PERTEMUAN KEDUA
Entah
bagaimana caranya, pandanganku yang sedari tadi gelap perlahan menjadi terang
benderang. Semua baik-baik saja saat aku berdiri di tengah kerumunan orang
dalam sebuah acara yang luar biasa padat. Malang Tempoe Doele, sebuah festival
tahunan bagi warga Malang. Segala jajanan tersedia. Berbagai pagelaran
terlaksana. Dari Tarian Beskalan hingga orang-orang berkostum jaman biyen1. Yang lelaki
memakai baju batik sederhana dan celana tiga perempat dari kain katun. Sedang
yang perempuan bersanggul di kepala, memakai baju kebaya dan jarik2 sampai bawah lutut. Sepanjang
Jalan Ijen, jalan utama di kota Malang, benar-benar padat.
“Hei,
kamu baik-baik saja?” ujar seseorang di sampingku.
Restu
masih saja memperhatikanku dengan gelisah. Lelaki yang menemani kami sedari
tadi itu seperti tak mau aku jauh-jauh. Bahkan saat kami bertiga memarkir motor
di dekat sebuah ATM drive through. Aku tersenyum. “Ya, aku baik-baik saja.” Mungkin
karena seminggu telah mengenal watakku yang sering bepergian tanpa pamit, dia
takut aku hilang atau dicuri oleh maling yang iseng atau ekstrimnya, dirampok
pembunuh bayaran.
Berdesakan
dengan lautan manusia itu seru juga. Kata Paklik3,
kebanyakan yang ke sini adalah para mahasiswa. Maklum, universitas di kota
ini banyak sekali. Aku, Paklik, dan
Restu bergembira bersama. Kami meniup gelembung udara, memakan bakso, hingga
berfoto di depan benteng yang terbangun sementara. Aku senang, tetapi
sebenarnya ada yang lebih menyenangkan dari itu.
Restu
mengajakku ke depan perpustakaan kota saat Paklik
mencari musholla. Dia menggamit tanganku. Aku canggung. Rasanya, seminggu kenal tetangga baru seperti
dia seperti bertahun-tahun bertemu. Aku bisa merasakan keringat membanjiri
pelipis kanan dan kiriku.
Cinta
itu seperti adonan roti. Kalau dibiarkan, dia akan mengembang, bertambah besar.
Dan sekarang aku tahu aku mencintainya. Restu mendekat ke arahku, dan semakin
dekat. Dia mengatakan sesuatu. Lirih. Kalimat yang berakhiran huruf U.
“Apa
kamu bilang?” aku tak bisa mendengarnya jelas. Restu lalu mengulangi kalimatnya
lagi. Masih tak ada beda.
“Restu,
kamu bilang apa?” ujarku setengah berteriak.
“Mbak,
Mbak. Sudah sampai Terminal Arjosari nih. Mimpi, ya?”
Perkataan
penumpang di sampingku mengembalikanku pada dunia nyata. Aku membuka kedua mata
dengan berat. Apa-apaan ini? Sial. Beberapa detik kemudian, aku baru sadar.
Barusan yang terjadi hanya MIMPI. Mimpi di dalam mimpi. Mimpi yang jelas-jelas
mendeskripsikan sesuatu yang benar-benar terjadi di masa lalu. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana rupaku barusan.
Bus dari
Banyuwangi ini telah berhenti setelah kurang lebih tujuh jam melewati jalan
pantura nan ramai. “Selamat datang di Kota Apel, Kemuning!” Kusambut diriku
sendiri.
Kulangkahkan
kaki keluar dari bus. Kuhirup udara dingin kota Malang banyak-banyak. Segar. Kupanjangkan
leherku, mencari-cari sosok Paklik di
dekat pintu keluar.
“Hooii!!”
lelaki berkaus oblong putih melambaikan tangannya padaku. Paklik Raja. Segera aku
menghampiri mobilnya.
“Ciee,
yang baru diwisuda. Lalu mau kerja, tapi bosan di rumah saja, akhirnya mau
mengunjungi akyuuu….” serobotnya dengan nada yang kealay-alayan. Paklik memang tak pernah berubah.
Ditinggal enam semester tetap cerewet sperti ini. Dia memang sudah agak tua,
umur tiga puluh. Namun jiwanya masih muda.
“Cie,
yang baru nyetir mobil sendiri. Iya, dong. Paklik
sendiri kapan kelar magisternya? Sambil menunggu kerja, aku ingin membuat
liputan tentang kota ini. Nanti, ajak keliling Malang, ya!”
“Sudah
lama aku punya SIM A, lo!. Asli. Tidak nembak. Paklik bulan depan yudisium. Oke. Aku mau jadi sopir gratisan.
Kemanapun kamu pergi, akan kuantar.”
“Ciee,
selamat yaa! Terima kasih, Paklik.”
Mobil
melaju di antara deru kendaraan yang lalu-lalang. Butuh setengah jam untuk
menggapai daerah Dinoyo. Masih seperti dulu. Ada jalan layang dekat terminal, Lapangan
Rampal, dan sungai besar terbentang di daerah Jalan Soekarno-Hatta.
Rumah Paklik masih asri dan dikelilingi
bunga-bunga. Di sekitarnya, masih dikelilingi para tetangga yang bekerja
sebagai perajin keramik.
Turun
dari mobil, aku disambut hujan. Aku tersenyum. Dulu, kali pertama ke sini,
hujan juga turun. Hujan sungguh ramah menyambutku. Bulik4 juga. Wanita asal Pekalongan itu semakin cantik
saja.
“Bagaimana
kabarmu, Nduk5? Sudah
lulus kuliah? Kamu kangen ya jalan-jalan ke Malang lagi?”
“Iya, Bulik. Hampir tiga tahun tidak pernah
kemari. Lebaran kemarin kan selalu di rumah saya di Banyuwangi. Jadi kangen.
Malang itu dingin, banyak mahasiswanya, banyak fasilitasnya, banyak makaan
enaknya.”
“Kangen
jalan-jalan ke Malang atau kangen orang Malangnya?” Paklik menyambar tanya. Dia mengerlingkan sebelah mata. Biar aku
saja yang tahu kalau aku memang merindukan Malang dan seseorang di dalamnya.
“Ya
sudah. Ayo mandi dulu, nanti langsung makan.” Bulik menyela. Aku menurut. Ternyata, Bulik menyiapkan makanan lezat. Nasi hangat, brokoli berkuah, dan
tahu khas malang dengan sambalnya.
Sehabis
makan, kutengok sebuah rumah berdinding genteng merah di hadapanku. Rumah yang
dihiasi banyak keramik guci. Sepi. Sepertinya seseorang yang kucari tak ada di
situ. Entahlah, hanya firasat.
Hujan
telah reda. Aku telah memendam rasa ingin tahu ini begitu lama. Sekarang aku
ingin menemukan jawabannya. Jawaban atas kisahku yang tak jelas akhirnya.
Tiga tahun lalu, berbekal kue tart yang masih tersisa, aku ke
rumahnya, membagikan kue itu. Ulang tahunku yang ketujuh belas memang kuniatkan
di sini, di kota kelahiran ayah. Aku melihatnya sedang sangat asyik menulis.
Entah menulis apa.
“Restu,”
dia memperkenalkan diri dengan pandangan yang tetap mengarah ke arah komputer.
Menjabat tanganku pun tidak. Dia hanya bilang terima kasih, lalu memanggil
mamanya untuk menemuiku.
Aku
tak sengaja melihat kerjaannya. Sebuah reportase tentang galau massal anak-anak
ujian tentang ujian nasional.
“Bagus.
Hanya saja, apa tak diberikan solusi untuk mengatasi galau massal itu?” saranku
waktu itu. “Aku pernah mengikuti diklat jurnalistik di kampus.”
Restu
langsung menatapku tajam. “Namamu siapa?”
“Kemuning.”
“Apa?
Kuning? Seperti warna matahari, dong!”
“Bukaan.
Kemuning. Ka-E-Em-U-En-I-EN-Ge.”
“Ooh.”
Meski terlihat enggan, dituruti juga akhirnya omonganku. Dieditnya lagi
reportasenya itu. Menanyakan kepadaku mana yang kurang dan mana yang bagus.
“Terima
kasih.” Ujarnya senang. Percakapan pun mengalir. Aku tahu dia anak Kimia di
Universitas Brawijaya. Dia pun tahu aku mahasiswa Geografi Universitas Jember.
Tak hanya perbincangan akademis, hal-hal sepele dibahas juga. Dari potongan
rambutnya yang seperti Christian Bautista hingga celana polkadot pendeknya yang
membikinku menahan tawa. Dia juga meledek seleraku yang masih menyukai komik
Conan dan kebiasaanku menggerak-gerakkan telinga secara tiba-tiba. Ternyata ater-ater6 kue ulang tahun
menimbulkan sebuah kesan. Setidaknya, bagiku seorang.
Percakapan
menjelma menjadi ajakan untuk bermain mengisi liburan semesterku yang masih
lama. Maka, segala sudut kutelusuri. Mengunjungi kakek Restu di Lavalette,
melihat pertandingan Arema di Stadion Kanjuruhan, dan tentu saja, pergi ke Festival
Malang Tempoe Doele. Di situ aku menghabiskan hari terakhirku dengan suka cita.
Dia membantu membeli makanan yang kucari. Dia ikut berfoto bersama para pemusik
gamelan. Dan dia tak henti-hentinya mengawasiku saat Paklik sibuk dengan titipan istrinya. Aku tahu, ada perasaan hatiku
yang berubah. Dari yang biasa menjadi istimewa.
“Kamu
tahu. Kamu bertambah manis dari hari ke hari. Atau pandanganku saja yang
bertambah buram karena sinarmu?” ujarnya kala kami memakanan cilok bakar di
tepi jalan untuk festival yang ramai.
Di
situ aku tak menanggapinya. Aku takut kecewa. Kecewa akan suatu fakta yang
belum kutahu.
“Aku
tak pernah sedekat ini dengan seorang perempuan sebelumnya. Ya, kecuali dengan
ibuku sendiri.”
Aku
manggut-manggut. Meski setengah tak percaya.
Aku
tahu aku belum benar-benar mengenalnya. Tapi, aku merasa festival ini berlalu
begitu cepat. Bahkan aku menganggap kehadiran Paklik yang menemani liburan semesterku hanya figuran saja. Aku dan
Restu yang menjadi pemeran utamanya. Aku menemani setiap detik, setiap fragmen
yang tersisa.
Lalu
dia mengajakku rehat di depan perpustakaan kota di Jalan Ijen saat Paklik mencari musholla. Dia menggamit
tanganku. Aku canggung. Jantungku
berdegup kencang. Belum sempat diucapkan kalimatnya, saat itulah aku melihat
seorang perempuan menghampirinya. Wajah Restu tiba-tiba pias. Dia
bercakap-cakap dengannya. Mesra. Aku tidak tahu kena racun apa hatiku hingga
merasa tercabik-cabik olehnya. Restu hanya melihatku dengan tatapan penuh
makna. Lalu, dia memperkenalkan seorang wanita di hadapannya
“Kemuning,
ini Maria. Teman sekelas.”
“Teman
sekelas? Halo? Jangan bercanda, Restu!” ujar Maria sambil menggamit tangannya.
Restu
hanya menaikkan sebelah alisnya.
Tak
usah menunggu waktu lama untuk pulang. Aku tak peduli dengan rentetan
pertanyaan yang dilontarkan Paklik. Seminggu
yang seperti musim semi berubah menjadi musim gugur yang meranggas. Aku tahu,
aku sudah tak butuh jawaban. Hubungan ini belum dimulai. Ssemuanya sudah jelas.
Lantas, tatapan mata itu, adakah makna lain selain cinta?
Kali
ini, langkahku lebih dekat satu langkah menuju pagar rumahnya. Aku ingin
bertemu Restu, meski hanya ucapan “Hai” atau “Apa kabar?”. Tapi, sedetik
kemudian, kuurungkan niatku. Mungkin saja dia benar-benar tak ada. Kalaupun
ada, dia mungkin tak mau bertemu denganku. Baginya, tak ada sesuatu yang perlu
diperjelas.
Kembali
ke rumah Paklik, kuberhadapan dengan
laptop. Membuka lid-nya, dan mulai menulis . Seperempat jam sedikit memberikan
gambaran tentang kota Malang. Huruf demi huruf terangkai. Kota Malang semakin
modern. Modern dengan banyak motor, dengan mobil-mobil baru, tetapi masih ada sudut
yang masih “lama.” Penjual balon di alun-alun kota, Museum Brawijaya, dan hiruk
pikuk pasar burung di dekat tugu kota.
Tiga
puluh menit berjalan. Kuhembuskan napas panjang. Datar. Tak bernyawa. Rasanya,
tulisan ini hanya sekumpulan kata yang dirangkai untuk memenuhi kriteria
huruf-huruf minimal. Apa yang salah? Adakah yang kurang?
“Kalau
ingin meliput Malang lebih banyak, kamu harus ikut Malang Tempo Doeloe!” ujar Paklik setengah berteriak. Dia
memberikan penekanan intonasi yang tepat ke Malang Tempoe Doele. Sepertinya,
dia memerhatikan apa yang kulakukan sedari tadi.
Memori
itu datang lagi. Jantungku seperti keluar dan ditarik dengan karet gelang.
“Kamu
kan tahu besok ada MTD. Besok aku mau ke sana. Mau ikut, nggak?”
“Sama
siapa?” spontan aku menjawabnya seperti itu.
“Kita
berdua saja. Kandungan Bulik-mu sudah
membesar. Harus banyak di rumah. Kalau dulu kita bersama Restu, sekarang dia
tak bisa ikut. Sedang mendaki Gunung Bromo katanya.”
“Ooh.”
Restu tidak ada di rumah. Entah sampai kapan. Berarti aku harus ikhlas
membiarkan ketidakjelasan hidup sama kapan.
“Ikut,
ya?
Aku
mengangguk. Bagaimana pun, untuk alasan apa pun, aku suka berjalan-jalan di
kota ini. Semoga bisa menghibur lara hati.
*
Sore
yang cerah. Paklik yang baik hati
mengajakku berkelana. Alun-alun, Masjid Agung-nya, pohon beringinnya, dan
merpati-merpati jinak yang beterbangan di sekitar air mancur. Kupotret banyak
bangunan dan orang-orang. Tukang parkir di pasar besar, penjual jeruk di
pinggir jalan, hingga anak kecil yang memberi makan burung-burung merpati itu.
“Ngomong-ngomong,
kausudah punya pacar, Kin?” tanya Paklik saat menuju Jalan Ijen.
Aku
terkaget-kaget dengan pertanyaan Paklik.
“Belum. Jomblo.”
“Pantas
saja tubuhmu semakin kurus.” Ledeknya, membuatku ikut tertawa. “Cari dong,
Ning. Yang baik, cerdas, alim. Syukur-syukur dijadikan suami. Hehe.”
“Aku
merelakan lemak tubuhku hilang karena ujian skripsi. Dan aku bersyukur karena
itu.” Aku terdiam sejenak. “Aku mau saja seperti itu. Sayangnya, kenyataan
mungkin berkata lain.”
“Maksudmu?”
“Aku
pernah mengenal seseorang. Meski baru sekali mengenalnya, dia sepertinya baik.
Dia sangat menyayangi ibunya. Ulet, tekun, dan nggak neko-neko. Sayangnya, dia meninggalkanku tanpa alasan yang
jelas, Paklik.” Biarlah pamanku ini
tahu, keponakannya sedang jatuh cinta sekaligus putus asa. Yang penting, dia
tidak tahu kalau lelaki itu adalah Restu, tetangganya sendiri.
Paklik menghembuskan napas dalam. Heran,
jarang sekali dia bersikap seperti itu. “Memang, siapa dia? Orang Malang juga,
ya? Sudah kenal berapa lama?”
“Ada
saja.” Jawabku, balas mengerling.
Paklik mencak-mencak. Paling tidak, dia
memberiku sebuah nasihat. “Kauboleh menunggu, tapi, tak ada salahnya mencari
tahu. Mencari jawaban kepada seseorang yang memberi harapan itu.”
Sudah Paklik. Sekarang, aku ke tempat ini,
tujuannya juga itu. Tapi dia tak ada di rumah.
Aku
tak mau terus-terusan sedih. Selanjutnya, topik perbincangan kami berubah.
Tentang Bulik yang suka ngidam
aneh-aneh, seperti ingin martabak dari telur puyuh. Kasihan juga Paklik. Dia sering kelelahan karena
harus mencari sesuatu sampai ke Kota Blitar bahkan Tulungagung.
Kami
sudah sampai. Inilah Malang Tempoe Doeloe. Suasananya juga masih seperti dulu.
Jalanan Ijen padat merayap. Ribuan orang berjubelan di sini. Masih didominasi
dengan lelaki berbatik dan wanita berkebaya. Wajah sore ini indah, cantik. Hampir-hampir
aku meneteskan air mata. Aku bersyukur bisa menikmati sore di kota ini. Aku
mengabadikan peristiwa ini dengan kamera yang tergantung di leher, jepret sana
jepret sini. Setelah itu aku makan apa saja. Dan melihat apa saja.
“Nikmati
saja hari terakhirmu di sini. Oke?.”
Aku
mengiyakan kata-kata Paklik.
Mula-mula, aku mengikuti langkahnya yang besar-besar itu. Aku tidak mau
kehilangan jejaknya. Mataku terus tertawan dengan berbagai jajanan yang
terhampar, juga dengan berbagai atraksi yang lewat. Sesekali ada para penumpang
yang menaiki kuda.
Mataku semakin tergiur dengan
pemandangan yang ada. Kususuri outlet-outlet
kecil segala rupa. Segala jajanan kucicipi. Dari permen lollipop besar,
bakso, hingga semangkuk kupang. Aku baru tersadar saat di hadapanku sudah tak
nampak lagi Paklik.
Kucari-cari lelaki bertopi a la Maher
Zein itu. Ke kanan dan ke kiri. Ke depan dan ke belakang. Benar, aku
benar-benar sendirian sekarang.
Tolong,
aku tersesat di sini! Tersesat adalah salah satu hal yang lebih kutakuti
daripada kecoa dan cicak. Kumohon, Festival Malang Tempoe Doele terlalu luas.
Rasanya ingin aku berteriak seperti itu, jika urat gengsiku lepas. Ini hari
terakhirku di Malang dan aku sudah membuat masalah lagi! Tenang, Kemuning. Kamu
harus tenang.
Aku
melangkah pelan-pelan, dengan indera penglihatan yang bekerja sempurna. Mencari
sosok lelaki berbaju batik biru ngejreng sebenarnya tidak sulit. Tapi nihil.
Yang ada aku menemukan seseorang yang sama tersesatnya pula. Dia celingak-celinguk
sana sini di ujung Jalan Ijen sebelah selatan.
Tunggu.
Sepertinya, dia seseorang yang sepertinya kukenal. Mata bulat cokelat itu,
potongan rambut bak Christian Bautista itu. Restu! Dadaku seketika bergemuruh.
Di dahiku banjir keringat. Dia bertambah jangkung dan, semakin menawan.
“Kemuning.…” Sebuah suara menyebut
namaku. Aku melihat wajahnya. Seperti orang itu tak menyangka bertemu denganku.
Segera aku memalingkan pandangan. Pura-pura tak tahu.
Kali ini dia menarik sedikit ujung
bajuku. “Kemuning, bagaimana kabarmu?” Dia berkata dengan nada begitu tinggi.
Antusias. Rasanya, ini benar-benar mimpi. Bagaimana bisa dia di sini, sedangkan
kemarin masih di Gunung Bromo.
“Baik.” Jawabku dengan senyum
sepuluh senti. Kau tahu, Restu? Melihatmu begini saja aku sudah meleleh diterpa
hembus angin. Tapi, mengingat ketidakjelasan selama tiga tahun itu, aku jadi
ingin berkata pendek-pendek saja.
“Kamu tersesat juga? Aku tadi janjian
dengan Paklik-mu. Katanya, kami akan
bertemu di Jalan Ijen sebelah selatan. Eh, nggak
ada juga. Aku malah ketemu kamu.”
Aku menutup mulut. Pasti ini ulah Paklik. Tapi, apa iya? Bagaimana Paklik bisa tahu aku menyukai Restu?
Astaga, kertas konsep liputan yang kucoret-coret kemarin kan belum kubuang. Di
situ tertulis nama Restu besar-besar. Lengkap dengan tanda cintanya. Kemuning
yang ceroboh! Berarti, pertanyaan di mobil tadi hanya untuk memastikan aku
masih menyukai Restu? Ooh, ayolah….
“Ning, kok melamun?”
“Ooh,
iya. Wah, kalau begitu, kita tunggu saja dia.”
Lima
menit yang lama. Cepatlah berlalu. Namun hingga sekarang Paklik belum juga menunjukkan batang hidungnya.
“Di
sini hujan terus menerus, ya?” aku tahu pertanyaanku sama sekali tak koheren.
Biarlah. Biarlah. Daripada aku membisu dan aku mati gaya menghadapinya.
“Tentu.” Restu menjawab pendek. Kali
ini, gaya bicaranya sedikit kaku, seperti yang kulakukan tadi.
“Kuliahmu bagaimana, Restu? lancar?
Katanya kamu mendaki Gunung Bromo, kok sudah pulang?” aku juga berusaha
melenyapkan rasa grogiku.
“Tentu. Aku sudah lulus sepertimu.
Satu jam yang lalu aku datang dari Probolinggo. Karena ingin ke MTD, ya sudah,
ke sini saja.”
“Ooh. Wisudanya
lancar? Nilaimu bagus?”
“Tentu. Aku dapat summa cumlaude lo!”
“Selamat, ya!”
“Kemuning sudah kerja?”
“Tentu.”
Aku tergelak. Kali ini Restu yang terjebak. “Maksudku, tentu aku belum bekerja
sekarang.”
Kami lalu terdiam. Aku merasa segala
sesuatu berjalan lambat sekarang. Dan aku tak suka itu. Orang-orang yang berpakaian
baju batik berjalan selangkah demi selangkah, seperti slow motion. Anak-anak kecil meniup balon bergelembung perlahan. Para
wanita yang menarikan Tari Beskalan juga tak kunjung selesai. Apa namanya ini?
Apa aku jatuh cinta lagi? Atau sebaliknya kadar cintaku sudah luntur jauh-jauh
hari?
“Maafkan aku, Kemuning.” Akhirnya Restu
membuka suara. Isi kalimat yang membuat hatiku campur aduk olehnya. Baru
sekarang minta maaf. Kenapa? Harapanmu yang dulu itu, kemana?
Aku bingung harus menjawab apa. “Maaf
karena apa? Kamu tidak bersalah atas apapun.” Tegasku, berpura-pura tegas lebih
tepatnya.
Restu terdiam
beberapa saat. “Waktu terakhir kamu ke sini, tiga tahun lalu, saat aku ingin
menyampaikan..”
“Ooh,
tidak mengapa. Tak usah kamu pikirkan. Yang berlalu biarlah berlalu.” Aku tidak
menyangka bisa berkata seperti itu.
“Aku ingin kamu tahu sesuatu,”
katanya lugas. Seakan-akan dia tahu, aku sedang menunggu-nunggu kepastian
darinya, sejak lama.
“Sesuatu apa? Semuanya sudah jelas.
Maria datang kepadamu waktu itu.” Pertahananku mau runtuh. Aku takut aku tak
dapat menahan tangis sekarang. Harapanku sudah hancur berkeping-keping.
“Itu, aku akan menjelaskan kepadamu
tentang Maria. Aku dan Maria tak pernah berstatus istimewa. Dia temanku,
selamanya. Tidak kurang, tidak lebih. Dia kecewa karena kutolak. Dia hanya
mempermainkanmu, ingin membuatmu marah dan cemburu.”
“Dan kamu membiarkanku pergi begitu
saja?”
“Kata siapa? Aku berusaha
menghubungi nomormu, tapi tidak aktif. Aku minta nomormu yang baru pada Paklik.
Tapi dia menolak. Dia bilang, kamu tidak ingin dihubungi oleh siapapun setelah
kamu kembali ke Banyuwangi.
Dan
aku tak pernah bertemu denganmu lagi, setelah pertemuan kita yang dulu.”
Aku tersenyum getir. “Kamu tidak
perlu memperjuangkan apapun, Restu. Kita tidak pernah memulai apapun.”
Restu menggeleng. “Kita telah
memulai sebuah ikatan bernama pertemanan. Dan kita akan melangkah yang lebih
jauh lagi. Apakah perlu kita dustakan kenyataan-kenyataan yang terhampar di
hadapan kita? Saat kita ke Lavalette, Pasar Gadang, Kauman, dan Festival Malang
Tempoe Doele ini? Apa perlu kita uraikan lagi sesuatu yang sudah jelas-jelas
kita rasakan?”
Aku terhenyak mendengar
kata-katanya. Dusta jika aku bilang aku telah melupakan semuanya.
“Kemuning, apa perlu kita susuri lagi
empat kecamatan kota ini, ruas-ruas jalan di kota Malang agar tahu muara apa
perasaan kita sebenarnya?”
Aku menangis. Campur aduk rasanya. Aku
tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihat seorang gadis sesenggukan di
bawah pohon palem di sudut jalan yang ramai ini. Sungguh aku tak peduli.
Restu
merasa bersalah. Diberikannya sapu tangan polkadot warna hijaunya kepadaku.
“Ning, jangan menangis lagi, ya. Lusa,
saat kamu sudah di rumah, aku mau ke Banyuwangi. Aku akan menemui orang tuamu.
Aku akan menjelaskan semuanya. Aku tak ingin kehilanganmu lagi.”
“A, apa? Apa aku tak salah dengar?” Seketika
aku dihujani kebahagiaan yang luar biasa indah.
“Tidak,
Ning. Aku bilang, lusa aku akan ke Banyuwangi, menemui orang tuamu.”
“Tapi,
Restu, kamu tahu, ini terlalu jauh!” kali ini orang-orang heran dengan suaraku
yang melengking tajam.
“Haha. Tenang, Ning. Tidak akan
seperti yang kamu bayangkan kok. Aku tahu semua butuh proses. Kamu jangan
menangis lagi, ya? Kumohon…..”
Aku mengangguk. Tak kusangka, tiga
tahu berlalu, setelah perjuangan mati-matian memendam perasaan, aku bertemu
Restu juga, mendapatkan kejelasan.
“Ciee, ada yang lagi bahagia, nih.
Tersesat membawa berkah ya, keponakanku?” tiba-tiba Paklik muncul di antara kerumunan orang-orang. “Maaf, ya, tadi
kutinggal. Aku masih bisa memperhatikan kalian, kok. Selamat!! Sudah, dengar
apa kata Restu. Ternyata, kenyataan tidak berkata lain, bukan?”
Aku tersenyum lega. Aku telah
mendapatkan kepastian. Kepastian atas hubunganku dengan Restu. Di sini, di
tempat ini, saat mengikuti Festival Malang Tempoe Doele. Pada perteman kedua
yang lebih indah.
*
Catatan
kaki:
1.
Jaman
biyen : Zaman dulu
2.
Jarik : bawahan kebaya,
biasanya berwarna kecokelatan
3.
Paklik : Paman (bahasa jawa)
4.
Bulik : Bibi (bahasa jawa)
5.
Nduk : Panggilan untuk anak
perempuan
6.
Ater-ater : Mengantar makanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar