Minggu, 31 Maret 2013

MILIKILAH EMAS MURAH DAN MUDAH UNTUK MASA DEPAN!


MILIKILAH EMAS MURAH DAN MUDAH
UNTUK MASA DEPAN!
Oleh: Sri Mulyati

Sebuah pepatah mengatakan, “Sedia payung sebelum hujan.” Artinya, kita diminta mempersiapkan sesuatu sekarang untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan. Pepatah tersebut sangatlah cocok jika diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam ranah kebutuhan finansial. Bedanya, di masa mendatang, bukan hanya hal-hal darurat yang harus ditangani, melainkan juga kebutuhan jangka panjang seperti naik haji, menikah, mendapatkan pendidikan, dan menjalankan masa pensiun yang menenangkan.
           
      Mengatur keuangan adalah salah satu kunci mendapatkan kesejahteraan finansial di masa depan. Dibutuhkan perencanaan matang dan kecermatan dalam mengatur keuangan tersebut. Idealnya, uang yang dikeluarkan harus berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan, bukan sekadar tren atau menghambur-hamburkan uang semata. Begitu pula dengan tabungan yang dimiliki. Jangan-jangan tabungan kita tidak bisa “membeli” kebutuhan di masa mendatang karena laju inflasi.

Sabtu, 30 Maret 2013

Tentang Deadline





Tentang Deadline. Deadline itu seperti lap pembalap *kata seorang teman*. Harus ditelateni menjelang detik-detik terakhir. Otak akan ditekan untuk berpikir sampai batas limit. Sering pula menemukan informasi yg lebih mencerahkan daripada sebelumnya. Keep calm and deadline-ing. Heheh :))

Selasa, 19 Maret 2013

KEBAIKAN HATI PENJUAL SATE

sumber: cokelatinridesu.blogspot.com


Saat masih merantau satu tahun lalu, saya ngekos di salah satu rumah di daerah perumahan di Cimahi. Namanya perumahan, jadinya ya seperti perumahan lainnya, nggak terlalu ramai seperti di daerah rumah saya yang hebring oleh suara anak-anak bermain. Tetangga pun hanya satu yang dikenal (ibu-ibu penjual pulsa depan rumah). Masalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari sih, sangat terjangkau karena dekat dengan warung retail warna merah-kuning-biru. Toko fotokopi pun hanya berjarak lima puluh-an langkah. Kalau mau belanja pagi, di dekat masjid juga ada.

Yang jadi masalah adalah saat masih lapar di malam hari dan bosan dengan menu tempe (yang digoreng sendiri). Nggak tahu nih, di daerah orang jadi suka makan gini. Hehe. Maka, warung sate di dekat kosan menjadi pilihan. Saya suka sate karena berdaging dengan bumbu kacang yang gurih.

Awal mulanya, saya mengira bapak penjual sate ini dari Madura. Iya, benar sekali ternyata ketika saya bertanya kepada beliau. Karena di sana jarang ada orang yang berbahasa jawa, jadi, dengan bapak inilah saya bisa mengeluarkan unek-unek saya *uhuk. Emang apaan :b. Seringnya si bapak menanyakan jumlah teman kos, biaya kos per bulan, hingga kapan jadwalnya pulang kampung. Lelaki yang kira-kira berumur separuh abad ini ramah pisan, euy. Beliau sendiri tetiba cerita tentang kelima anaknya yang sudah pada besar-besar.

Yang menggembirakan adalah, saya nggak hanya dapat teman ngobrol, tetapi juga sate.

Lah, emangnya beli sate dapat nasi rendang gitu?

Maksudnya, tiap kali saya beli di bapak tsb, saya selalu mendapat sate dengan tambahan entah satu tusuk atau dua tusuk. Pernah tiga tusuk kalau nggak salah.

         Duh, meski nggak banyak banget, perkara jumlah tusuk seperti ini, saya jadi terharu. Harga seporsi tuh Rp8.000,00 (dapat sepuluh tusuk). Saya sering beli separuhnya, dan bapak itu sering memberi tambahan. Dan kadang nggak pakai pemberitahuan. Hati pembeli mana yang nggak terenyuh. Mungkin beliau tahu anak kos-kosan itu serba pas-pasan hidupnya, jadi menghiburnya dengan cara yang seperti ini. Mungkin juga sebagai bentuk sedekahnya bapak ini kepada saya. Walau bagaimanapun, saya terhibur. Apalagi kalau udah laper, galau, pengen nangis kenceng, nggak ada temen curhat, rasanya… speechles. *apaan sih. Makasih atas kebaikanmu, Pak. Semoga Gusti Allah membalas.

          Intinya, bapak penjual sate yang belum diketahui namanya ini sudah memberikan contoh yang baik kepada saya. Hikmahnya, berbagi. Tahu, nggak? Beberapa kali saya dapati beliau dikasih uang lebih sama pembeli. Yang memberi itu biasanya baru pulang kerja. Mungkin mereka salut juga dengan seorang lelaki yang sudah sepuh tapi masih eksis bekerja, mencari nafkah yang halal. 

           Jadi, kalau membahagiakan orang lain, bakal dijamin diri sendiri juga bahagia... 

          Anyway, saya jadi pengin makan sate lagi, nih :) 
           


Senin, 04 Maret 2013

DUA RATUS RIBU RUPIAH

Sumber gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Stasiun_Bangil


Aku menggenapkan langkah keseratus saat tiba di stasiun ramai ini. Stasiun Bangil. Stasiun yang berdiri di sudut pertigaan jalan pantura. Langkahku diiringi oleh langkah mereka yang serba cepat. Orang-orang yang membawa koper-koper itu mungkin tak sabar sampai di tempat kerja, pulang, begitu seterusnya. Hingga tiba di penghujung akhir bulan, saat mereka menerima gaji.

Tentu aku berbeda dari mereka. Aku tak ingin naik kereta api. Entah itu kelas eksekutif, bisnis, atau ekonomi. Aku hanya membutuhkan kedatangan kendaraan beroda baja itu. Lima menit saja. Aku juga tak ingin matahari pulang ke peraduan cepat-cepat. Karena satu hari –satu hari saja— sangat berarti bagiku. Aku yang berkalung tali usang, bergelang untaian puluhan bungkus kopi, dan berpangku belasan gelas mie cepat saji. Bagiku, stasiun bukanlah tempat bertemu atau berpisah. Stasiun juga bukan hanya sekadar tempat menunggu. Jika diibaratkan tubuh, stasiun serupa jantung yang harus sering dikunjungi.

Pengikut