Lulu sedang asyik bersepeda
memutari jalanan sepanjang rumahnya. Jalan utama yang dihiasi beberapa pusat
perbelanjaan besar itu masih lengang. Sesekali saja angkutan berwarna biru
langit lewat, menunggu penumpang. Minggu yang cerah, meski matahari mengintip
langit kotanya malu-malu.
Lulu menyantap nasi pecel
blitar terenak di daerah itu. Sendirian. Cuma empat ribu rupiah, dia bisa
melahap nasi hangat, tempe dan tahu berbumbu kacang, dan sebuah kripik peyek
besar. Tadinya, Kak Maudy, misanannya, mau ikut. Pukul lima pagi mereka
berjanji bertemu di bundaran kampus. Namun, secara tiba-tiba Kak Maudy minta
maaf tak bisa ikut. Dia harus menemui seseorang. Tanpa Lulu tanyakan, dia sudah
mendapatkan jawabannya lewat senyum mengembang dan rutinitas serba cepat
misanan yang kerjaannya serba a la puteri keraton itu.
Orang-orang yang sedang
makan di sampingnya membicarakan kekalahan tim sepakbola Indonesia melawan
Malaysia. Sedangkan Lulu sendiri, dia tidak membicarakan apa-apa. Tangannya
asyik mencoret-coret sebuah kertas. Dia menggambar pemandangan di hadapannya
begitu saja. Bakat menggambarnya itu bisa saja muncul kala dia makan, tidur,
atau sedang ulangan sekalipun. Yap. Selesai. Lulu mencak-mencak girang. Dia
lalu mengambil sepeda, bersiap mengayuhnya lagi.
Kali ini, Lulu mau menuju
alun-alun. Sekalian mampir ke rumah bibi yang dekat dengan pasar besar. Oke,
sepuluh kayuhan, ponsel Lulu berdering. Lulu memonyongkan bibirnya, semoga
bukan ajakan kerja kelompok. Semoga bukan ajakan kerja kelompok... Syukurlah,
bukan dari teman sekolah.
"Kamu dimana,
Lu?" suara Kak Maudy terdengar tenang, tapi agak bergetar.
"Ini, lagi di
persimpangan taman makam pahlawan, Mbak. Kenapa?"
"Mm.. bisa menjemput
Mbak ke sini?"
"Memang acaranya sudah
selesai?"
"Ya, begitulah. Cepat,
yaa.."
Telepon terputus. Lulu
hapal, Kak Maudy adalah tipikal perempuan kalem dengan suara nyaris tak
terdengarnya. Namun, pikirannya memberontak. Hanya dua jam untuk sebuah
pertemuan? Apa secepat ini? Tanpa banyak basa-basi, Lulu putar arah, kembali ke
bundaran kampus.
Di jalan, mulai banyak
mahasiswa yang jalan-jalan. Ada yang memakai kostum karate, ada yang pakai
training, ada yang biasa saja, seperti pakaian anak kuliah pada umumnya. Dan
Lulu menjumpai sosok perempuan berjaket krem itu, di bangku semen dengan
tanaman merambat di atasnya.
"Mbak Maudy..."
"Hey." Lulu
melihat, Mbak Maudy tetap seperti dua jam yang lalu. Make-upnya masih sama,
ekspresi wajahnya masih sama. "Ayoo, kita pulaang. Aduh, sudah lapar aku,
Lu. Kamu sudah sarapan kan?"
Lulu mengangguk.
"Sudah, Mbak. Biasa, tukang makan. Loh, si itu mana? udah selesai, ya?
gitu aja?" kata-kata itu meluncur saja. Baru beberapa saat Lulu menyesal
mengatakannya.
"Ya. Sudah selesai.
Yuk! Aku saja ya yang memboncengmu. Kamu kan udah kurusan gara-gara praktikum
tiap hari."
"Hahaha. Mbak lebay
ih. Nggak segitunya juga kali. Yuk!"
Lulu diboncang di belakang
(memang mau dimana lagi?:o). Sepedanya melaju pelan, bertambah cepat, lalu
cepat sekali. "Mbak, jangan kencang-kencang, dong. Santai, masih pukul
tujuh.."
"Pakaianku belum
kucuci, Say."
"Iya..." tak lama
kemudian, Lulu protes. "Lo, katanya pakaian belum selesai, kok
kemari?" mereka berhenti di depan warung siomay.
"Aku pengen makan
siomay di rumah kamu. Nggak papa ya?"
Sepulang dari warung siomay
pun, sepeda Lulu masih dibonceng secara kencang. Makan apa sih, mbakku yang
satu ini. Perut belum diisi, tapi sepeda bisa kayak gini.
Sampai rumah, Mbak Maudy
tergesa memarkir sepedanya. Dia berjalan setengah berlari. Memakai keset dengan
cepat-cepat, cuci tangan cepat-cepat, mengambil sendok cepat-cepat, mengambil
piring cepat-cepat. Dan makan cepat-cepat.
Lulu memandangnya heran.
Dia mau protes, niatnya mau mengajak bercanda. Tapi dia mengurungkan niatnya
kala melihat air mata yang terbit dari kedua ujung mata Mbak Maudy.
Mbak Maudy memakan
makanannya cepat-cepat. Dia tidak menyapa sama sekali orang rumah. Apalagi
menatap Lulu. Dia menunduk saja pada sepiring siomaynya. Sesekali
mengejap-ngejap, sok sok kepedasan. Mengambil minum, lalu makan lagi. Begitu
seterusnya.
"Mbak..." ujar
Lulu. Dia tidak tahan melihat Mbak Maudy terus-terusan seperti itu. Pasti ada
yang salah.
Mbak Maudy menoleh
sebentar. "Tadi, aku, ketemu. Tapi, cuma, sebentar," katanya
patah-patah. "Dia, terlambat. Harus, bertemu, temannya." Suaranya
bertambah serak. "Hanya setengah jam.. bertemu.. lalu, tanpa senyum, tanpa
ucapan selamat tinggal, tanpa kepastian."
Kali ini Mbak Maudy menuju
dapur. Lulu tahu, misanannya itu sudah tidak tahan. Lulu berpikir, apa orang
itu tidak tahu berapa kali Mbak Maudy bercerita tentang objek yang sama selama
sehari. Apa orang itu tidak tahu, satu tahun didiemin aja masih betah. Apa
orang itu tidak tahu, gimana Mbak Maudy ngikut ayahnya tinju buat
nonjok-nonjokin busa tebal, untuk melampiaskan segala protes yang tak pernah
keluar dari bibirnya. Dan, apa orang yang satu kelas dengan orang itu mengerti,
perhatiannya yang berlebihan itu membuat orang lain sakit. Orang yang selalu
mendoakan dari kejauhan. Orang yang tak pernah berharap akan dikunjungi tiga
kali dalam seminggu.
Dan, mungkin orang itu
tidak tahu, sepuluh pukis yang dibeli Mbak Maudy tadi telah mendingin. Dibeli
dengan semangat, dibawa penuh semangat, diberikan dengan ikhlas, dan dibawa
pulang dengan getir.
Lulu menangkupkan bantal ke
kepalanya. Dia tidak mengerti. Dia tidak tahu hal-hal yang seperti itu. Lantas,
dia harus bertanya pada siapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar