Minggu, 15 November 2015

on saturday night,

A : it is holiday and you still WORK with your notebook?
B : (typing, typing - big smile) nope. I'm not working. This is not called working. This is called hobby. I'm doing my hobby

ps: B is not me :b I just like what B do with what B likes.

PAYUNG



            Aku anak pertama dari empat bersaudara. Namaku Mei. Ya, aku lahir di bulan kelima tanggal sepuluh pukul enam pagi. Ibuku bilang, beliau menamaiku Mei biar gampang. Gampang membuat akta kelahiran, gampang hapalan dalam kelas –tidak di awal tidak pula diakhir saat dipanggil bu Guru, dan tentu saja, gampang dalam menulis nama di ujian. Asal kamu tahu, namaku bukan Mei Hwa, Mei Intansari, Mei Kusumadewi, atau yang lain. Namaku Mei. Mei saja.

            Pasti kamu bertanya-tanya, apa kaitan payung dengan aku, seorang Mei?
            Begini. Sebagai seorang anak, kamu pasti pernah mendengar nasihat orang tua untuk selalu membawa payung di musim hujan, bukan?

            Aku yakin seratus persen, tidak ada yang menyuruh kamu membiarkan benda yang bisa mengembang itu tergeletak di pot besar rumah saat kilat sudah mulai menyambar-nyambar. Aku juga ragu, kalaupun tak bawa payung karena kamu naik motor, pasti terselip jas hujan di jok dudukmu. Ibuku bilang, tak baik kalau hujan-hujanan. Bisa jadi aku demam setelahnya. Senjata paling pamungkas adalah payung. 

            Begitu juga dengan teman-temanku. Di musim penghujan seperti ini, payung mereka warna-warni. Merah totol-totol, biru polos, sampai warna-warni pelangi yang berseri. Payung-payung itu akan mengembang sempurna saat serbuan air menyerbu tanah bumi. Ada malah, temanku yang suka mengoleksi payung. Beberapa payung favoritnya dibeli di negeri empat musim.

            Aku sendiri, aku tak pernah bawa payung. Aku lebih senang hujan-hujanan, berkecimpung dengan genangan air, bulir-bulir yang menetes dari lampu jalan, dan juga pakaian basah. Aku tak peduli dengan seragamku yang kotor. Toh aku punya pakaian cadangan dan aku mencuci sendiri seragam-seragam itu. Kalau sudah menjejakkan kaki di rumah dengan rambut yang sudah layu, tas yang sudah didekap di dada, raut ibuku akan berubah. Ibuku tak marah, mungkin sudah menyerah dengan kelakuanku. 

            Hujan barusan sungguh istimewa, seperti hujan-hujan sebelumnya. Bebanku seakan terangkat seiring dengan menguapnya panas tanah ke udara. Aku juga banyak menemui anak kecil yang bermain bola. Yang perempuang berlari-larian dengan temannya. 

            Hmm. Secangkir cokelat panas sangat cocok untuk menghangatkan badanku. 

            Namaku Mei. Kamu mau bermain hujan denganku? Atau kamu mau duduk-duduk bercengkerama dengan secangkir cokelat panas juga? Datanglah ke rumahku. Rumahku dekat perempatan jalan, di samping toko bakeri yang tak pernah sepi. Pagar rumahku bercat putih dengan bel di dekat pintu (oh, tentu saja). 

            Besok, hujan tidak, ya?

Rabu, 04 November 2015

AIRIN

Jarum di arloji Airin telah menyentuh angka enam. Jarum pendek. Jarum panjangnya menunjuk  angka tiga. Airin sudah berdiri di pertigaan jalan yang menghubungkan jalur ke perkampungan, kota di sebelah timur, dan kota sebelah barat. Menunggu bus. Bukan bus sekolah, tetapi bus antar kota antar provinsi . Yang ‘kan mengantarkannya ke sekolah. Sekolah Airin tepat di pinggir jalan dan dilewati bus itu. Airin berangkat sendiri. Teman-teman dari tempat tinggalnya memilih naik motor. Lebih lekas sampai, kata mereka.

Di telinga Airin terpasang headset warna putih. Ada suara jernih vokalis Passenger di dalamnya. Kadang-kadang juga teriakan syahdu Adam Levine. Hmm, terkadang juga dia memutar lagu cover penyanyi-penyanyi independen –Boyce Avenue kesukaannya—. Di punggung Airin melekat tas warna putih yang sudah menjadi kesayangannya sejak kelas tujuh. Kini Airin kelas sepuluh. Berarti tiga tahun tas itu menemani dirinya. Tas itu tidak berat. Karena Airin hanya membawa buku secukupnya.
 
Jalan lagu ketiga. Airin mematikan lagunya. Bus telah datang, berwarna putih bercorak hijau. Airin naik. Airin tersenyum kepada kondektur bus langganannya itu. Airin ‘kan mendengar lagu lagi, berupa omelan penumpang yang mengeluh karena ongkos naik, lagu pengamen, hingga derubus, sampai dia beranjak turun.

Airin. Kamu pernah seperti Airin?

Jumat, 17 April 2015

Mulai kemarin aku
melihat toga-toga
udara
kepala
bunga

Sekarang teman seangkatan berkurang
satu-satu
berkurang apa?
status mereka
mahasiswa
kampus
dosen
tugas
skripsi
tawa

Ada haru saat
seseorang menjadi
bunga
bukan sekadar ilalang

Ada kekeh saat
ada sama
meski ada beda

Mulai kemarin.
Mulai kemarinmu bagaimana?
Do never trust or like or admire singers with their (lovely) songs too much. Because they can make (bad) songs and ruin your mood perfectly

#aboutculture

Kadang-kadang, rindu yang tidak terkatakan lebih dahsyat daripada rindu yang tersirat.

Kita nggak pernah tahu seberapa sakitnya seseorang merasaa kehilangan. Kita nggak pernah tahu segimana dahsyatnya efek itu. Kalau dari sononya udah kalem-kalem aja, tetep aja kita nggak bisa menghakimi bahwa mereka tidak bersedih hati.

Sedih nggak harus diekspresikan dengan menangis. Tapi nggak bagus juga sedih dan nangis terus-terusan.

Lebih baik lebih peka terhadap yang merasa kehilangan. Terlebih, pada yang di dekat hati. Yang pernah merengkuh jantung di bilik suci.

Gratifikasi?

Waktu diklat dulu, salah satu anggota KPK pernah bicara tentang gratifikasi.

Gratifikasi itu seharusnya dilaporkan ke KPK, biar bisa tahu itu bisa diterima atau nggak. Biasanya yang bisa diterima nominalnya kurang dari Rp250.000

Pertanyaannya, kalau gratifikasi --pemberian-- berupa makanan gimana? Laporan ke KPK terus nunggu keputusan baru boleh makan? Keburu basi makanannya...

Pengecualian tentang makanan, nggak perlu lapor ke KPK. Makanan itu boleh dimakan, dengan syarat harus dimakan rame-rame. Ini yang dikatakan narasumber yang menurut saya imut dan kece itu.

Untuk lebih lengkapnya bisa baca yang satu ini....
http://kpk.go.id/gratifikasi/index.php/informasi-gratifikasi/tanya-jawab-gratifikasi

Catatan Karyawan #1

Menjadi karyawan memberi kesempatan bagi kita untuk bertemu orang banyak. Dengan datangnya sejumlah customer setiap hari, dan kembalinya mereka --orang yang sama-- pada waktu beberapa lama, ada skill yang terasah. Menghapal wajah mereka satu-satu :D. Mungkin juga udah ada minat dari sononya, jadi perhatian dengan detail segini pun ditangkap mata.

Imaji datang sebelum huruf. Wajah bisa dikenal meskipun nggak tahu nama.

Kalau sudah begini, berasa dunia selebar daun kelor. Ke Car Free Day, ketemu Mbak berambut panjang yang masang headset di telinga (gayanya persis seperti saat dia menunggu antrian). Car Free Day lagi, ada Mbak yang lagi jalan sama rekannya. Ke pusat perbelanjaan, menatap sekilas bapak-bapak yang biasa laporan. Bapak tersebut sedang turun dari elevator bersama istri dan anaknya. Aih, so sweet pisan. Ke toko lain, bertatap muka dengan bapak-bapak yang lainnya (bapaknya sendiri sepertinya agak ngeh, tapi sungkan menyapa -- saya juga :p).

Pernah bertemu. Selalu nggak hapal nama. Nggak pernah nanya juga :D hehe.

Yang asyik itu seperti ini. Saya pergi ke warung kelapa muda bersama seorang teman. Kami ngobrol. Pakai baju bebas, dong, kan nggak lagi ngantor. Waktu itu sudah malam, lepas sholat magriban. Naaah, datanglah bapak-bapak (lain lagi) yang nyamperin. Memori di kepala langsung bekerja. Ini yang biasanya juga ketemu tiap bulan...

"Beli kelapa muda, Mbak?"
"Iya, Pak."

Saya juga yang dongdong. Triggernya pakai acara nanyain kerjaan. Jadi lah bapaknya juga ngobrolin kerjaan. Tapi itu sekali aja. Lain waktu ketemu lagi di tempat yang sama, saya nggak ungkit-ungkit lagi. Kapok. Eh, bapaknya ngomongin itu lagi, pakai ngejanjiin gratifikasi lagi~

"Nanti bos saya mau ke Mbak. Mau ngasih uang 50ribu."

WHAT?? BUAT??

"...Soalnya saya suka ngerepotin Mbak, sih...." (Itung-itung balas jasa gitu)

Setengah nggondok. "Udah kerjaan saya kok, Pak."

Ada kali dua kali ngomong gitu. Jauuh hari sebelumnya, si bos memang pernah juga ketemu saya, bilang hal serupa. "Nanti saya kasih uang, yaa..."

Saya tentu nggak mau. Uangnya sih lumayan buat beli pulsa. Tapi itu kan dari jalan nggak bagus. Harga diri dan idealisme terkoyak huaa :(

Udah. Diem deh. Temen saya nyikut. Kami sama-sama mengerti. Kami biarin apa pun perkataan yang muncul.

Meski ada saat tidak enaknya, serunya juga ada, kok. Pernah makan mie ayam semeja sama bapak (yang lainnya lagi). Bedanya, si bapak nggak nanyain kerjaan saya, tapi menceritakan pengalaman bekerjanya di sini, sunu, dan sanaa. Beda kan, ya? Hehe. Nggak ada gratifikasi pula.

Being an employee makes you have opportunity to ask something about your clients' work, but just in the workday. I'll try not to ask anything about their duty on their free time. I'll try.



Selasa, 17 Februari 2015

katamu rindu

katamu rindu
pada jemari yang menari-nari
di atas awan putih berbingkai hitam

katamu iri
pada tulisan-tulisan rekan-rekan
yang dimuat di tiap akhir pekan

katamu sesak
saat kata-kata hanya menggumpal di tenggorokan
tak terucap dan tak tertuliskan?

mengapa tak kau tumpahkan saja
hujan kesedihan
mendung kegalauan
angin kebencian
rintik keinginan

biar dua kantong udara di balik dadamu itu
menjadi seperti udara di pegunungan
atau juga bianglala
yang kokoh di tengah kota

katamu rindu
mengapa tak kau katakan saja?

Should I...?

Q : I had an NPWP or Nomor Pokok Wajib Pajak card. I...
     don't earn any money from my job.
     am too lazy to go to tax office.
     don't have any time to calculate all these things.
     'm jobless now.
     'm single *eh?
     Should I send tax return (SPT Tahunan)?

A : As long as you have a valid NPWP card, you must send tax return. Every year. To the tax office. The deadline is in last March for person and last April for Entity. Thank you! :)

DOA



Siang yang terik. Sudah waktunya istirahat. Perut mulai terasa lapar. Saya dan ketiga teman memutuskan untuk ke luar mencari makan. Biasanya sih, saya memilih yang dekat-dekat saja; di dekat kosan atau di kantin. Biar lebih lama juga istirahatnya. Berhubung ada perlu juga, ya sudah lah. Let we go. Dari kantor, kami berempat naik motor. Jarak tempat makan nggak jauh, mungkin bisa ditempuh lima sampai sepuluh menitan sahaja.

Tempat ini belum pernah saya masuki. Paling banter hanya numpang lewat (dengan kondisi toko tutup) dan melihat selebaran yang dipasang di depan. Dengar-dengar sih, lumayan. Soalnya, kalau kantor punya acara, pesan makannya di sini. Asyik. Di warung makan bergaya peresmanan ini –alias njupuk-njupuk dewe atau ambil-ambil sendiri—, lauk-lauknya terhidang menggoda. Ada tempe bacem, urap-urap, sayur bening, ikan bakar, ayam, daging sapi olahan, sampai lalapan segar. Oke, tentu saya tidak heran karena memang lazim sekali ada lalapan di warung makan di tanah sunda.

Saya pun mengambil piring, menyendok nasi, memilih lauk. Lauk pilihan saya jatuh pada ikan bakar berukuran lumayan dengan lumuran bumbu hitam. Hmm. Sepertinya ada bumbu jahenya, deh. Soalnya harum-harum gitu wanginya :D.

Kami berempat berhadap-hadapan. Ruang makan tidak besar, tidak pula kecil. Setelah cuci tangan, makanlah kami. Everything goes well. Acara ini diselingi dengan obrolan tentang postingan di media sosial, harga kosan di sekitar situ (soalnya bangunan kosan tersebut tinggi dengan fasilitas wah), dan sebagainya, dan sebagainya.

Oke, terlepas dari perbincangan, saya menikmati hidangan makan siang hari ini. Lapar, saudara-saudara. Apalagi dengan pesanan jus alpukat yang hmm, kayaknya seger banget. Piring saya habis, eh, nasinya habis, beserta lauknya. Tinggal tulang belulang saja Hehehe.
           
         Ada satu titik di mana saya merasa malu, lupa, dan kesindir. Di tengah makan tadi, ada seorang ibu dengan dua anak berseragam sekolah. Mereka duduk tak jauh dari posisi saya. Mereka juga sama, mengambil nasi dan lauk. Hidangan sudah tersaji. Tapi kok, tapi kok, mereka nggak langsung makan?
        
       Oh. Itu dia. Karena mereka berdoa. Berdoanya nggak sebentar. Terlihat khusyu’. Duh, mereka berdua masih anak-anak, belum sampai SMP. Saya jadi malu. Tadi itu saya sudah berdoa belum, yaa? Kalaupun berdoa, sudah khusyu’ belum, yaa? Setiap saat sudah membiasakan belum, ya? Agama saya mengajarkan basmalah, juga dengan doa “Allaahumma baariklana dst…”. Masalahnya, apakah doa itu sudah dilaksanakan dengan tulus? Paling nggak diri ini bersyukur masih bisa makan beratus butir nasi. Gimana dengan doa setelah makannya? :(
          
          Jaman TK dulu, pasti ada jeda waktu untuk berdoa bersama. Sayangnya bukan anak TK lagi *sigh*.

            Alasan paling klasik saat nggak berdoa adalah lupa. Lupa karena buru-buru. Lupa karena yang dimakan sedikit. Lupa karena yang dimakan hanya sebutir permen. Berarti, harus lebih dibiasakan lagi, nih, berdoanya.

            Jadi teringat candaan seorang penulis. Dia makan dan minum. Saat makan, dia tidak 
berdoa. Saat minum, malah berdoa. Lalu ditanya, kenapa tidak berdoa? Biar setannya cegukan karena habis makan langsung didoain :p

            Jam terus berputar. Saya mulai ketar-ketir sekarang, pengin balik ngantor. Selesai makan, mampir ke tempat lain sebentar, kami pun pulang. Kembali ke rutinitas lagi.

Makananya tadi sudah bayar? Sudah doong …. :). Ternyata lumayan, ya, ikannya. Nasi plus tempe bacem dua potong plus ikan plus jus alpukat dihargai Rp21 ribu *otak langsung membandingkan dengan harga makan per bungkus a la anak kosan yang bisa sampai 4ribu saja*.

            Saya berharap kapan-kapan bisa ke sana lagi. Mm, ketemu adik-adik imut itu lagi. Kapan-kapan yang belum pasti kapan. Yang pasti, saya dapat pelajaran. Saya kembali diingatkan, untuk berdoa sebelum makan. Thank you, fellas!

Pengikut