Senin, 12 Desember 2016

Sometimes we are just being a self-centered person. We want same colors, same opinion, same of favorite food, same way to talk, same way to dress, whatever in our mind speak, that's the best for us. others' opinion must be debatable.

It doesn't make us human. Because being human means living in a colorful world, different language, different skin, different hobby, different opinion.

So what to do with this self-centered attitude?

Try to heal it, compromise it, maybe?


LANGIT JAKARTA

LANGIT JAKARTA

Langit Jakarta menumpahkan hujannya. Sesekali kilat menyambar disertai gemuruh. Hingga azan magrib selesai berkumandang, bulir-bulir bening itu tak juga berhenti. Membasuh jalan, membasahi pepohonan, juga menempa jendela tempat Yudith bekerja.
“Lembur?”
Sebuah suara membuat Yudith mendongak, membetulkan kacamata minusnya, menggeleng, dan berkata. “Cuma nambahin beberapa detil aja untuk laporan bulanan. Kalau hujan berhenti, gue pulang.”
Di ruangannya sekarang memang sudah sepi. Hanya ada satu OB yang sedang membersihkan ruang pimpinan, dia sendiri yang menunggu hujan, dan Wulan yang di hadapannya sekarang. “Lu sendiri, ada deadline?
“Lagi malas pulang cepat aja.”
"Ck. Pegawai teladan selalu ngeles kalau dibilang kerajinan."
Sambil duduk, Yudith merenggangkan otot-otot di tangan dan bahunya agar lebih rileks. Gemeletuk dari ruas-ruas jari lalu terdengar. “Gue mau bikin kopi. Mau?”
“Ya. Kopi hitam. No sugar, please.”
Yudith merespon dengan bergerak menuju dispenser yang terletak tak jauh dari mejanya. Sementara Wulan sudah menduduki tempat kerja Yudith, ikut membaca uraian laporan bulanan yang dimaksud temannya itu.
Wulan memiringkan kepala, membuat koreksi. “Realisasi buat konsumsi ulang tahun kita kemarin kayaknya kegedean deh, Dith.”
Jawaban Yudith diiringi denting sendok beradu dengan cangkir “Udah segitu. Pak bos minta tambahan snack sepuluh menit sebelum acara dimulai. Tahu sendiri, kan. Dirut sebelumnya berhalangan hadir.”
Wulan ber-O ria. “Biaya buat doorprize..... gede juga, ya?”
Yudith memberikan secangkir kopi untuk Wulan, secangkir kopi untuk dirinya, lalu mencebik, “Menurut lu, lima iPhone yang kita beli kemarin dari pasar gelap?”
Wulan terkekeh. “Ya. Ya. Ya. Kalau beli di pasar gelap, mending buat kamu aja, deh.
Perbincangan mereka lalu beralih ke target perusahaan yang sepertinya tak terjangkau, rencana lembur Sabtu-Minggu yang akan mengganggu tidur siang, karyawan pindahan dari negeri seberang, sampai kedai kue baru yang luar biasa laris di hari pertama.
“Omong-omong tentang kue, gimana kalau kita ke sana?” ajak Yudith spontan.
“Sekarang?”
“Tentu aja! Lihat, udah nggak hujan lagi sekarang. Gue pesen uber nih, biar gampang.”
“Boleh. Lumayan lah buat nambah feed instagram.
Maka itulah kesepakatan yang mereka buat. Kesepakatan atas secuil dari kisah hidup mereka yang hidup di kota metropolitan.
Yang tersisa adalah jalanan basah. Jendela yang mengembun. Dan kerlip lampu yang romantis. Langit Jakarta sudah tidak hujan (lagi).
*


Pengikut