LOLITA DAN
SEBUAH AYUNAN
Namanya
Lolita. Ia adalah anak tunggal dari keluarga Pak Ridwan. Ia juga menjadi cucu
pertama di keluarga besarnya. Itu berarti, kasih sayang mereka dicurahkan betul
kepada anak yang satu itu.
Meski
dimanja, ia nyatanya tetap menjadi pusat perhatian bagi orang orang-orang di
sekelilingnya. Ia benar-benar mewarisi garis keturunan yang baik, macam dominan
pada resipien pertama dalam biologi. Matanya cokelat muda, bening sekali bila
diterpa matahari. Tubuhnya tegap, kulitnya sawo matang. Manis. Wajah natural
orang Jawa. Seringkali bocah-bocah kecil mengunjungi rumahnya, bercanda-canda
dengannya.
Bukanlah
kecantikannya yang menjadi perihal utama. Sifatnya itu, benar-benar menyenangkan.
Ia mampu membuat suasana lebih hangat. Ia mau bergaul dengan siapapun. Padahal
saat itu ia adalah anak salah satu staf pabrik gula, pekerjaan bergengsi di
sekitarnya.
Suatu hari, Lolita sakit. Ia demam tinggi. Ibu
dan ayah panik. Kakek dan nenek juga panik. Mereka sedih sekali melihat Lolita.
Mereka mendatangkan dokter terbaik dan obat terbaik. Dijaganya bergantian
sampai Lolita sembuh. Akhirnya, separuh napas mereka sembuh. Apapun yang Lolita
inginkan akan dikabulkan.
Lolita
hanya memiliki satu permintaan, ia ingin sekali memiliki ayunan. Ayunan yang
tingi besar berwarna emas. Lolita telah lama melihat benda istimewa itu di
kartun-kartun Barbie. Lolita ingin menghempaskan tubuhnya ke udara, lantas
kembali karena gravitasi.
Sang
kakek membuatkannya hari itu juga. Sebuah ayunan yang cantik dan menawan.
Lolita berjanji akan bermain dengan ayunan itu kala sembuh benar. Dan benar
saja. Ia tertawa lepas. Kebahagiannya itu menjadi kebahagiaan ibunya, juga
ayahnya. Setiap hari, saat senja, ia mengajak ibu dan ayahnya bermain bersama.
Terkadang Lolita yang didorong, terkadang Lolita yang mendorong.
Teman-teman
juga menyukai ayunan Lolita. Mereka mengintip-intip rumahnya, berusaha meminta
izin. Malang, sang pembantu tak mengizinkan. Saat Lolita menerawang jalanan, ia
menangkap gelagat yang terjadi. Dia tersenyum kecil, lantas berbisik kepada
ibunya. Ibunya yang tak kalah rendah hati itu mengangguk-angguk. Lantas membuka
gerbang. Anak-anak tertawa. Mereka bisa bermain bersama-sama.
Perbuatan
itu menyebabkan satu hal, menambah teman-teman Lolita. Banyak sekali yang ia
kenal, termasuk Sarah. Lolita cukup dekat dengan puteri sulung buruh pabrik
gula itu. Adiknya banyak, lima orang. Lolita menyukai kepribadian Sarah yang
ceria. Sedangkan Sarah menyukai Lolita yang tenang.
Mereka
lalu bercerita banyak hal. Tentang cita-cita yang sama. Bersekolah di sekolah
yang sama. Sudah lama Lolita ingin bersekolah di dekat-dekatnya saja.
Alasannya, ada sebuah ayunan di sana. Sekolahnya pun luas. Lolita tahu, dia
takkan lama di situ. Sebentar lagi ayahnya akan dimutasi. Ia cukup senang
dengan teman-teman sekarang. Ia tak mau separuh harinya direnggut dengan
berpanas-panasan ria setiap hari.
Sang
ayah mengizinkan. Duhai, betapa bahagianya dia. Lolita semakin rajin belajar.
Dua hari sekali belajar bersama Sarah. Ia tak pernah lepas dari juara kelas. Ia
juga tetap rajin les piano. Hingga akhirnya waktunya tiba. Ia harus pindah
juga. Ia melanglang jauh ke ujung Pulau Jawa. Ia tak sempat menyapa Sarah
karena terburu-buru. Sebenarnya ia takut, perpisahan itu datang juga. Ia benci
yang namanya perpisahan.
Ayunan
itu jadi tak terawat. Besinya berkarat dimakan usia. Penghuni baru tak
menyukainya, meninggalkannya. Anak-anak desa tak bisa bermain ayunan. Pembantu
rumah besar itu lebih pelit. Apalagi sang empunya rumah.
Mereka
merindukan Lolita. Mereka merindukan gadis berlesung pipit itu. Apalagi Sarah.
Ia terpukul sekali mendapati kenyataan Lolita pergi tanpa berpamitan. Tapi ia
sadar, ia tak memiliki hak untuk meminta. Mungkin ia tak dianggap istimewa.
Sarah
pulang ke rumah. Ia membuka buku diary kesayangannya. Tulisan mereka berdua.
Tulisan tentang cita-cita yang sama, cita-cita yang klise, dokter. Entah Sarah,
bisakah menggayut cita-cita yang setinggi langit itu.
Kelak,
kita akan membahagiakan kedua orang tua kita, dengan caranya masing-masing,
kata Lolita di buku harian itu.
Sarah
ingin menjadi kakak yang hebat. Ia melanjutkan cita-citanya sendirian. Ia tahu,
ia bukanlah cucu pertama, bukan pula anak tunggal. Adiknya banyak. Ia hidup
dalam kebersamaan yang cukup rumit, tetapi membahagiakan.
Hari
berganti hari. Keduanya sibuk, larut, atau lupa. Banyak tokoh-tokoh baru dalam
kehidupan keduanya. Ayunan itu? Semakin rusak ditinggal jaman. Tapi ajaib, rumah
itu beralih penghuni lagi. Penghuni yang jatuh cinta pada ayunan yang tak
terpakai itu. Diperbaikinya ayunan itu hingga menjadi seperti baru.
Suatu
hari kakek Lolita menelepon. Ia mengajaknya pergi ke desa. Gayung bersambut. Akhir-akhir
ini ia ingin pergi ke sana. Dibayangkannya teman-teman yang berkumpul menjadi
satu. Tentunya mereka tumbuh semakin mempesona.
Lolita
disambut oleh keluarga kecilnya. Liburan yang menyenangkan. Ia merindukan
pepohonan rindang, juga asap yang keluar dari cerobong pabrik, membumbung
tinggi di udara. Ia juga ingin naik ayunan itu.
“Dimana teman-temanku yang dulu?” katanya saat
menjelajahi isi desa.
“Mereka,
banyak yang menjadi TKW di negeri seberang.” Kata seseorang.
“Ada
juga yang sudah menikah, merantau, dan belum kembali,” ujar yang lain.
“Kalau
Sarah?”
“Ia
sudah bekerja. Entah bekerja apa. Ia jarang pulang.”
Lolita
pergi menengok ayunannya. Ayunan itu terlihat baru. Ia pun naik ayunan itu.
Kakek yang mendorongnya.
Lolita
menyerah. Inilah penyakit orang-orang yang berpisah. Saling berharap tetap
terhubung, tapi tak ada yang berusaha menyapa. Ia salah, mereka juga salah. Lolita
mau pulang. Ia sudah jengah. Ditatapnya wajah kakek yang selalu sabar
menunggnya sedari tadi. Ia menyembunyikan dukanya sedari tadi. Tapi sepertinya
kakek tahu.
“Jangan
pulang dulu.”
Lolita
tetap melangkah, hingga sebuah panggilan menghalaunya. Lolita berbalik arah.
Pikiran buruknya hilang. Sebuah tubuh memeluknya hangat. Sarah.
“Aku
ingin mendengarkan suara ceriamu lagi. Kautak pernah mencariku. Maaf tak
berpamitan dulu sepuluh tahun yang lalu.“ Lolita sesenggukan.
“Kaupergi
tanpa jejak. Bagaimana mungkin aku bisa mengejarmu? setengah mati mencari nomor
ponselmu. Tapi tak dapat. Aku ingin membaca koleksi majalahmu.” Ujar Sarah,
juga sesenggukan.
Lantas,
mereka naik ayunan bersama, bercerita tentang cita-cita. Tentang Lolita yang
belajar anatomi setiap hari. Tentang Sarah yang mengubah haluannya. Ia menjadi
pelukis anak-anak sekarang, mencari inspirasi di kota seberang.
“Kelak,
kalau kaujadi dokter, jadilah dokter yang ramah. Yang pintar lagi rendah hati.
Jangan sampai kami yang tak punya banyak uang dalam berobat ini tambah sesak hatinya
karena pelayanan yang tidak ramah. Kalau perlu kaugratiskan bagi orang-orang
miskin.”
“Baiklah.
Kelak, ketika anakku lahir, kaujuga yang melukis wajahku dan anak pertamaku.”
“Baik.
Janji.“
Di
ayunan yang sama, mereka berbagi janji lagi. Semoga Tuhan mengabulkan janji
mereka ‘tuk menjadi nyata.* (Dimuat di Ruang Publik Radar Bromo, 16 Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar