Serasah Senja
Kedua roda
yang berputar serasi pada sepedaku terus kupacu untuk bergerak lebih cepat. Cepat
dan cepat. Tak peduli dengan bulir-bulir keringat yang jatuh deras ke pipi,
juga yang masih bersembunyi di balik seragam yang kukenakan. Aku melawan
matahari yang terlalu pijar untukku. Tenggorokan pun sudah kering rasanya. Hasrat
sudah berangan menghadap sepiring nasi dan sambal. Energi rasanya nyaris habis
untuk memikirkan pelajaran. Sabar, tahanlah apa yang ada di benakmu sekarang.
Sebesar apapun itu. Perjalanan dua kilometer takkan terasa jika dibarengi
dengan hati yang riang.
Dengan tetap
awas, kedua bola mataku kugerakkan ke kanan dan kiri. Melihat kandang-kandang
sapi, lapangan kerontang, juga anak-anak kecil yang sedang bermain gundu itu.
Perjalanan menuju pesisir pantai masih cukup panjang. Hingga akhirnya
pandanganku terantuk pada sosok yang lewat dihadapanku barusan. Karmila! Mataku
menatap jelas akan kehadiran anak lurah tempatku tinggal. Motor barunya melaju
mantap ke arah selatan, berlawanan arah dengan sepeda onthelku. Hmmm.. kusapa
dia sambil tersenyum, sambil berdecak kagum atas barang barunya itu. Dia
membalasku dengan senyum serupa, namun terkesan lebih elegan. Meski hanya tamat
sekolah dasar, Karmila cukup sukses dengan usaha banding presto ayahnya. Juga,
sudah berganti status menjadi ibu beranak satu. Ya, usia boleh sama denganku,
tujuh belas tahun. Namun dia sudah melebihi diriku, dari segi fisik, juga
materi. Penduduk di kampungku, Tegal Ijo, kecamatan Lekok sepertinya mulai
membaik kesejahteraannya. Dan aku setengah yakin setengah ragu jika penghasilan
yang mereka peroleh bukan berasal dari penjarahan mangrove. Jangan tanya
bagaimana dengan bapakku yang berprofesi sama sebagai nelayan. Aku akan lebih
senang mengayuh pedal hingga kakiku nyaris kram daripada harus menceritakannya
sekarang.
“Baru pulang
sekolah, Pak Darwis?” sapa orang yang sedang membawa kail ikan dengan sekantung
penuh bandeng di keranjangnya, tepat setelah aku berbelok arah menuju pemukiman
pesisir, dua kilometer jaraknya. Aku tidak tahu nama orang itu. Yang jelas, ia
naik sepeda onthel juga.
“Iya, Pak. Monggo…”aku tak merasa keberatan lagi
saat orang-orang memanggilku dengan nama bapakku, bukan namaku. Padahal aku ini
perempuan, sama dengan jenisnya Siti Hawa, sama dengan pemain sinetron
Asmirandah. Punya nama, Laras. Tapi, sudahlah. Ini sudah menjadi ‘kutukan’ atas
kepopuleran bapakku di kalangan pelaut seperti bapak yang menyapaku barusan. Jangan
tanya dulu apa yang menjadi kepopuleran bapakku. Kepopuleran itu menurutku
lebih membuat hidupku cemas dihantui kontra masyarakat.
Pemandangan
yang sudah tak asing lagi bagiku telah nampak di pelupuk mata. Pemandangan yang
menandakan kayuhan sepeda tuaku terhenti. Deretan bakau-bakau yang ditata
sedemikian rupa di kejauhan telah menyambutku menuju rumah. Ah, aku, ibu,
bapak, dan bakau. Mungkin bakaulah yang memang menjadi anak kedua bapak selain
aku.
Mungkin
inilah hari terparah aku bersungut-sungut atas keadaan. Menjadi anak pesisir
yang terdampar di kota
dengan visi menuntut ilmu, namun setiap hari harus mengurusi tanaman berakar
napas itu. Menjadi gadis desa yang terkesan lugu, padahal naluriku menginginkan
yang lain, seperti gadis-gadis kota
pada umumnya. Ah, bapak… andaikan saja mau menuruti penawaran pekerjaan paklik
di kota, tentu aku takkan terkungkung oleh pergaulan yang seperti ini.. Belum
lepas tautan kedua alisku, nampak dua orang yang tergesa-gesa membawa kayu,
lewat dari arah belakang rumah. Aku diam, tanpa balasan tanpa ekspresi. Aku tak
akan menasihati mereka seperti bapak.
Nah, akhirnya. Sepeda sudah tersimpan aman.
Kuucapkan salam dengan sangat lantang. Rupanya kedatanganku disambut oleh tamu
yang tak asing lagi. Ibu lurah. Ibunya Karmila. Bu Bejo. Bapak yang tentu saja
dalam hal ini berurusan dengan Bu Bejo mempersilahkanku melepas letih. Tidak
sopan ikut nimbrung dengan tamu.
“Baru pulang,
dhek?” sapa Ibu, setelah aku mencium kedua tangannya yang halus.
“Iya..”
jawabku sekenanya.
“Lapar?”
suara yang seperti biasa. Halus dan penuh kasih sayang. Tangannya mulai cekatan
membersihkan sisik bandeng di luar rumah.
Aku
mengangguk. Tentu, Ibu!
“Situ. Ada bandeng bakar dan
kiriman jus alpukat.” Jawab ibu sembari menengok dapur.
“Ibu memasak
sendiri?”
“Tidak. Baru
saja diberi Bu Bejo. Ini bandengnya juga.”
“O..” Bu
Bejo memang baik. Dua kali dalam sepekan selalu sowan ke rumah. Bisa bawa
makanan, bisa juga sirup yang dibelinya dari kota . Kenapa pula bapak terkesan enggan
menanggapi Bu Bejo? Sudah. Jangan memikirkan itu dulu. Lebih baik makan.
“Jadi Pak
Darwis, dengan modal yang seiprit
itu, cuma mengorbankan tanaman yang tidak keurus pemerintah itu, kita bisa
untung besar lho, Pak..!” suara Bu Bejo memantul-mantul di ruang tamu,
mengundang kedua telingaku untuk tetap mendengarkan.
“Maksud Bu
Bejo, wanamina, begitu? empangnya
bakau dibuat tambak?” jawab bapak dengan nada halus.
“Halah.
Tidak usah wanamina-wanaminaan. Kesuen, terlalu lama,” suara Bu Bejo juga
tak kalah halus, namun tajam penuh provokasi. “Sudah banyak nelayan yang tidak
mau mengurusi bakau.. Sudah banyak, tho,
tanjang yang di dekat tambak sebelah sana ?
Buat apa memagari pantai lagi, Pak?”
“Bisa Rob
lho, Bu.. Bukankah bakau itu bagus untuk kepiting-kepiting yang ada di
bawahnya, buat anak cucu kita nanti, bisa buat obat pendarahan, bisa…
sebagainya.. saya lupa. Penyuluh si mahasiswa itu bilang manfaatnya banyak
sekali bagi kita..”
“Iya.. tentu
saja bakau itu bisa menahan gelombang. Tapi, bukankah di daerah kita jarang
sekali ada rob? yang dibilang penyuluh itu yang baik-baiknya saja. Merawatnya
susah. Harus disiram air laut, harus…”kali ini suara Bu Bejo lebih lantang,
namun gaya kemayunya belum juga hilang.
“Lha. Itu, Bu Bejo sudah tahu. Kenapa
harus bersikukuh menebang buat kayu bakar? Sekarang kita sudah pakai elpiji,
lebih hemat. Merawat itu demi masa depan, lho, Bu..
“Halah-halah,
dibayar berapa sampeyan sampai mau
jadi pengkampanye tanam mangrove, hah? Lihat saya. Punya tambak
berhektar-hektar. Untungnya besar. Anak saya juga terjamin makan tidurnya. Itu
saja motto hidup saya.”
Kuletakkan
piring bekas makan di meja makan, sambil terus mendengarkan percakapan. Aku
tahu, bapak pasti sedang berpikir keras sekarang. Paling tidak ekspresinya
termenung menunduk pada lantai, menahan napas, kemudian mengatur kata agar
tidak terlampau emosi.
“Pak Darwis
bisa menyekolahkan anak-anak sampeyan hingga kuliah!!”
Sepertinya
aku mengerti arah pembicaraan Bu Bejo. Ya, tentang pembabatan mangrove itu.
Kabarnya keponakannya yang pengusaha itu minta pembebasan lahan. Katanya lagi
akan tetap memperhatikan lingkungan. Akan menanam seribu mangrove Sementara Bu Bejo
ngotot meminta keuntungan. Tapi aku tidak yakin. Menyambangi esturia saja
mereka belum. Aku tak pernah bertemu dengan mereka saat menjaga bibit dari
serangan ternak.
“Sudahlah
Pak Darwis. Kita ini sama-sama miskin. Walaupun bapak seorang guru, yang
katanya pahlawan tanpa tanda jasa, tapi tetap saja tho, pak, kalau hidupnya
seperti ini, tetap membosankan? Sekali-kali lah, Bu Darwis dibelikan cincin
emas atau daster baru.. jangan hanya disuruh bersihkan sisiknya ikan saja kerjaannya..”
Kulirik ibu
yang terang-terangan mendengar perkataan itu dari balik bilik. Beliau hanya
mematung dengan kepala tunduk.
“Ini mumpung
lho, Pak.. para warga itu sepakat mau mencabuti bibit-bibit mangrove yang baru
saja ditanam orang-orang dari luar kota
itu. Kan percuma, wong nanamnya saja salah.
Di aliran sungai yang tak ada pasang surutnya. Ayolah, Pak.. jadinya kita bisa
leluasa buat tambak di samping tanaman mangrove itu..”
Hening.
Kondisi genting, persis detak jarum jam tengah malam. Kondisi di luar sana sepi, persis juga di
sini. Jika boleh memilih, undangan, rujukan, paksaan, rayuan,, atau apapun
namanya yang diluncurkan oleh tetangga-tetanggaku itu pasti akan kuterima. Aku
sudah tahu jika akhir-akhir ini bapak sedang krisis income, kekurangan pendapatan. Tahlilan khaul untuk Mbah Kakungku
membutuhkan biaya yang besar. Melaut sedang tak banyak ikan. Sayangnya aku
bukan bapak.
“Maaf Bu
Bejo, saya tidak bisa.. meskipun bapak-ibu setiap hari datang kesini, saya
tetap tidak ingin ikut. Kita ini dari kalangan nelayan. Jangan mau diakali
orang-orang yang mau menghancurkan kita.”
“Menghancurkan
bagaimana pak? Jelas-jelas keponakan saya yang ada di kota Pasuruan sana
bilang, kayu-kayu mangrove itu kalau dijual untungnya besar sekali! Anda mau
munafik kalau lahan tambak itu harus diperlebar?”
“Sekali lagi
maaf , Bu… Kami…”
“Terimakasih
waktunya. Saya pamit pulang!”
Terdengar
pintu rumah terbanting dengan keras. Kulihat bapak menerawang ke langit-langit
rumah yang masih tak diberi asbes. Pasti sulit menghadapi istri pejabat desa
yang satu itu. Diam-diam aku merasa kasihan. Aku tak patut menganggap hal ini
sepele.
“Mas, kenapa
tidak kalem sedikit dengan tetangga kita? Mereka sedang buta hatinya. Siapa
sekarang yang tidak ingin uag? Ibu saja ingin..” ibu mencoba berdiskusi.
Mungkin terbujuk rayuan Bu Bejo.
“Laras,
sana. Lakukan kegiatan rutinan kamu!” Bapak tidak bergeming dengan perkataan
Ibu. Malah pemilik suara berwibawa itu memintaku ke tempat menyebalkan yang
selalu dianggap penting. Agenda tiga bulanan. Baiklah. Ingin ku katakan bahwa
aku keberatan. Capai. Dan berpuluh alasan lainnya. Tapi aku tak tega. Aku,
setelah berpanas-panas ria harus segera mengangkut diri menuju semak belukar
penuh nyamuk itu, dengan sepeda onthel kembali.
***
Bukannya aku
tidak menyukai tempat ini. Aku sungguh suka. Tempat ini mengingatkanku pada berjuta
kenangan saat seseorang menyebutku Esturia, muara. Sungguh, sebenarnya aku tak
keberatan jika bapak menyuruhku mengamati perkembangan bakau dengan
serasah-serasahnya yang jatuh anggun menjejak bumi. Serasah, daun-daun tua yang
kelebihan garam akan jatuh pada saatnya, nyaris sama dengan yang dulu dia
bilang, seseorang akan menemukan kebenaran pada saatnya. Aku selalu menunggu
teman masa kecilku, yang kuanggap sahabat terbaikku, Mariska. Dia ikut orang
tuanya ke Surabaya.
Hanya saja
penantianku kuanggap percuma, karena teman masa kecilku itu tak pernah nampak.
Satu bulan, dua tiga bulan, hingga tengah tahun kemarin dia tak memberiku kabar
apapun. Dia bilang dia akan bersaing denganku, menunjukkan prestasi akademik
kami. Mariska, bagaimana dia bisa menghilang bak ditelan bumi begini?
Tak ada lagi
kegiatan mengamati propagul saat air laut surut, tak ada lagi yang bersama
membantu bapakku, Darwis selama bertanam mangrove setahun yang lalu, juga
menyiapkan ijur, bambu penyangga bibit bakau.
Tak lagi aku
menghirup bau lumpur yang khas ini dengan hati senang karena ditemani sahabat
yang juga mencintai pendidikan.. Aku sepertinya tak kuat untuk memendam
kenangan yang begitu menggebunya.
Kini semuanya
berubah. Sangat drastis.
Serasah
senja itu nampak seperti aku, kini. Hanya saja serasah itu berguna, aku tidak.
Tak sepantasnya aku menolak amal bakti bapak, yang belum dianggap pemerintah,
yang untungnya didukung mahasiswa yang mulai berkunjung. Kuingat lagi, di kala
wajahku mulai ditekuk, di saat hatiku sedang patah karena tak bisa berkumpul
bersama teman-teman yang rumahnya di kota, bapak hanya berkata seperti ini, “Seseorang
yang mengurusi hidup orang satu itu bagaikan mengurusi hidup orang seluruhnya.”
Betapa satu
tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi bapak.. dan tak seharusnya penantian akan
balasan sms, telepon, atau surat dari Mariska yang tak membuahkan hasil apapun
membuatku kecil hati. Walaupun dari Bu Bejo aku tahu, Mariska berkembang
menjadi remaja yang modis. Cantik dan pintar.
Bapakku
adalah pejuang bakau. Dan aku harus senang dengan itu.
Serasah
jatuh, bukan jatuh terhina, namun berkorban karena keinginannya untuk berguna.
Serasah
senja itu.. Bapak, kukira. Ya, bapak !
***