Senin, 04 Maret 2013

DUA RATUS RIBU RUPIAH

Sumber gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Stasiun_Bangil


Aku menggenapkan langkah keseratus saat tiba di stasiun ramai ini. Stasiun Bangil. Stasiun yang berdiri di sudut pertigaan jalan pantura. Langkahku diiringi oleh langkah mereka yang serba cepat. Orang-orang yang membawa koper-koper itu mungkin tak sabar sampai di tempat kerja, pulang, begitu seterusnya. Hingga tiba di penghujung akhir bulan, saat mereka menerima gaji.

Tentu aku berbeda dari mereka. Aku tak ingin naik kereta api. Entah itu kelas eksekutif, bisnis, atau ekonomi. Aku hanya membutuhkan kedatangan kendaraan beroda baja itu. Lima menit saja. Aku juga tak ingin matahari pulang ke peraduan cepat-cepat. Karena satu hari –satu hari saja— sangat berarti bagiku. Aku yang berkalung tali usang, bergelang untaian puluhan bungkus kopi, dan berpangku belasan gelas mie cepat saji. Bagiku, stasiun bukanlah tempat bertemu atau berpisah. Stasiun juga bukan hanya sekadar tempat menunggu. Jika diibaratkan tubuh, stasiun serupa jantung yang harus sering dikunjungi.

“Tak sekolah lagi, Cong1?” Pak Halim, penyedia informasi, menyadari kehadiranku. Aku memang terbiasa berdagang pada sore hari. Aku hanya membalas dengan senyuman. Bagiku, tak penting menceritakan mengapa aku tak sekolah hari ini, juga dua hari lalu. “Pesan kopi panas satu, ya. Antar ke Ruang Informasi.”

Aku tersenyum dan mengangguk. Dengan cekatan kutaruh bubuk kopi itu ke dalam gelas plastik. Aku selalu hapal selera kopi Pak Halim. Kopi tanpa rasa. Bukan rasa mocaccino, vanilla, chocholate, atau yang lain. Dan pilihannya tak pernah berubah. Setelah bubuk kopi larut dalam air panas, segera kuantar ke ruang informasi yang ia sebut. Pak Halim adalah salah satu langganan terbaik. Terkadang kembaliannya diberikan kepadaku. Entah lima ratus rupiah, entah seribu rupiah.

“Kembaliannya buat kamu saja,” seperti pagi ini. Seribu lima ratus rupiah yang kugenggam tak berpindah tangan.

“Ini terlalu banyak, Pak Halim.” Aku tak mau mengandalkan belas kasihan orang lain, hanya karena aku sedang tak sekolah dan terlihat membutuhkan uang.

Lelaki itu tersenyum. “Sudahlah, ambil saja, Cong. Dengan begitu, daganganmu cepat laku. Dan kamu lebih cepat pulang. Oh, ya. Lebih berdagang sore hari saja, setelah kamu sekolah. Penumpang juga lebih ramai pada waktu itu. Doa ibumu agar jadi anak yang pintar biar tak sia-sia.”

Aku malu mendengar perkataannya. “Terima kasih, Pak Halim. Ini hari terakhir saya bolos. Semoga rejekinya tambah lancar.” Lantas aku berlari menuju enam gerbong Kereta Penataran yang baru saja berdecit. Sepuluh menit tak boleh kusia-siakan.

 “Mie, Mie! Kopi, kopi! Mie-nya cuma enam ribu rupiah. Kopinya cukup tiga ribu rupiah. Mie, mie. Kopi, kopi!” kususuri gerbong demi gerbong. Berpacu dengan pedagang lain.

Kusapa penumpang dengan uluran kopi dan mie di tubuhku. Sayang, hingga gerbong keenam pun, dan aku kembali ke gerbong semula, tak ada yang mau membeli. Mungkin mereka sudah sarapan subuh tadi. Masih ada cadangan energi di tubuh mereka. Aku tak boleh menyerah. Uang di kantong celanaku belum genap dua ratus ribu rupiah. Aku masih punya tiga perempatnya. Aku harus berusaha.

Lengkingan peluit pendek diiringi satu siulang panjang terdengar. Aku melepas kereta dengan ikhlas. Mungkin rezekiku bukan sekarang, mungkin nanti. Kuhabiskan waktu dengan bercengkerama dengan pedagang lain. Tentang pertandingan sepak bola. Sesekali tentang cuaca.

Benar saja. Mutiara Timur Pagi seperti menyambut kedatanganku. “Kopinya satu, Dik. Yang gambar kapal. Rasa original.” Seorang lelaki paruh baya berjaket kulit memanggilku. “Ngantuk, nih. Pengin kopi.”

“Sebentar ya, Pak.” Tak sadar senyumku mengambang. Kuucapkan terima kasih untuk tiga ribu yang kuterima.

“Mie-nya lima!” seorang ibu berseru dari balik jendela. Empat gadis kecil duduk mengitarinya.

“Oh, monggo, monggo.” Sampai gemetaran aku melayani pesanannya. “Rasa baso atau rasa ayam?”

Aku melepas kepergian Mutiara Timur menuju tujuan akhirnya, Surabaya. Bahagia menyelusup di diriku. Uangku bertambah. Tapi masih belum cukup. Aku butuh dua ratus ribu rupiah. Dan aku masih harus mencukupi seperempatnya.

Kursi besi yang kududuki ini, menjadi saksi bisu perjalananku selama satu bulan terakhir. Ibu memang tak pernah melarangku bekerja, asalkan tak bolos sekolah. Tapi, aku terpaksa mengingkari janji itu. Demi ibu juga. Ibu yang setiap harinya menjejakkan kedua kaki ke mesin jahit. Menghasilkan baju-baju pesanan tetangga. Yang upahnya untuk memenuhi kebutuhan sekolahku. Yang penglihatannya semakin kabur oleh usia. Mungkin ibu sekarang sedang menjahit seragam anak Bu Minah yang diserahkan tempo hari. Tak lupa dengan siaran radio yang disetelnya.

Perlahan, mendung tampak. Awan yang putih tiba-tiba kusam. kilat diiringi petir terdengar. Cuaca telah berubah. Rel-rel panjang stasiun terpercik oleh air hujan yang menderas. Aku menggigil. Siang yang cerah menjadi pekat. Orang-orang pergi dari stasiun. Tak juga aku.

Aku harus bertahan. Tak ada selimut hangat harus membuatku tegar. Sendirian membuatku lebih menikmati hujan. Dua jam, dua jam saja menunggu Sri Tanjung lewat. Seperti yang dikatakan Pak Halim. Kuharap penumpang banyak dan ramai, hingga aku bisa pulang membawa sesuatu untuk ibu.

Bibirku membiru. Tubuhku menggigil kedinginan. Aku baru ingat kalau belum sarapan. Kuharap detik-detik berlalu lebih cepat. Kuharap kereta datang terlalu cepat. Kutelungkupkan kedua tangan ke dada, berharap kehatangan menjalari tubuhku.

Tuhan selalu Maha Cinta. Ia membuatku tertidur meringkuk, dan membuatku terbangun kala kereta berwarna jingga itu datang. Aku berlari menuju Sri Tanjung yang berhenti. Kulantangkan suaraku. Kusapa satu demi satu penumpang lewat jendela-jendela gerbong.

“Mie, mie. Kopi, kopi. Rasa baso, rasa ayam. Rasa cappuccino, mocaccino, vanilla, original. Monggo, monggo.”

Lantas pesanan demi pesanan datang. Hujan tak hanya menurunkan pasukan tetes air, tapi juga berkah lain bagiku. Kini uangku genap dua ratus ribu rupiah. Saat senja, aku bersiap pulang.

Kususuri jalan. Sebuah toko beretalase bening masih buka. Dua ratus ribu itu kini melayang. Tapi aku tak takut lagi menyesal. Kini, aku mengendap-endap ke dalam rumah. Kuharap ibu sedang terlelap di ranjang kayu miliknya. Ia terlalu lelah. Syukurlah, ibu benar-benar tertidur.

Aku berbisik di dekatnya, meletakkan benda bening itu di meja tuanya. “Ibu, biarlah aku bolos tiga hari saja. Tiga hari alpa takkan membuatku tinggal kelas. Lagipula, guru-guru takkan merindukan kehadiranku yang tak istimewa. Aku yang bukan juara kelas. Aku yang biasa-biasa saja.

Ibu, ini memang bukan hari ibu. Tapi kuharap, kacamata ini bisa membantumu, menjahit lebih baik hari demi hari. Demi kita.”

Tak kuasa aku menahan tangis. Aku menyayangi ibu. Aku tak mungkin mengkhianati pengorbanannya dengan bolos lagi. Aku akan masuk sekolah esok hari. (Dimuat di Ruang Publik Radar Bromo, 3 Maret 2013)

*

Catatan kaki
1.     Cong = panggilan untuk anak laki-laki











2 komentar:

  1. wah, bagus mul.
    selamat ya
    tapi kalau harga jualannya genap, kenapa ada kembalian 1500?
    #bingung. hehe

    BalasHapus
  2. wah, iya py. anggap aja si bapak ngasihnya 4500 :D

    BalasHapus

Pengikut