SEBUAH
KISAH DI SUDUT DESA LOK BAINTAN
Sebuah
jeruk siam banjar menggelinding di atas lantai kayu. Berputar-putar, lantas
berhenti. Galuh memungutnya, kemudian berlari ke dapur untuk mencucinya dengan
air bersih. Dikupasnya buah berwarna hijau tua itu dengan cekatan. Saat kulit
ari sempurna terkelupas, dia makan dengan lahap. “Segar! Segar!“ serunya sambil
mengejap-ngejapkan mata.
Syahbana,
sang paman (yang sebenarnya hanya berumur dua tahun lebih tua itu),
memperhatikannya, lalu berceloteh, “Kau masih seperti dulu, Luh, seperti anak
kecil. Masih ingat tidak, saat kau bersemangat menaiki anak tangga Masjid
Mujahiddin hingga nyaris tercebur ke dalam sungai?”
Galuh
seketika terbahak. Gigi-gigi putih mentimunnya terlihat. “Iih, Paman. Masih
ingat saja. Iya, waktu itu umurku masih tujuh tahun. Imut benar, ya? Sarung
buat sembahyang sudah basah, masih ditakut-takuti pula kalau ada ikan paus di
sungai Paku Alam ini.”
Nenek
Inggit tersenyum memperhatikan tingkah polah anak bungsu dan cucunya itu. Si
Galuh, sang cucu, belum genap satu jam di rumah kayu ini, tetapi suasana rumah kian
semarak saja akan kehadirannya. Lihatlah, pemilik pipi gembung itu telah
menjelma menjadi gadis sehat nan ceria. Sekarang dia sudah kelas tiga SMP. Nenek
Inggit juga masih menyimpan memori indah tentangnya. Pernah, suatu kali, Galuh
kecil memancing bersama Syahbana hingga pulang membawa banyak ikan bawal. Dia
juga meronta-ronta ingin naik jukung
saat mau pulang ke Pontianak. Tentu saja, yang paling kelelahan adalah Syahbana.
Pemuda yang sekarang duduk di kelas dua SMA itu harus mendayung jukung dari ujung Sungai Paku Alam
hingga perbatasan Sungai Martapura. “Sekalian saja kudayung sampai Alun-alun
Banjarmasin,” ungkap Syahbana saat itu.
Galuh
sudah terlalu kangen dengan Desa Lok Baintan, tempat Nenek Inggit lahir,
tumbuh, dan menghabiskan masa senjanya. Setahun sekali kemari, rasanya waktu
melesat seperti angin kencang. Masih kurang. Dia senang bermain air di tengah
deru klotok (perahu mesin) bermuatan para wisatawan. Dia menikmati
salat di masjid terapung. Dia senang-senang saja naik jukung hanya untuk membeli satu kemasan deterjen bubuk untuk cucian
nenek yang menggunung. Intinya, dia betah berada di Lok Baintan. Dia mau saja
tinggal di sana andai kedua orangtua tidak berdinas di Pontianak. “Mumpung
masih sore, aku mau beli permen kacang
di samping rumah itu, ah!”
“Tadi
kamu kan sudah pergi ke warung kelontong. Akal-akalanmu saja, ya, biar bisa
bermain air?!” seru Syahbana. Galuh hanya menjulurkan lidahnya.
Gadis
berambut ikal itu mengunyah permen kacang sembari mengayun-ayunkan kedua
kakinya di depan rumah, di atas air Sungai Paku Alam yang dingin. Dipandanginya
jejeran rumah berkayu yang berhadapan. Inilah Lok Baintan, sebuah desa di
Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Air telah menjadi
urat nadi kehidupan orang-orang Banjar, termasuk neneknya. Tak ada sepetak
tanah di depan, di samping, maupun di belakang rumah. Mau melebarkan pandangan
sampai berpuluh-puluh meter ke depan pun, keadaannya tetap sama. Mau ke toko,
harus melewati air. Mau ke masjid pun harus melewati air. Mau ke sekolah, ya
harus melewati air lagi. Namun inilah ciri khasnya, istimewanya. Berbeda dengan
kehidupan Galuh di Pontianak yang seperti kehidupan penduduk pada umumnya.
Galuh
memicingkan matanya ke arah dapur. Nenek sedang membersihkan tiga keranjang
besar jeruk siam banjar, kegiatan rutinnya kala selesai berdagang di pasar
terapung Lok Baintan. “Nek, mau saya bantu?” tawarnya dengan ekspresi
bersemangat.
“Sini,
Luh..” Keduanya membersihkan jeruk-jeruk hasil berkebun dengan kain halus satu
per satu. Tak lama, makan siang sederhana terhidang. Nasi hangat lauk ikan
bawal. Galuh menikmati momen langka itu. Kapan lagi seperti ini. Mumpung jatah
liburan semester belum habis. Dan mumpung ayah dan ibu mengizinkan tinggal
bersama nenek. Kenyang, Galuh mengusap-usap perutnya perlahan.
“Nenek,
jukung-nya ada dimana?” tanyanya
sembari mencari-cari sesuatu di belakang rumah. Yang dimaksud jukung adalah sebuah sampan kayu
tradisional yang biasa dipakai para pedagang seperti nenek.
“Ada,
dia aman terikat di sisi rumah sebelah utara…” benar, sampan cokelat panjang
itu sedang mengapung tenang di atas sungai.
“Nenek,
mengapa harus berjualan di Pasar Terapung Lok Baintan? Mengapa tak mencoba
berdagang di daratan saja?” Tanya Galuh memulai percakapan. Pertanyaannya lepas
tanpa beban. Nenek Inggit meletakkan sendok kuahnya sebentar. Dia cukup kaget
mendapat pertanyaan itu. Pertanyaan serupa yang sering dilontarkan Syahbana
dengan intonasi yang membara. Melihat ekspresi neneknya yang penuh makna, Galuh
menjadi ketar-ketir.
“Mengapa
kamu bertanya seperti itu, Luh?” tanya nenek balas bertanya. Tangannya sibuk
membersihkan piring-piring yang kotor.
“Mm..”
Galuh memutus perkataannya sejenak. Dia melirik Syahbana yang pura-pura sibuk
mengumpulkan kail ikan. Syahbana menaruh telunjuk tangan kanannya ke mulut. Sejenak
Galuh ragu. “Karena jumlah pedagang tak sebanyak dulu lagi, katanya. Penjual
permen kacang itu yang bilang.” Tenggorokannya tercekat. Galuh menyesal harus
berbohong. “Galuh dengar, keuntungan berjualan di daratan malah lebih besar
daripada berjualan di atas jukung.
Terus,
yang membuat Galuh penasaran, mengapa Nenek selalu menjual berpuluh-puluh
tangkai jeruk siam banjar segar setiap hari? Mengapa tak menjual saja ikan
bawal, kacang panjang, atau berbagai pakaian? Apa Nenek tak bosan?”
Syahbana
menghadapkan wajahnya, turut mendengar pembicaraan. Dia menyulut perkataan
Galuh. “Mama, Galuh saja bilang begitu. Berarti, ada bagusnya memang kita
pindah saja ke daratan!”
Bu
Inggit mengelap tangan sebentar, mengurai jeda, lalu menghadapkan wajahnya ke
arah Galuh. Tak sedikit pun menoleh ke Syahbana. “Sudah berapa kali kamu ke
Pasar Terapung Lok Baintan, Luh?”
Belum
sempat menjawab, Syahbana main sela, “Mama pasti capai tiap hari harus mengayuh
jukung sendirian, kan? Biarlah uang
makan kita dari hasil kerja Syahbana menjadi penyewa klotok saja! Upah dari perahu bermesin itu cukup kok untuk makan.” Syahbana
bersikeras.
“Mama
bertanya kepada Galuh, bukan kepadamu, Syahbana. Sudah berapa kali kamu ke
Pasar Terapung Lok Baintan, Luh?” Nenek mengulang pertanyaannya.
Bola
mata Galuh berputar ke kanan dan ke kiri. “Ke Pasar Terapung di Lok Baintan,
ya? Tiga kali saja, Nek. Itu pun sewaktu kecil. Ibu dan Ayah selalu datang kemari
saat sore hari, lalu pulang menjelang malam.”
Nenek
Inggit tidak kaget. Mereka berdua dibatasi waktu dan ruang hingga berada di
tempat yang berbeda, dengan gaya hidup yang berbeda. “Kalau begitu, ikut Nenek
berjualan besok pagi, yuk! Liburanmu kan masih panjang.” Ungkapnya bergeletar.
Ada harapan besar melesak-lesak dalam dada.
“Dan
tak usah dengarkan nasihat pamanmu itu. Dia terlalu kuat menyimpaan perkataan orang-orang
yang tak pantas didengarkan…”
Galuh
menengok Syahbana. Syahbana berbalas menatap. Tak mungkin lagi dia mendebat mamanya,
mendebat kecintaannya. Dia juga gagal membujuk Galuh untuk membuat jera ibunya
berjualan. Meski demikian, dalam hatinya ia bersyukur, sang ibunda tetap teguh
pendirian.
“Tuh,
kan, Paman. Apa aku bilang, mustahil untuk membujuk Nenek Inggit. Lagipula,
sebenarnya aku tak keberatan kalau nenek berjualan...” bisik Galuh kepada Syahbana.
*
“Luh,
ayo bangun. Kita berangkat sekarang!” seru nenek sambil menggoyangkan-goyangkan
tubuhnya.
Galuh
harus rela bangun tidur pukul empat pagi. Mau berjualan ke pasar terapung saja
membutuhkan tekad yang besar. Dingin membuatnya memakai sebuah jaket tebal
besar. Sementara Nenek Inggit siap dengan tanggui,
pakaian khas banjar-nya. Begitu juga dengan caping rumbia yang sangat lebar. Tiga
keranjang jeruk siam banjar sudah tertata rapi di atas jukung.
Nenek
Inggit mengayuh jukung-nya dengan
tenang. Setenang matahari pagi yang merayap di tengah horizon. Semarak
jingganya mulai meluas. Setenang klotok
yang belum dipenuhi puluhan pasang sepatu anak-anak sekolah. Sesyahdu suasana
sunyi sehabis subuh. Berdua mereka menuju Sungai Martapura yang luas.
Akhirnya,
aliran Sungai Martapura terbelah oleh ratusan jukung. Di bawah jembatan Lok Baintan, ratusan pedagang melimpah
ruah. Kehidupan pagi yang baru mulai terlukis. Kanvas terhampar dari semesta
pagi. Sementara warna-warni mengalir dari tangan-tangan pedagang yang saling
menukar barang dagangan, senyuman para pembeli, dan kehadiran wisatawan.
Galuh tercekat. Pemandangan ini,
sama seperti peristiwa tujuh tahun lalu! Ratusan jukung menjalari aliran sungai Martapura ini. Pedagang apa saja,
ada! Di sudut utara ada pedagang beras, di sampingnya ada pedagang pisang. Di
sampingnya lagi ada yang menjual celana pendek. Mau makan apa saja, tinggal
menukar jeruk siam banjar dengan segala yang diinginkan. Begitu pula dengan
yang datang kemari. Tak hanya para pedagang yang akan menukar barang
dagangannya, para wisatawan juga berdesakan. Mereka berdecak kagum atas
pemandangan yang tak biasa ini.
Galuh
diizinkan Nenek Inggit memakan apa saja. Dia asyik memakan soto banjar dengan
suwiran ayam di atasnya. Habis makan, dia membeli sebuah buah mentega. Rasanya
yang seperti manggis –dominasi manis dan asam- membuatnya lagi-lagi
mengejap-ngejapkan mata bahagia.
“Bu
Inggit, tukar sekantong jeruk siam banjarmu dengan ikan bawalku, ya!” seru
seorang lelaki bercaping hitam. Jukungnya mendekati jukung nenek hingga
berdempetan. Dari intonasi bicaranya, sepertinya ia benar-benar menginginkan
jeruk-jeruk Nenek Inggit.
Nenek
Inggit mengangguk. “Bolehlah, Pak. Kasman.” Dimasukkannya jeruk-jeruk itu.
Tanpa sebuah timbangan. Naluri yang pasti. Ditukarnya dengan setengah kantong
berisi ikan bawal putih yang masih segar. Galuh berdecak kagum.
“Bu
Inggit, mau menukar jeruk siammu dengan beras kepunyaanku?” seorang wanita ber-tanggui marun berseru. Dia pun sama.
Salah satu sisi jukungnya menyentuh jukung nenek.
“Tidak,
Bu Ratna. Terima kasih.” Nenek Inggit menolak halus. “Masih banyak persediaanku
di rumah. Mm.. tapi, kalau mau, jeruknya ditukar dengan minyak goreng saja, ya?”
Tak
hanya dua pembeli jeruk siam banjar yang mendekati Nenek Inggit, tetapi
puluhan! Galuh sampai kelelahan melayani para pembeli. Yang harus diingatnya
terus-terusan adalah, harga satu kilo jeruk untuk pembeli –termasuk wisatawan-
dengan alat tukar uang adalah sepuluh ribu rupiah.
Matahari
terasa merangkak lebih cepat. Pukul sembilan. Tiga keranjang besar buah jeruk
nyaris habis. Jukung mereka terisi dengan sepuluh butir kelapa, empat kilogram
minyak goreng, dua kilogram ikan bawal, dan juga dengan tiga buah pakaian
hangat untuk Galuh.
Wisatawan
pun seperti tak ada habisnya. Sepasang turis di atas klotok menghampiri Nenek
Inggit dan Galuh. Yang lelaki berambut ikal, berjenggot tak tebal, tinggi, dan
kulitnya putih pucat. Sementara sang wanita berambut lurus dikepang,
berkacamata hitam, dan berkulit lebih gelap. Mereka mencoba jeruk siam banjar
Bu Inggit. “Sejak kapan pasar terapung ini ada, Bu?” tanya sang wanita dengan
bahasa Indonesia yang lancar.
“Sejak dua abad lalu, alias dua
ratus tahun,” kata Nenek Inggit dengan yakin. “Pasar Terapung Lok Baintan telah ada sejak
jaman Kerajaan Banjar.
Kalau
ingin melihat pemandangan terbaik di Sungai Martapura ini, pergilah sebentar ke
Jembatan Gantung.” Nenek Inggit menutup penjelasannya dengan senyum yang
merekah.
Galuh menekuri segala yang
dialaminya pagi ini. Lama. Rambut ikalnya terhempas angin. Jukung bergerak cepat oleh arus sungai yang mulai membesar.
“Sekarang,
kamu tahu mengapa Nenek tak ingin ke tempat lain, seperti ke daratan atau
tempat-tempat berbangunan besar itu, Luh?” tanya Nenek sambil memandang mata
Galuh, dalam.
Galuh mengangguk mantap. “Karena di
Lok Baintan lah sebagian besar orang banjar memenuhi kebutuhan hidupnya,
termasuk Nenek juga. Orang-orang dari luar Banjar bahkan sangat bersemangat
mengunjungi tempat ini.” Dan pengabdian,
Nek. Pengabdian Nenek lah yang membuat rezeki yang tak banyak menjadi lebih
berkah.”
Nenek Inggit mengangguk. “Ya, itulah
mengapa Nenek tak mau pindah. Karena banyak yang kemari, membutuhkan kehadiran Nenek.
Membutuhkan jeruk-jeruk siam banjar kita. Begitu pula dengan ratusan pedagang
lain. Kami tak akan surut karena satu-dua iming-iming. Apalagi pasar terapung
ini telah terkenal, bahkan sampai ke penjuru dunia.”
“Oh, iya. Apa dulu Nenek bertemu Kakek
di bawah jembatan layang ini?” tanya Galuh. Sepengetahuannya, tak ada satu pun
yang tahu tentang kisah cinta nenek kesayangannya itu.
“Menurutmu?” Nenek hanya menjawab
sambil mengedipkan mata. Dia membiarkan sejenak Galuh menebak-nebak bagian
sejarah hidupnya itu. “Mungkin saja.”
“Ya, kami bertemu di sini, di
Sungai Martapura. Empat puluh tahun lalu, Nenek menjadi pedagang jeruk siam
banjar yang masih muda dan kakekmu menjadi menjadi pedagang bawal yang ramah.
Kami bertemu pada suatu pagi yang indah. Sangat indah.” Galuh mulai menebak,
jangan-jangan minat memakan ikan bawal diturunkan dari sang kakek.
Ratusan
pedagang Lok Baintan mulai menyusut hingga tampak beberapa orang saja. Nenek
Inggit dan Galuh pun bersiap pulang, membelah Sungai Martapura yang berkilauan
oleh sinar mentari.
Lihatlah,
Galuh telah membuka cakrawalanya terhadap Pasar Terapung Lok Baintan. Di
dadanya terpatri janji ‘tuk lebih sering mengunjungi nenek dan juga Pasar
Terapung Lok Baintan. Semoga kau pun juga begitu.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar