Aku
mengenalmu lewat kata-kata, lewat gurat wajah, lewat angin
Aku
menyentuhmu dengan pena, dengan rindu, dengan air mata
Ingin
aku menemuimu dalam asa yang tiada batasnya
Ini kali ketiga aku menemukan kertas
bertuliskan puisi tak bertuan. Isi dan tulisannya sama persis dengan dua kertas
yang kutemukan sebelumnya. Tiga hari lalu kutemukan di kolong meja dan kemarin
lusa di ruang baca favoritku di perpustakaan. Aku masih yakin ini hanyalah
kebetulan. Meskipun Lena, teman sebangkuku, selalu bilang bahwa ada seseorang
yang merindukanku.
Kubuang kertas ini ke tempat sampah.
Aku sudah lapar, ingin cepat-cepat pulang.
Renny, temanku yang seorang model
sebuah majalah terkenal, berjalan cepat melewati gerbang. Langkahnya menarik
perhatian banyak orang. Dia tersenyum sekilas padaku. Aku tahu, aku takkan
pernah bisa menyamai langkahnya itu. Seorang itik buruk rupa sepertiku, yang
berkulit legam, yang tak berhidung mancung, yang wajahnya biasa-biasa saja,
takkan mampu menarik perhatian banyak orang.
Kulanjutkan langkah. Kucegat
angkutan hijau yang akan melintas di hadapanku.
*
Aku bersyukur tinggal bersama Nenek
Upa yang sangat menyayangiku. Aku juga tak menyalahkan takdir karena sejak
kecil, orang tuaku telah tiada. Toh aku masih bisa berkunjung ke makam mereka. Nenek
Upalah yang menyemangati hari-hariku, yang menguatkanku agar menjadi yang
terbaik. Hasilnya, aku selalu mendapat ranking tiga besar di kelas.
Angkutan
tua ini berjalan lurus melewati jalan protokol. Semakin lama semakin menjauh
dari pusat kota. Seorang anak kecil berseragam SD yang duduk tak jauh dariku
terkantuk-kantuk. Kepalanya sesekali mengangguk. Ranselnya yang berat itu
didekap. Lalu dia bertanya, “Kakak, persimapangan Jalan Juanda masih jauh ya?”
Aku
menggeleng. “Tinggal lima menit lagi. Adik turun di situ?”
Dia
mengangguk sambil mengusap wajahnya. “Belum pernah naik angkutan sendiri.
Biasanya dijemput Ayah.”
Angin
semilir membelai wajahku. Aku duduk di kursi paling ujung, dekat kaca belakang.
Angkutan melewati jalanan lengang penuh pertokoan tak terpakai di sebelah kiri
dan kanan. Sebentar lagi adik kecil ini akan turun. Lalu aku juga akan turun.
Perutku sudah berbunyi beberapa kali. Keinginanku untuk cepat-cepat sampai
terganti oleh firasat buruk ketika seorang lelaki berewokan naik ke angkutan
ini.
Sedari
tadi, angkutan hanya diisi oleh supir, aku, dan anak SD. Entah mengapa, lelaki
yang duduk di sampingku menatap tasku berkali-kali. Aku jadi curiga. Apalagi
dia sepertinya tak berniat bepergian. Dia hanya membawa badan. Kedua tangannya
dimasukkan pada saku jaket kulitnya yang tebal. Aku mendekat pada anak kecil SD
tadi. Oh, namanya Tiara. Nama itu tertera pada seragam putihnya. Kini posisiku
di dekat pintu. Jalanan masih lengang. Waktu berjalan sangat lambat.
Lelaki
berewokan itu ikut pindah ke dekat pintu. Dia memilih duduk di sampingku. Aku
diapit oleh dua orang sekarang. Aku bergidik ngeri ketika membayangkan berita-berita
di televisi. Kupikirkan berbagai cara menghadapi kemungkinan terburuk saat ini.
“Serahkan
dompetmu, atau perutmu akan tertusuk pisau tajam ini!” Seketika aku terkejut
mendengar perkataan lelaki di sampingku itu. Perampokan! Tangannya menggenggam benda
mengkilat berujung runcing. Benar-benar pisau. “Jangan coba-coba berteriak
kalau tak ingin nyawamu berakhir naas di sini.”
“Pelankan
kemudimu!” Supir di depanku ketakutan. Dia juga terancam. Dia tak dapat berbuat
apa-apa selain menuruti perintah lelaki itu. Aku beristighfar. Di saat yang
genting ini, aku harus bertindak cepat dan tepat. Kalau tidak, bukan hanya aku
saja yang tak selamat. Tiara bisa jadi korbannya.
“Cepat!
Kau mau memberontak, hah?!” ujung pisau itu kian mendekat ke pinggangku, hanya
berbatas kain seragam sekarang. Orang ini tidak main-main. Tiara ketakutan. Dia
terisak dalam diam. Cepat-cepat kuberikan dompet warna merah jambuku. Pandangan
lelaki itu kemudian tertuju pada anak kecil ini.
“Jangan
coba-coba menyakitinya. Dia adikku!” ucapku tegas. Kurengkuh anak kecil tadi
yang semakin menderas air matanya. Dia mengerti, di saat seperti ini, dia harus
berbohong.
Tuhan
Maha Besar. Satu gebrakan keras terdengar dari arah belakang. Sebuah motor
polisi tiba-tiba menabrak sisi belakang angkutan. Lelaki itu ketakutan. Dia melompat
keluar dan berlari cepat memasuki sebuah perkampungan.
Angkutan
terhenti. Seorang polisi turun dari motornya, meminta maaf pada supir angkutan.
Bapak supir malah mengucapkan terima kasih dan menceritakan apa yang baru saja
terjadi. Polisi itu geram dan ingin mengejar. Namun kutolak, “Tidak usah, Pak.
Saya hapal bagaimana wajah orang itu. Yang terpenting sekarang adalah adik
kecil ini. Dia sangat ketakutan.”
Tiara
hanya mau pulang bersama polisi itu jika kutemani. Aku setuju. Kuantarkan dia
sampai ujung gang rumahnya. Selanjutnya, biarlah polisi itu yang menemui orang
tuanya. Sebelum berpisah, Tiara memberikanku sebuah sapu tangan yang
digunakannya untuk mengusap wajahnya tadi. “Terima kasih,” ucapnya dengan mata
berbinar-binar. Aku mengangguk. Kuminta dia melupakan kejadian tadi.
Aku
pulang naik ojek. Nenek Upa menyambutku seperti biasa, cerah dan bahagia. Aku tak memberi tahu apa yang baru terjadi karena
beliau pasti akan sangat khawatir. Yang terpenting aku selamat. Akan kuurus
kartu-kartuku di kemudian hari.
Kupejamkan
mata. Aku bermimpi Tiara tersenyum dengan binar matanya yang indah.
***
“Cha, kamu dapat puisi lagi tidak
hari ini? Wah, aku sudah tak sabar..” seru Lena sehabis dari kantin Bu Iyah.
“Belum. Ah, semoga saja benar-benar
tidak dapat. Penulisnya pasti sudah menemukan alamat yang asli, bukan ditujukan
kepadaku, si itik buruk rupa.” Pikiranku masih terbayang-bayang peristiwa
kemarin. Sekali lagi, aku bersyukur telah selamat. Tak ada luka sesayat pun
yang tergores dari tubuhku, juga gadis mungil bernama Tiara itu. Bagaimana
kabarnya sekarang? semoga dia baik-baik saja.
“Aduh, sudah kali berapa kubilang,
puisi itu benar-benar untuk kamu! Kamu itu peri angsa, kamu cantik. Kamu bukan
itik buruk rupa. Percayalah itu.” Lena bersungut-sungut.
Hening.
Lena menunggu responku. “Ngomong-ngomong, ada anak dari Geng Sablon yang
mengancammu? Bilang aku saja. Akan kulaporkan pada guru BK.”
Aku menggeleng pelan. “Tak satupun anggota
Geng Sablon yang mengancamku.” Pekan lalu, kulaporkan rencana pembalasan
tawuran terhadap sekolah sebelah oleh Geng Sablon pada guru BK. Mereka akan
melakukan aksi yang cukup brutal. Teman-teman sudah tahu, tapi diam karena
diancam. Aku tak hanya menjadi itik yang jelek, tetapi juga nekat. Syukurlah
rencana itu tak pernah terjadi. Apakah Geng Sablon tahu bahwa akulah pelapor
itu, aku tak peduli. Aku akan baik-baik saja.
Lena mengajakku kembali ke kelas.
Baru saja duduk santai di atas bangku, Lena sudah terpekik histeris. “Waah,
akhirnya puisi cinta itu datang!”
Lena menjulurkan tangannya pada
kolong bangukuku, mengambil sebuah gumpalan kertas. Dibukanya benda itu
cepat-cepat, lalu membaca tulisan yang tergores di dalamnya. “Cha, jika
cinta ingin bermuara, kita bisa bertemu di kelas ini sepulang sekolah. Dari
pengagum rahasia.”
Aku
kehabisan kata-kata.
“Dia
menyebut namamu, Cha! Benar kan apa kataku. Kamu bukan itik buruk rupa. Kamu
itu puteri angsa, Cha. Maukah kubantu mempersiapkan penampilanmu bertemu
pengagum rahasia nanti sore? Kira-kira, siapa ya pangeranmu? Pastilah dia
lelaki yang tampan nan bersahaja.”
“Ti..dak
mungkin..” Tidak mungkin kumiliki seorang pegangum rahasia.
Lena membujukku dan memberikan
segala argumentasinya, bahwa aku benar-benar pantas memiliki pengagum rahasia. Tak
akan acara sekadar menggodaku apalagi pembalasan Geng Sablon. Aku tercenung,
terpengaruh. Aku memang punya hak untuk dicintai. Aku mulai iri dengan
teman-teman lain yang sudah punya kekasih. Aku setuju untuk menemui pemilik
puisi itu nanti sore. Sendirian, empat mata. Jantungku berdebar-debar.
Perasaanku berkecamuk tak karuan. Aku ingin pelajaran segera berakhir.
***
Pelan
kutapaki tangga menuju kelas. Kelasku berada di lantai dua sehingga terkadang
aku merasa nyeri ketika harus naik-turun setiap hari. Anehnya, aku tak
merasakan sakit apa-apa saat ini. Kuatur napas. Untuk menemui seorang pegagum
rahasia saja begini mendebarkannya.
Aku
berdoa semoga tidak pingsan atau mati kutu dalam bicara. Ya, baru kali ini ada
lelaki yang mau mengajakku bertemu! Pastilah dia mengajakku berbicara. Kuberikan
senyum terbaikku saat bertatapan dengannya. Lelaki ini.. menawan! Terlalu
menawan untuk itik buruk rupa sepertiku. Aku tidak pernah mengenal dia
sebelumnya.
Dia..
meskipun pada awalnya kikuk juga, dia ikut tersenyum. Kalimat pertamanya
membuatku meleleh. “Ocha, ya? Aku yang mengirimkan puisi-puisi itu..”
Aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Melihat malaikat seperti dia, kugenggam
tali ranselku erat-erat. Bibirku terkunci rapat.
“Aku
Rey, kelas 9E. Kita memang belum pernah bertemu. Tetapi aku selalu mengamatimu
dari jauh.” Duhai, apa yang dikatakannya barusan? Mengamatiku dari jauh?
“Cha,
kamu harus bersikap santai. Kalau tidak, nanti kamu benar-benar terlihat
seperti orang yang tak pernah ditemui lelaki..” Kuingat perkataan Lena.
“Apa kabar?” kupaksakan kata sapaan itu muncul.
“Luar
biasa,” jawabnya. Aku tertawa kecil. Gayanya seperti orang yang sedang ikut
seminar. Dia benar-benar mampu membuat suasana lebih santai. “Mau ini?”
pintanya sembari memberi sebuah kudapan padaku.
Lagi-lagi
aku tersenyum. Sial. Aku tak dapat menutup kenyataan bahwa aku terpesona akan
keindahannya. “Pastel itu dibuatkan adikku. Dia sangat jago memasak meskipun
masih kecil.”
Untuk
menjaga keanggunan sebagai itik yang akan berenkarnasi menjadi puteri angsa,
kukunyah pastel itu pelan-pelan. Rasanya memang enak.
“Kamu
cantik apa adanya. Kamu tahu, kamu berhasil membuat Geng Sablon mati kutu di
hadapan guru BK dan wakil kepala sekolah.” Aku tersipu, bagaimana dia bisa
tahu? Pelan tapi pasti, pastel itu kutelan. Tapi, ada apa ini? Mula-mula
wajahku terasa gatal, lalu tanganku juga gatal.
“Kenapa?”
katamu bernada khawatir.
Sungguh
terlalu! Aku lupa kalau aku alergi telur. Pastel ini pastilah ada telurnya. Sebentar
lagi aku benar-benar menjadi itik buruk rupa. Ruangan kelas yang penuh debu membuatku
terbatuk-batuk dan bersin-bersin. Oh, tolonglah. Jangan alergi sekompleks ini
sekarang.
Rey
menatapku, menahan tawa. Dia mencari sesuatu di sakunya. “Tak usah
repot-repot.” Kurogoh-rogoh isi tasku. Sapu tangan.. aku butuh sapu tangan.
Syukurlah aku masih menyimpan pemberian Tiara kemarin sore. Kututupi sebagian
mukaku dengan sapu tangan. Aku tak boleh membuat lawan bicaraku terdiam seperti
patung. Jadi, perbincangan harus tetap diteruskan. “Maaf ya, Rey. Kamu ikut
panik.”
Rey
masih menatapku. Kali ini benar-benar terdiam. Dia memandangiku seperti aku ini
sebuah lukisan mewah. “Kenapa? Aku jelek ya? kamu harusnya sadar, aku hanya
seekor itik buruk rupa..”Oh, matilah aku. Aku sudah merusak reputasiku sendiri.
Dengan
cepat dia keluar kelas, membuang sebuah kresek hitam ke tengah taman sekolah. “Jangan!
kamu bisa kena sanksi karena membuang sampah sembarangan,” aku berteriak, dia
tak peduli. Rey tersenyum, lalu mengatakan kalimat yang tak terduga sebelumnya.
“Aku harus pergi. Maaf.”
Aku
harus pergi. Maaf. Itukah kata-kata terakhir dari seorang pengagum rahasia? Pertemuan
yang mengagumkan. Aku terduduk lemas. Rasanya? tidak dapat dideskripsikan. Aku
harus menyadari sebelumnya bahwa aku ini hanyalah itik buruk rupa. Jatuh cinta
saja tak pantas, apalagi sakit hati.
Lena
tergopoh-gopoh masuk kelas. Dia sudah melihat apa yang terjadi dari kejauhan. Lena
menguat-nguatkanku agar tetap sabar. Ia merasa bersalah.“Tenang, Cha. Siapa
sih, Rey itu? Kamu itu puteri angsa. Kamu akan mendapat yang lebih baik
daripada orang-orangan sawah itu!”
Lena
menungguiku, mengantarkanku ke toilet, dan menraktirku makan siang. Kubilang
aku baik-baik saja, meskipun sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Saat tiba di
rumah, kutolak permintaan Nenek Upa untuk makan bersama. Itik ya tetap itik.
Tak akan jadi puteri angsa walau diapa-apakan.
Malam
ini bulan bersinar cerah, tak seperti aku. Kupandangi kawan-kawannya, gemintang
yang juga tak kalah cemerlang. Pertama kali disukai seseorang, lalu bertindak
memalukan di depan orang itu? Oh, andai aku bisa operasi plastik. Rey pasti
pergi begitu saja ketika benar-benar menyadari aku ini jelek. Jauh dari
sempurna.
Aku
tak dapat membayangkan bagaimana reaksiku jika bertemu dengannya. Nyaris aku
beranjak ke tempat tidur kalau tak kulihat sebuah benda yang terlempar ke
kamarku. Hooh, siapa? Tak ada siapa-siapa di luar. Sebuah gumpalan kertas lagi!
Kakiku kembali ngilu. Mungkinkah Rey menuliskan sebuah surat penolakan untukku?
Tak mungkin, tetapi benar! Guratan tulisan pada kertas itu..dia yang menulis.
“Kurasa
kamu tidak dapat menerka apa yang kumau. Mengapa aku menulis puisi-puisi itu
padamu, mengajakmu bertemu, lalu berlalu begitu saja. Kamu tahu Geng Sablon?
Tidak banyak yang tahu bahwa akulah kepala geng itu..”
Cerita
macam ini? Rey kepala geng itu? Pastilah dia ingin membuatku merana, dan dia
berhasil.
“Awalnya
aku ingin membalas hukuman skors semingguku dengan membuatmu gatal-gatal
sepanjang hari dan pingsan karena setengah lusin cicak yang kubawa. Ya, surat
cinta itu hanyalah rekaan, benar-benar fiktif. Tapi, setelah melihat sapu
tangan yang kau kenakan, kau menjadi malaikatku. Aku jadi teringat adikku yang
kusayangi melebihi diriku sendiri.”
Adik?
Sapu tangan? Tunggu-tunggu. Tiarakah maksudnya?
“Kautahu?
Tiara begitu takjub ketika bercerita tentangmu, seperti menceritakan seorang
Wonderwoman. Kaubalut ketakutannya dengan pelukanmu. Sungguh, sudah lama dia tak
mendapat kasih sayang seorang ibu. Ayahku yang buruklah yang menceraikan wanita
sebaik dia. Terima kasih telah menolong Tiara. Maafkan aku, Cha. Aku janji,
Geng Sablon tak akan berulah lagi.”
Seketika
itu juga aku bersimpuh. Frame demi frame tentang Tiara tersibak dalam
pikiranku. Lalu tentang Geng Sablon. Tuhan, begitu manisnya Engkau menolongku.
Aku tak peduli jika aku menjadi itik buruk rupa hingga tak ada seorangpun
mencintaiku. Namun aku senang membuat orang-orang di sekitarku bahagia.
Termasuk gadis kecil pemilik senyum manis itu..
“Ada
apa, Cha? Kamu kok nangis-nangis terus senyum-senyum sendiri?” Nenek Upa masuk
ke dalam kamar. Kupandang wajah ayunya yang belum hilang dimakan usia. Aku
tahu, banyak cerita yang belum kubagi padanya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar