Siang yang
terik. Sudah waktunya istirahat. Perut mulai terasa lapar. Saya dan ketiga
teman memutuskan untuk ke luar mencari makan. Biasanya sih, saya memilih yang
dekat-dekat saja; di dekat kosan atau di kantin. Biar lebih lama juga
istirahatnya. Berhubung ada perlu juga, ya sudah lah. Let we go. Dari
kantor, kami berempat naik motor. Jarak tempat makan nggak jauh, mungkin bisa
ditempuh lima sampai sepuluh menitan sahaja.
Tempat ini
belum pernah saya masuki. Paling banter hanya numpang lewat (dengan kondisi
toko tutup) dan melihat selebaran yang dipasang di depan. Dengar-dengar sih,
lumayan. Soalnya, kalau kantor punya acara, pesan makannya di sini. Asyik. Di
warung makan bergaya peresmanan ini –alias njupuk-njupuk dewe atau ambil-ambil
sendiri—, lauk-lauknya terhidang menggoda. Ada tempe bacem, urap-urap, sayur bening,
ikan bakar, ayam, daging sapi olahan, sampai lalapan segar. Oke, tentu saya
tidak heran karena memang lazim sekali ada lalapan di warung makan di tanah sunda.
Saya pun mengambil
piring, menyendok nasi, memilih lauk. Lauk pilihan saya jatuh pada ikan bakar
berukuran lumayan dengan lumuran bumbu hitam. Hmm. Sepertinya ada bumbu
jahenya, deh. Soalnya harum-harum gitu wanginya :D.
Kami berempat
berhadap-hadapan. Ruang makan tidak besar, tidak pula kecil. Setelah cuci
tangan, makanlah kami. Everything goes well. Acara ini diselingi dengan
obrolan tentang postingan di media sosial, harga kosan di sekitar situ (soalnya
bangunan kosan tersebut tinggi dengan fasilitas wah), dan sebagainya, dan
sebagainya.
Oke,
terlepas dari perbincangan, saya menikmati hidangan makan siang hari ini. Lapar,
saudara-saudara. Apalagi dengan pesanan jus alpukat yang hmm, kayaknya seger
banget. Piring saya habis, eh, nasinya habis, beserta lauknya. Tinggal tulang
belulang saja Hehehe.
Ada
satu titik di mana saya merasa malu, lupa, dan kesindir. Di tengah makan tadi,
ada seorang ibu dengan dua anak berseragam sekolah. Mereka duduk tak jauh dari
posisi saya. Mereka juga sama, mengambil nasi dan lauk. Hidangan sudah tersaji.
Tapi kok, tapi kok, mereka nggak langsung makan?
Oh.
Itu dia. Karena mereka berdoa. Berdoanya nggak sebentar. Terlihat khusyu’. Duh,
mereka berdua masih anak-anak, belum sampai SMP. Saya jadi malu. Tadi itu saya
sudah berdoa belum, yaa? Kalaupun berdoa, sudah khusyu’ belum, yaa? Setiap saat
sudah membiasakan belum, ya? Agama saya mengajarkan basmalah, juga dengan doa “Allaahumma
baariklana dst…”. Masalahnya, apakah doa itu sudah dilaksanakan dengan tulus?
Paling nggak diri ini bersyukur masih bisa makan beratus butir nasi. Gimana
dengan doa setelah makannya? :(
Jaman
TK dulu, pasti ada jeda waktu untuk berdoa bersama. Sayangnya bukan anak TK
lagi *sigh*.
Alasan
paling klasik saat nggak berdoa adalah lupa. Lupa karena buru-buru. Lupa karena
yang dimakan sedikit. Lupa karena yang dimakan hanya sebutir permen. Berarti,
harus lebih dibiasakan lagi, nih, berdoanya.
Jadi
teringat candaan seorang penulis. Dia makan dan minum. Saat makan, dia tidak
berdoa.
Saat minum, malah berdoa. Lalu ditanya, kenapa tidak berdoa? Biar setannya
cegukan karena habis makan langsung didoain :p
Jam
terus berputar. Saya mulai ketar-ketir sekarang, pengin balik ngantor. Selesai
makan, mampir ke tempat lain sebentar, kami pun pulang. Kembali ke rutinitas
lagi.
Makananya
tadi sudah bayar? Sudah doong …. :). Ternyata lumayan, ya, ikannya. Nasi plus
tempe bacem dua potong plus ikan plus jus alpukat dihargai Rp21 ribu *otak
langsung membandingkan dengan harga makan per bungkus a la anak kosan yang bisa
sampai 4ribu saja*.
Saya
berharap kapan-kapan bisa ke sana lagi. Mm, ketemu adik-adik imut itu lagi. Kapan-kapan
yang belum pasti kapan. Yang pasti, saya dapat pelajaran. Saya kembali
diingatkan, untuk berdoa sebelum makan. Thank you, fellas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar