasih. Aku bersyukur sekali punya sahabat seperti kamu, Nin.” dia menjawab
ucapanku dengan senyum lebar, seperti biasa. Aku sediri heran, dia tak pernah
mengeluh untuk membantuku. Selain itu, kapan orang satu ini sedih atau punya
masalah? Tak pernah ditampakkannya wajah susah, cemberut, galau, merana, dan
wajah penuh iba lainnya.
Aku
baru mendapatkan jawaban itu malam hari, ketika aku terbangun dengan rasa gatal
ini. Nindya menangis! Dari balik selimut –dengan kepala yang tersingkap—, aku
bisa melihatnya memandangi foto kedua orang tuanya. Ternyata dia sama sepertiku,
juga seperti mahasiswa lainnya. Rindu kepada orang tua itu seperti rindu angin
pada hujan. Sayang tubuhku tak kuat menahan demam. Aku memutar otak. Setidaknya
satu hal bisa membuatnya tersenyum.
Pagi
menjelang. Aku hanya mesam-mesem ketika
pesanan brownies kukus datang. “Loh, Pak. Saya tidak memesan brownies kukus.
Kenapa diantarkan kepada saya?”
Pengantar
itu menjawab, “Yang memesan memang bukan Mbak, melainkan Nuriz Zakiyah.”
Nindya
memandang ke arahku. “Buat Nindya saja. Soalnya, tiga hari berturut-turut
kurepotkan dengan titip makanan ini itu, dengan mengantarkan ke dokter.” Sahutku.
“Iiih,
terima kasih, yaaa!!” Dia lalu mengucapkan terima kasih berulang-ulang sembari
memakannya dengan lahap. “Sini, kamu juga harus makan. Aku takkan bisa
menghabiskannya sendirian.”
Meski
aku tak dapat menghadirkan orang tuanya ke sini, setidaknya dia tahu, ada yang
menemaninya di sini, sebagai sahabat.
Alhamdulillaah,
seminggu penuh beristirahat, keadaanku berangsur membaik. Aku sudah kuliah
lagi. Sibuk. Masih dengan kalkulus. Masih dengan matematik diskrit. Apalagi Nindya.
Di samping tugas kuliah Teknik Informatika yang memeras otak itu, dia sempat
membuka kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Longman
setiap hari.
“Ada
esai berhadiah dua minggu ikut kursus di Jerman.” Jelasnya saat aku bertanya. Impiannya
pergi ke Jerman tak bisa ditutup-tutupi. Styrofoam
berhias peta Jerman. Saat mau tidur berbicara tentang Jerman.
“Wah,
keren. Semoga lolos, Nin. Jangan lupa, kalau ketemu Pak Habibie, titipkan
salamku kepada beliau, ya!” ujarku iseng.
Nindya
mengangguk-angguk mendengar permintaanku.
*
Akhirnya,
harapan mendapatkan muaranya. Esai Nindya mendapat perhatian dewan juri. Dia
dinyatakan lolos ke Jerman! Dia akan diterima oleh pihak Friedrich-Alexander
Universität dengan tangan terbuka. Di International Juanda Airport,
Sidoarjo, ini, aku melepasnya. Adalah kehilangan yang sangat ketika sahabat
yang biasa menemani tak ‘kan hadir dalam hari-hariku nanti.
“Hati-hati
ya, di sana. Paspor jangan sampai ketinggalan. Tetap sholat tepat waktu.” Aku
berpesan sambil menahan haru. Tidak, air mataku tidak boleh menetes. Harusnya
aku bangga dan mendukung perjalanannya kali ini.
“Oke,
Bos Nuriz. Jangan lupa sarapan setiap hari. Titip mading asrama kita.” Jawabnya
dengan nada yang tersendat. Kurasa, dia juga sama sedihnya denganku.
Terbanglah,
sahabatku. Gapailah mimpimu. Aku akan
tetap belajar darimu untuk menjadi seorang sahabat yang baik. Sahabat yang
saling membantu, yang menghapus duka, yang menemani tawa.
Sebuah
email kudapati minggu ini. Dari Nindya. Aku turut gembira dia gembira di sana.
Tengoklah bagian surat ini,
“Nuriz,
aku senang sekali bisa ke Jerman. Rasanya masih seperti mimpi. Kemarin pun
bertemu Pak Habibie yang sedang sholat dzuhur di the Verband Islamischer Kulturzentren
mosque di Nürnberg, Jerman bagian selatan. Salammu
sudah kusampaikan! Kata beliau, kamu harus tetap rajin belajar. Kamu tahu, di
sini aku bisa memesan makanan hanya dengan memencet touschscreen. Luar biasa. Sampaikan salamku kepada teman-teman
asrama. Sebisa mungkin kudapatkan foto-foto yang bagus untuk mading kita.”
Betapa
beruntungnya Nindya. Dia selalu menolong sesama. Akhirnya dia ditolong juga
oleh Allah untuk mendapatkan impiannya. Semoga aku dapat mengikuti jejaknya.
*
(edited. Diikutkan pada Lomba Penulisan Cerpen Indigenous Universitas Jenderal Soedirman, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar