Sabtu, 30 Juni 2012

SERASAH SENJA



Serasah Senja

Kedua roda yang berputar serasi pada sepedaku terus kupacu untuk bergerak lebih cepat. Cepat dan cepat. Tak peduli dengan bulir-bulir keringat yang jatuh deras ke pipi, juga yang masih bersembunyi di balik seragam yang kukenakan. Aku melawan matahari yang terlalu pijar untukku. Tenggorokan pun sudah kering rasanya. Hasrat sudah berangan menghadap sepiring nasi dan sambal. Energi rasanya nyaris habis untuk memikirkan pelajaran. Sabar, tahanlah apa yang ada di benakmu sekarang. Sebesar apapun itu. Perjalanan dua kilometer takkan terasa jika dibarengi dengan hati yang riang.
Dengan tetap awas, kedua bola mataku kugerakkan ke kanan dan kiri. Melihat kandang-kandang sapi, lapangan kerontang, juga anak-anak kecil yang sedang bermain gundu itu. Perjalanan menuju pesisir pantai masih cukup panjang. Hingga akhirnya pandanganku terantuk pada sosok yang lewat dihadapanku barusan. Karmila! Mataku menatap jelas akan kehadiran anak lurah tempatku tinggal. Motor barunya melaju mantap ke arah selatan, berlawanan arah dengan sepeda onthelku. Hmmm.. kusapa dia sambil tersenyum, sambil berdecak kagum atas barang barunya itu. Dia membalasku dengan senyum serupa, namun terkesan lebih elegan. Meski hanya tamat sekolah dasar, Karmila cukup sukses dengan usaha banding presto ayahnya. Juga, sudah berganti status menjadi ibu beranak satu. Ya, usia boleh sama denganku, tujuh belas tahun. Namun dia sudah melebihi diriku, dari segi fisik, juga materi. Penduduk di kampungku, Tegal Ijo, kecamatan Lekok sepertinya mulai membaik kesejahteraannya. Dan aku setengah yakin setengah ragu jika penghasilan yang mereka peroleh bukan berasal dari penjarahan mangrove. Jangan tanya bagaimana dengan bapakku yang berprofesi sama sebagai nelayan. Aku akan lebih senang mengayuh pedal hingga kakiku nyaris kram daripada harus menceritakannya sekarang.
“Baru pulang sekolah, Pak Darwis?” sapa orang yang sedang membawa kail ikan dengan sekantung penuh bandeng di keranjangnya, tepat setelah aku berbelok arah menuju pemukiman pesisir, dua kilometer jaraknya. Aku tidak tahu nama orang itu. Yang jelas, ia naik sepeda onthel juga.
“Iya, Pak. Monggo…”aku tak merasa keberatan lagi saat orang-orang memanggilku dengan nama bapakku, bukan namaku. Padahal aku ini perempuan, sama dengan jenisnya Siti Hawa, sama dengan pemain sinetron Asmirandah. Punya nama, Laras. Tapi, sudahlah. Ini sudah menjadi ‘kutukan’ atas kepopuleran bapakku di kalangan pelaut seperti bapak yang menyapaku barusan. Jangan tanya dulu apa yang menjadi kepopuleran bapakku. Kepopuleran itu menurutku lebih membuat hidupku cemas dihantui kontra masyarakat.
Pemandangan yang sudah tak asing lagi bagiku telah nampak di pelupuk mata. Pemandangan yang menandakan kayuhan sepeda tuaku terhenti. Deretan bakau-bakau yang ditata sedemikian rupa di kejauhan telah menyambutku menuju rumah. Ah, aku, ibu, bapak, dan bakau. Mungkin bakaulah yang memang menjadi anak kedua bapak selain aku.
Mungkin inilah hari terparah aku bersungut-sungut atas keadaan. Menjadi anak pesisir yang terdampar di kota dengan visi menuntut ilmu, namun setiap hari harus mengurusi tanaman berakar napas itu. Menjadi gadis desa yang terkesan lugu, padahal naluriku menginginkan yang lain, seperti gadis-gadis kota pada umumnya. Ah, bapak… andaikan saja mau menuruti penawaran pekerjaan paklik di kota, tentu aku takkan terkungkung oleh pergaulan yang seperti ini.. Belum lepas tautan kedua alisku, nampak dua orang yang tergesa-gesa membawa kayu, lewat dari arah belakang rumah. Aku diam, tanpa balasan tanpa ekspresi. Aku tak akan menasihati mereka seperti bapak.
Nah, akhirnya. Sepeda sudah tersimpan aman. Kuucapkan salam dengan sangat lantang. Rupanya kedatanganku disambut oleh tamu yang tak asing lagi. Ibu lurah. Ibunya Karmila. Bu Bejo. Bapak yang tentu saja dalam hal ini berurusan dengan Bu Bejo mempersilahkanku melepas letih. Tidak sopan ikut nimbrung dengan tamu.
“Baru pulang, dhek?” sapa Ibu, setelah aku mencium kedua tangannya yang halus.
“Iya..” jawabku sekenanya.
“Lapar?” suara yang seperti biasa. Halus dan penuh kasih sayang. Tangannya mulai cekatan membersihkan sisik bandeng di luar rumah.
Aku mengangguk. Tentu, Ibu!
“Situ. Ada bandeng bakar dan kiriman jus alpukat.” Jawab ibu sembari menengok dapur.
“Ibu memasak sendiri?”
“Tidak. Baru saja diberi Bu Bejo. Ini bandengnya juga.”
“O..” Bu Bejo memang baik. Dua kali dalam sepekan selalu sowan ke rumah. Bisa bawa makanan, bisa juga sirup yang dibelinya dari kota. Kenapa pula bapak terkesan enggan menanggapi Bu Bejo? Sudah. Jangan memikirkan itu dulu. Lebih baik makan.
“Jadi Pak Darwis, dengan modal yang seiprit itu, cuma mengorbankan tanaman yang tidak keurus pemerintah itu, kita bisa untung besar lho, Pak..!” suara Bu Bejo memantul-mantul di ruang tamu, mengundang kedua telingaku untuk tetap mendengarkan.
“Maksud Bu Bejo, wanamina, begitu? empangnya bakau dibuat tambak?” jawab bapak dengan nada halus.
“Halah. Tidak usah wanamina-wanaminaan. Kesuen, terlalu lama,” suara Bu Bejo juga tak kalah halus, namun tajam penuh provokasi. “Sudah banyak nelayan yang tidak mau mengurusi bakau.. Sudah banyak, tho, tanjang yang di dekat tambak sebelah sana? Buat apa memagari pantai lagi, Pak?”
“Bisa Rob lho, Bu.. Bukankah bakau itu bagus untuk kepiting-kepiting yang ada di bawahnya, buat anak cucu kita nanti, bisa buat obat pendarahan, bisa… sebagainya.. saya lupa. Penyuluh si mahasiswa itu bilang manfaatnya banyak sekali bagi kita..”
“Iya.. tentu saja bakau itu bisa menahan gelombang. Tapi, bukankah di daerah kita jarang sekali ada rob? yang dibilang penyuluh itu yang baik-baiknya saja. Merawatnya susah. Harus disiram air laut, harus…”kali ini suara Bu Bejo lebih lantang, namun gaya kemayunya belum juga hilang.
Lha. Itu, Bu Bejo sudah tahu. Kenapa harus bersikukuh menebang buat kayu bakar? Sekarang kita sudah pakai elpiji, lebih hemat. Merawat itu demi masa depan, lho, Bu..
“Halah-halah, dibayar berapa sampeyan sampai mau jadi pengkampanye tanam mangrove, hah? Lihat saya. Punya tambak berhektar-hektar. Untungnya besar. Anak saya juga terjamin makan tidurnya. Itu saja motto hidup saya.”
Kuletakkan piring bekas makan di meja makan, sambil terus mendengarkan percakapan. Aku tahu, bapak pasti sedang berpikir keras sekarang. Paling tidak ekspresinya termenung menunduk pada lantai, menahan napas, kemudian mengatur kata agar tidak terlampau emosi.
“Pak Darwis bisa menyekolahkan anak-anak sampeyan hingga kuliah!!”
Sepertinya aku mengerti arah pembicaraan Bu Bejo. Ya, tentang pembabatan mangrove itu. Kabarnya keponakannya yang pengusaha itu minta pembebasan lahan. Katanya lagi akan tetap memperhatikan lingkungan. Akan menanam seribu mangrove Sementara Bu Bejo ngotot meminta keuntungan. Tapi aku tidak yakin. Menyambangi esturia saja mereka belum. Aku tak pernah bertemu dengan mereka saat menjaga bibit dari serangan ternak.
“Sudahlah Pak Darwis. Kita ini sama-sama miskin. Walaupun bapak seorang guru, yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa, tapi tetap saja tho, pak, kalau hidupnya seperti ini, tetap membosankan? Sekali-kali lah, Bu Darwis dibelikan cincin emas atau daster baru.. jangan hanya disuruh bersihkan sisiknya ikan saja kerjaannya..”
Kulirik ibu yang terang-terangan mendengar perkataan itu dari balik bilik. Beliau hanya mematung dengan kepala tunduk.
“Ini mumpung lho, Pak.. para warga itu sepakat mau mencabuti bibit-bibit mangrove yang baru saja ditanam orang-orang dari luar kota itu. Kan percuma, wong nanamnya saja salah. Di aliran sungai yang tak ada pasang surutnya. Ayolah, Pak.. jadinya kita bisa leluasa buat tambak di samping tanaman mangrove itu..”
Hening. Kondisi genting, persis detak jarum jam tengah malam. Kondisi di luar sana sepi, persis juga di sini. Jika boleh memilih, undangan, rujukan, paksaan, rayuan,, atau apapun namanya yang diluncurkan oleh tetangga-tetanggaku itu pasti akan kuterima. Aku sudah tahu jika akhir-akhir ini bapak sedang krisis income, kekurangan pendapatan. Tahlilan khaul untuk Mbah Kakungku membutuhkan biaya yang besar. Melaut sedang tak banyak ikan. Sayangnya aku bukan bapak.
“Maaf Bu Bejo, saya tidak bisa.. meskipun bapak-ibu setiap hari datang kesini, saya tetap tidak ingin ikut. Kita ini dari kalangan nelayan. Jangan mau diakali orang-orang yang mau menghancurkan kita.”
“Menghancurkan bagaimana pak? Jelas-jelas keponakan saya yang ada di kota Pasuruan sana bilang, kayu-kayu mangrove itu kalau dijual untungnya besar sekali! Anda mau munafik kalau lahan tambak itu harus diperlebar?”
“Sekali lagi maaf , Bu… Kami…”
“Terimakasih waktunya. Saya pamit pulang!”
Terdengar pintu rumah terbanting dengan keras. Kulihat bapak menerawang ke langit-langit rumah yang masih tak diberi asbes. Pasti sulit menghadapi istri pejabat desa yang satu itu. Diam-diam aku merasa kasihan. Aku tak patut menganggap hal ini sepele.
“Mas, kenapa tidak kalem sedikit dengan tetangga kita? Mereka sedang buta hatinya. Siapa sekarang yang tidak ingin uag? Ibu saja ingin..” ibu mencoba berdiskusi. Mungkin terbujuk rayuan Bu Bejo.
“Laras, sana. Lakukan kegiatan rutinan kamu!” Bapak tidak bergeming dengan perkataan Ibu. Malah pemilik suara berwibawa itu memintaku ke tempat menyebalkan yang selalu dianggap penting. Agenda tiga bulanan. Baiklah. Ingin ku katakan bahwa aku keberatan. Capai. Dan berpuluh alasan lainnya. Tapi aku tak tega. Aku, setelah berpanas-panas ria harus segera mengangkut diri menuju semak belukar penuh nyamuk itu, dengan sepeda onthel kembali.
***
Bukannya aku tidak menyukai tempat ini. Aku sungguh suka. Tempat ini mengingatkanku pada berjuta kenangan saat seseorang menyebutku Esturia, muara. Sungguh, sebenarnya aku tak keberatan jika bapak menyuruhku mengamati perkembangan bakau dengan serasah-serasahnya yang jatuh anggun menjejak bumi. Serasah, daun-daun tua yang kelebihan garam akan jatuh pada saatnya, nyaris sama dengan yang dulu dia bilang, seseorang akan menemukan kebenaran pada saatnya. Aku selalu menunggu teman masa kecilku, yang kuanggap sahabat terbaikku, Mariska. Dia ikut orang tuanya ke Surabaya.
Hanya saja penantianku kuanggap percuma, karena teman masa kecilku itu tak pernah nampak. Satu bulan, dua tiga bulan, hingga tengah tahun kemarin dia tak memberiku kabar apapun. Dia bilang dia akan bersaing denganku, menunjukkan prestasi akademik kami. Mariska, bagaimana dia bisa menghilang bak ditelan bumi begini?
Tak ada lagi kegiatan mengamati propagul saat air laut surut, tak ada lagi yang bersama membantu bapakku, Darwis selama bertanam mangrove setahun yang lalu, juga menyiapkan ijur, bambu penyangga bibit bakau.
Tak lagi aku menghirup bau lumpur yang khas ini dengan hati senang karena ditemani sahabat yang juga mencintai pendidikan.. Aku sepertinya tak kuat untuk memendam kenangan yang begitu menggebunya.
Kini semuanya berubah. Sangat drastis.
Serasah senja itu nampak seperti aku, kini. Hanya saja serasah itu berguna, aku tidak. Tak sepantasnya aku menolak amal bakti bapak, yang belum dianggap pemerintah, yang untungnya didukung mahasiswa yang mulai berkunjung. Kuingat lagi, di kala wajahku mulai ditekuk, di saat hatiku sedang patah karena tak bisa berkumpul bersama teman-teman yang rumahnya di kota, bapak hanya berkata seperti ini, “Seseorang yang mengurusi hidup orang satu itu bagaikan mengurusi hidup orang seluruhnya.”
Betapa satu tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi bapak.. dan tak seharusnya penantian akan balasan sms, telepon, atau surat dari Mariska yang tak membuahkan hasil apapun membuatku kecil hati. Walaupun dari Bu Bejo aku tahu, Mariska berkembang menjadi remaja yang modis. Cantik dan pintar.
Bapakku adalah pejuang bakau. Dan aku harus senang dengan itu.
Serasah jatuh, bukan jatuh terhina, namun berkorban karena keinginannya untuk berguna.
Serasah senja itu.. Bapak, kukira. Ya, bapak !
***

Jumat, 29 Juni 2012

KOTA-KOTA

Penempatan, begitulah istilahnya.

Mungkin kan membantumu ditakdirkan pada sebuah kota baru, atau kota yang sudah lama kautinnggali :))

Pariaman?
Alm. guru SD-ku pernah menunjukkan letak kota itu pada sebuah peta besar.
Oke. Let we see where the place can be visited by me someday :)
Mungkin Pantai Pariaman. Mungkin juga yang lain.


Kota Permen?
Boleeh. Kota di Sulawesi yang serta merta membuatku diteriaki teman-teman sekelas. Siap ucul ke sana katanya :p

Dari kota Permen, bisa jadi lihat wisata bunga Tomohon, atau ke Losari, atau ke Bunaken.
Lagi-lagi, alm. guru SD-ku pernah memberi tebak-tebakan; mana itu Pulau Selayar.

Blitar?
I would like to.
Pengennya di KP2KP ajah, lebih asri, natural, dan bisa menghemat biaya hidup XD
kalo pulang dengan kereta juga nggak susah.
lewat bendungan sutami juga yang aih, guede banget.

deket rumah sendiri?
obviously bisa ketemu orang tua tiap hari, makan gratis, nggak usah ngekos, xixi.

Malang?
nggak akan kutolak..

Karawang?
ada mimpi di Karawang. Datang secara langsung ke San Diego Hills :))
bisa juga ngekos di rumah nenek seorang teman


Ngawi, Nganjuk, Probolinggo, Banyuwangi?
banyak kesamaan budaya dan bisa pulang dlm jangka waktu lebih sebentar juga


waa, belum-belum udah mikir kota-kota.

:P



akhirnya

akhirnya, selesai juga :)

seperti badai, ujian juga pasti berlalu


terima kasih, teman-teman


tanpa kalian, mungkin semangatku tertawan kemalasan hingga kerjaanku hanya mencibir seharian.

how did you get the strength to figure them out ? 

aku jadi suka review (atau mungkin bernama belajar SUPER dadakan) setengah jam sebelum ujian dimulai
aku nggak keberatan dengan dengungan hapalan
aku sendiri belajar dari dengungan itu
juga kebersamaan kita, tentu.


btw, apa kabar rumah?
gimana juga teman-temanku yang sedang berlibur di tanah timur sana?
ingin kupeluk mereka satu persatu dan bilang, aku kangen kalian.


berlibur.
suatu berkah, sesuatu yang bisa dimanfaatkan
layaknya libur musim panas di aussie dan mahasiswa asing bs kerja part time di sana

 
bisa jadi sekarang atau nanti menjadi backpacker dadakan dengan selembar tiket kahuripan di tangan.
lantas transit beberapa kali dan sampai di kampung halaman.


bisa jadi.


namun ide liar itu sepertinya nggak cocok untuk jeda waktu tiga hari, apalagi dg kereta ekonomi.

selain itu, pastilah akan menambah risau orang-orang tersayang.

lantas, aku ingin alternatif pilihan.
sekarang kan, umur status mahasiswaku tinggal tiga bulan ke depan. yeah, tiga bulan, meen. 
masih ingin kukunjungi masjid salman, tempat yang belum pernah kubayangkan sebelumnya
juga universitas di 'jawa' yang dekat dengan kasultanan.
juga yang lainnya.
yang dekat dengan keromantisan, keharuan, kebahagiaan
menyelusup di antara orang-orang yang berjualan,
atau mungkin anak-anak kecil yang bermain layang-layang



waktu itu relatif, kata sir einstein.
so, waktu itu pulalah yang bisa hanya jadi sekelebatan ketika sadar tak sadar, lama atau sebentar, bergulir dan menjadi masa lalu. 

satu persatu pun memulai babak baru.
entah dengan teman kerja, entah dengan rekan orang tua, atau entah dengan yang lainnya.
bagaimana kalau sealmamater aja? :p



waw.

hari ini harus bersyukur.

ujian sudah dilaksanakan. Insyaallah aman. :))

Rabu, 20 Juni 2012

TENTANG MIMPI



Observasi di lingkungan sekitar membawaku pada ujung kesimpulan : Bermimpi aja, jangan takut.. dari sebuah mimpi, berjalan di jalan mimpi, lalu meraih mimpi. Boleh mimpi yang kecil, boleh mimpi yang spektakuler.
Bermimpi itu menakjubkan. Apalagi kalo nggak lupa sama orang-orang tersayang pas ngerajut harapan.
Dosenku bilang, tuliskanlah mimpi itu. Kalo perlu tempelin di kamar kamu, suatu saat nanti terkabul (dan tetaplah berdoa). Is it real? Ada kok buktinya J. Teman beliau ‘nempelin’ Negara Belgia di kamarnya. Berselang waktu kemudian, beneran ke sana, dapat beasiswa. Padahal cuma nempelin gambarnya thok. Namun rupanya itu menjadi stimulus juga agar jadi nyata. Allah kan Maha Melihat, Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui apa saja harapan manusia meskipun manusianya nggak bilang. Apalagi yang berdoa khusuk, benerr?
Almarhum guru SDku juga bilang kayak gitu. Beliau dulu nempelin kriteria istri idamannya di lemari kamar. Katanya, suatu hari nanti, beliau bisa dapet istri yang lolos kriteria itu. Dan setahuku, beliau memang bahagia dengan istri dan puterinya yang imut, berbelas tahun kemudian. Beliau juga bilang (seingetku loh ya), waktu perjalanan dari kantor kecamatan, suatu hari nanti, aku harus bisa nulis nggak hanya lima halaman, tapi sepuluh ribu kata!  (dan ini nggak ditulis..) Betapa mulianya guruku itu dengan mendoakanku sejak kecil. He was right to say : I have to. Dulu shock aja, manyun, nggak kebayang dengan perkataan beliau.. kok tega bener ane disuruh nulis sebanyak itu.. lima halaman folio aja tulisannya gede-gede dan sering mandek ide. Udah gitu kalah lagi sama cerpennya murid-murid SD di sekitar Bangil dan Pandaan sana. SD Plus. Sekarang malah terobsesi. Hehehe.
Dulu, pas masih kecil nan imut, cukup sering ke rumah paklek. Rumahnya di dekat sawah. Sawahnya dekat jalan raya Pantura. Jalan rayanya deket kereta api. Jadi, kalau ada kereta api lewat, pandangan akan benda beroda baja itu nggak akan terhalang. Nggak pernah tahu tuh kereta api yang lewat itu namanya apa. Sekarang minimal tahu tentang kereta Mutiara Timur rute Surabaya-Bayuwangi. Dulu ke stasiun cuma naik kereta trayek dekat untuk pulkam. Sekarang bisa yang trayek jauh. Satu mimpi terkabul. Padahal nggak pake nulis.. juga nggak berdoa banyak biar dikabulkan. Ah, Tuhan Maha Baik.
Sekarang, kalo masih KEPO (pengen tahuu aja; penasaran) liat pesawat terbang (parahnya pas kecil suka minta duit sama pesawat dengan bilang : kapal njaluk duwik’e), dan menuliskannya, apa yang akan terjadi kelak? Diaminin aja ^^. Soalnya satu mimpi tahun ini udah ada yang terkabul .. dan ditulis : ketemu wanita sholihah di Bandung. Horee. Kaga nyangka banget. Padahal pas di sana niat hati mau ke lantai tiga, eh malah ngarah ke lantai satu dan berujung pada keberuntungan tadi.
Mungkin, itulah the power of Mind.
                Sadar nggak sadar, lama ataupun sebentar, ternyata harapan itu terkabul satu persatu, ya?:))
               

Kamis, 14 Juni 2012

KISAH SI ITIK BURUK RUPA

Aku mengenalmu lewat kata-kata, lewat gurat wajah, lewat angin
Aku menyentuhmu dengan pena, dengan rindu, dengan air mata
Ingin aku menemuimu dalam asa yang tiada batasnya
            Ini kali ketiga aku menemukan kertas bertuliskan puisi tak bertuan. Isi dan tulisannya sama persis dengan dua kertas yang kutemukan sebelumnya. Tiga hari lalu kutemukan di kolong meja dan kemarin lusa di ruang baca favoritku di perpustakaan. Aku masih yakin ini hanyalah kebetulan. Meskipun Lena, teman sebangkuku, selalu bilang bahwa ada seseorang yang merindukanku.
            Kubuang kertas ini ke tempat sampah. Aku sudah lapar, ingin cepat-cepat pulang.
            Renny, temanku yang seorang model sebuah majalah terkenal, berjalan cepat melewati gerbang. Langkahnya menarik perhatian banyak orang. Dia tersenyum sekilas padaku. Aku tahu, aku takkan pernah bisa menyamai langkahnya itu. Seorang itik buruk rupa sepertiku, yang berkulit legam, yang tak berhidung mancung, yang wajahnya biasa-biasa saja, takkan mampu menarik perhatian banyak orang.
            Kulanjutkan langkah. Kucegat angkutan hijau yang akan melintas di hadapanku.
            *
            Aku bersyukur tinggal bersama Nenek Upa yang sangat menyayangiku. Aku juga tak menyalahkan takdir karena sejak kecil, orang tuaku telah tiada. Toh aku masih bisa berkunjung ke makam mereka. Nenek Upalah yang menyemangati hari-hariku, yang menguatkanku agar menjadi yang terbaik. Hasilnya, aku selalu mendapat ranking tiga besar di kelas.
Angkutan tua ini berjalan lurus melewati jalan protokol. Semakin lama semakin menjauh dari pusat kota. Seorang anak kecil berseragam SD yang duduk tak jauh dariku terkantuk-kantuk. Kepalanya sesekali mengangguk. Ranselnya yang berat itu didekap. Lalu dia bertanya, “Kakak, persimapangan Jalan Juanda masih jauh ya?”
Aku menggeleng. “Tinggal lima menit lagi. Adik turun di situ?”
Dia mengangguk sambil mengusap wajahnya. “Belum pernah naik angkutan sendiri. Biasanya dijemput Ayah.”
Angin semilir membelai wajahku. Aku duduk di kursi paling ujung, dekat kaca belakang. Angkutan melewati jalanan lengang penuh pertokoan tak terpakai di sebelah kiri dan kanan. Sebentar lagi adik kecil ini akan turun. Lalu aku juga akan turun. Perutku sudah berbunyi beberapa kali. Keinginanku untuk cepat-cepat sampai terganti oleh firasat buruk ketika seorang lelaki berewokan naik ke angkutan ini.
Sedari tadi, angkutan hanya diisi oleh supir, aku, dan anak SD. Entah mengapa, lelaki yang duduk di sampingku menatap tasku berkali-kali. Aku jadi curiga. Apalagi dia sepertinya tak berniat bepergian. Dia hanya membawa badan. Kedua tangannya dimasukkan pada saku jaket kulitnya yang tebal. Aku mendekat pada anak kecil SD tadi. Oh, namanya Tiara. Nama itu tertera pada seragam putihnya. Kini posisiku di dekat pintu. Jalanan masih lengang. Waktu berjalan sangat lambat.
Lelaki berewokan itu ikut pindah ke dekat pintu. Dia memilih duduk di sampingku. Aku diapit oleh dua orang sekarang. Aku bergidik ngeri ketika membayangkan berita-berita di televisi. Kupikirkan berbagai cara menghadapi kemungkinan terburuk saat ini.
“Serahkan dompetmu, atau perutmu akan tertusuk pisau tajam ini!” Seketika aku terkejut mendengar perkataan lelaki di sampingku itu. Perampokan! Tangannya menggenggam benda mengkilat berujung runcing. Benar-benar pisau. “Jangan coba-coba berteriak kalau tak ingin nyawamu berakhir naas di sini.”
“Pelankan kemudimu!” Supir di depanku ketakutan. Dia juga terancam. Dia tak dapat berbuat apa-apa selain menuruti perintah lelaki itu. Aku beristighfar. Di saat yang genting ini, aku harus bertindak cepat dan tepat. Kalau tidak, bukan hanya aku saja yang tak selamat. Tiara bisa jadi korbannya.
“Cepat! Kau mau memberontak, hah?!” ujung pisau itu kian mendekat ke pinggangku, hanya berbatas kain seragam sekarang. Orang ini tidak main-main. Tiara ketakutan. Dia terisak dalam diam. Cepat-cepat kuberikan dompet warna merah jambuku. Pandangan lelaki itu kemudian tertuju pada anak kecil ini.
“Jangan coba-coba menyakitinya. Dia adikku!” ucapku tegas. Kurengkuh anak kecil tadi yang semakin menderas air matanya. Dia mengerti, di saat seperti ini, dia harus berbohong.
Tuhan Maha Besar. Satu gebrakan keras terdengar dari arah belakang. Sebuah motor polisi tiba-tiba menabrak sisi belakang angkutan. Lelaki itu ketakutan. Dia melompat keluar dan berlari cepat memasuki sebuah perkampungan.
Angkutan terhenti. Seorang polisi turun dari motornya, meminta maaf pada supir angkutan. Bapak supir malah mengucapkan terima kasih dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Polisi itu geram dan ingin mengejar. Namun kutolak, “Tidak usah, Pak. Saya hapal bagaimana wajah orang itu. Yang terpenting sekarang adalah adik kecil ini. Dia sangat ketakutan.”
Tiara hanya mau pulang bersama polisi itu jika kutemani. Aku setuju. Kuantarkan dia sampai ujung gang rumahnya. Selanjutnya, biarlah polisi itu yang menemui orang tuanya. Sebelum berpisah, Tiara memberikanku sebuah sapu tangan yang digunakannya untuk mengusap wajahnya tadi. “Terima kasih,” ucapnya dengan mata berbinar-binar. Aku mengangguk. Kuminta dia melupakan kejadian tadi.
Aku pulang naik ojek. Nenek Upa menyambutku seperti biasa, cerah dan bahagia.  Aku tak memberi tahu apa yang baru terjadi karena beliau pasti akan sangat khawatir. Yang terpenting aku selamat. Akan kuurus kartu-kartuku di kemudian hari.
Kupejamkan mata. Aku bermimpi Tiara tersenyum dengan binar matanya yang indah.
***
            “Cha, kamu dapat puisi lagi tidak hari ini? Wah, aku sudah tak sabar..” seru Lena sehabis dari kantin Bu Iyah.
            “Belum. Ah, semoga saja benar-benar tidak dapat. Penulisnya pasti sudah menemukan alamat yang asli, bukan ditujukan kepadaku, si itik buruk rupa.” Pikiranku masih terbayang-bayang peristiwa kemarin. Sekali lagi, aku bersyukur telah selamat. Tak ada luka sesayat pun yang tergores dari tubuhku, juga gadis mungil bernama Tiara itu. Bagaimana kabarnya sekarang? semoga dia baik-baik saja.
            “Aduh, sudah kali berapa kubilang, puisi itu benar-benar untuk kamu! Kamu itu peri angsa, kamu cantik. Kamu bukan itik buruk rupa. Percayalah itu.” Lena bersungut-sungut.
Hening. Lena menunggu responku. “Ngomong-ngomong, ada anak dari Geng Sablon yang mengancammu? Bilang aku saja. Akan kulaporkan pada guru BK.”
            Aku menggeleng pelan. “Tak satupun anggota Geng Sablon yang mengancamku.” Pekan lalu, kulaporkan rencana pembalasan tawuran terhadap sekolah sebelah oleh Geng Sablon pada guru BK. Mereka akan melakukan aksi yang cukup brutal. Teman-teman sudah tahu, tapi diam karena diancam. Aku tak hanya menjadi itik yang jelek, tetapi juga nekat. Syukurlah rencana itu tak pernah terjadi. Apakah Geng Sablon tahu bahwa akulah pelapor itu, aku tak peduli. Aku akan baik-baik saja.
            Lena mengajakku kembali ke kelas. Baru saja duduk santai di atas bangku, Lena sudah terpekik histeris. “Waah, akhirnya puisi cinta itu datang!”
            Lena menjulurkan tangannya pada kolong bangukuku, mengambil sebuah gumpalan kertas. Dibukanya benda itu cepat-cepat, lalu membaca tulisan yang tergores di dalamnya. “Cha, jika cinta ingin bermuara, kita bisa bertemu di kelas ini sepulang sekolah. Dari pengagum rahasia.”
Aku kehabisan kata-kata.
“Dia menyebut namamu, Cha! Benar kan apa kataku. Kamu bukan itik buruk rupa. Kamu itu puteri angsa, Cha. Maukah kubantu mempersiapkan penampilanmu bertemu pengagum rahasia nanti sore? Kira-kira, siapa ya pangeranmu? Pastilah dia lelaki yang tampan nan bersahaja.
“Ti..dak mungkin..” Tidak mungkin kumiliki seorang pegangum rahasia.
            Lena membujukku dan memberikan segala argumentasinya, bahwa aku benar-benar pantas memiliki pengagum rahasia. Tak akan acara sekadar menggodaku apalagi pembalasan Geng Sablon. Aku tercenung, terpengaruh. Aku memang punya hak untuk dicintai. Aku mulai iri dengan teman-teman lain yang sudah punya kekasih. Aku setuju untuk menemui pemilik puisi itu nanti sore. Sendirian, empat mata. Jantungku berdebar-debar. Perasaanku berkecamuk tak karuan. Aku ingin pelajaran segera berakhir.
            ***
Pelan kutapaki tangga menuju kelas. Kelasku berada di lantai dua sehingga terkadang aku merasa nyeri ketika harus naik-turun setiap hari. Anehnya, aku tak merasakan sakit apa-apa saat ini. Kuatur napas. Untuk menemui seorang pegagum rahasia saja begini mendebarkannya.
Aku berdoa semoga tidak pingsan atau mati kutu dalam bicara. Ya, baru kali ini ada lelaki yang mau mengajakku bertemu! Pastilah dia mengajakku berbicara. Kuberikan senyum terbaikku saat bertatapan dengannya. Lelaki ini.. menawan! Terlalu menawan untuk itik buruk rupa sepertiku. Aku tidak pernah mengenal dia sebelumnya.
Dia.. meskipun pada awalnya kikuk juga, dia ikut tersenyum. Kalimat pertamanya membuatku meleleh. “Ocha, ya? Aku yang mengirimkan puisi-puisi itu..”
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Melihat malaikat seperti dia, kugenggam tali ranselku erat-erat. Bibirku terkunci rapat.
“Aku Rey, kelas 9E. Kita memang belum pernah bertemu. Tetapi aku selalu mengamatimu dari jauh.” Duhai, apa yang dikatakannya barusan? Mengamatiku dari jauh?
Cha, kamu harus bersikap santai. Kalau tidak, nanti kamu benar-benar terlihat seperti orang yang tak pernah ditemui lelaki..” Kuingat perkataan Lena. “Apa kabar?” kupaksakan kata sapaan itu muncul.
“Luar biasa,” jawabnya. Aku tertawa kecil. Gayanya seperti orang yang sedang ikut seminar. Dia benar-benar mampu membuat suasana lebih santai. “Mau ini?” pintanya sembari memberi sebuah kudapan padaku.
Lagi-lagi aku tersenyum. Sial. Aku tak dapat menutup kenyataan bahwa aku terpesona akan keindahannya. “Pastel itu dibuatkan adikku. Dia sangat jago memasak meskipun masih kecil.”
Untuk menjaga keanggunan sebagai itik yang akan berenkarnasi menjadi puteri angsa, kukunyah pastel itu pelan-pelan. Rasanya memang enak.
“Kamu cantik apa adanya. Kamu tahu, kamu berhasil membuat Geng Sablon mati kutu di hadapan guru BK dan wakil kepala sekolah.” Aku tersipu, bagaimana dia bisa tahu? Pelan tapi pasti, pastel itu kutelan. Tapi, ada apa ini? Mula-mula wajahku terasa gatal, lalu tanganku juga gatal.
“Kenapa?” katamu bernada khawatir.
Sungguh terlalu! Aku lupa kalau aku alergi telur. Pastel ini pastilah ada telurnya. Sebentar lagi aku benar-benar menjadi itik buruk rupa. Ruangan kelas yang penuh debu membuatku terbatuk-batuk dan bersin-bersin. Oh, tolonglah. Jangan alergi sekompleks ini sekarang.
Rey menatapku, menahan tawa. Dia mencari sesuatu di sakunya. “Tak usah repot-repot.” Kurogoh-rogoh isi tasku. Sapu tangan.. aku butuh sapu tangan. Syukurlah aku masih menyimpan pemberian Tiara kemarin sore. Kututupi sebagian mukaku dengan sapu tangan. Aku tak boleh membuat lawan bicaraku terdiam seperti patung. Jadi, perbincangan harus tetap diteruskan. “Maaf ya, Rey. Kamu ikut panik.”
Rey masih menatapku. Kali ini benar-benar terdiam. Dia memandangiku seperti aku ini sebuah lukisan mewah. “Kenapa? Aku jelek ya? kamu harusnya sadar, aku hanya seekor itik buruk rupa..”Oh, matilah aku. Aku sudah merusak reputasiku sendiri.
Dengan cepat dia keluar kelas, membuang sebuah kresek hitam ke tengah taman sekolah. “Jangan! kamu bisa kena sanksi karena membuang sampah sembarangan,” aku berteriak, dia tak peduli. Rey tersenyum, lalu mengatakan kalimat yang tak terduga sebelumnya. “Aku harus pergi. Maaf.”
Aku harus pergi. Maaf. Itukah kata-kata terakhir dari seorang pengagum rahasia? Pertemuan yang mengagumkan. Aku terduduk lemas. Rasanya? tidak dapat dideskripsikan. Aku harus menyadari sebelumnya bahwa aku ini hanyalah itik buruk rupa. Jatuh cinta saja tak pantas, apalagi sakit hati.
Lena tergopoh-gopoh masuk kelas. Dia sudah melihat apa yang terjadi dari kejauhan. Lena menguat-nguatkanku agar tetap sabar. Ia merasa bersalah.“Tenang, Cha. Siapa sih, Rey itu? Kamu itu puteri angsa. Kamu akan mendapat yang lebih baik daripada orang-orangan sawah itu!”
Lena menungguiku, mengantarkanku ke toilet, dan menraktirku makan siang. Kubilang aku baik-baik saja, meskipun sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Saat tiba di rumah, kutolak permintaan Nenek Upa untuk makan bersama. Itik ya tetap itik. Tak akan jadi puteri angsa walau diapa-apakan.
Malam ini bulan bersinar cerah, tak seperti aku. Kupandangi kawan-kawannya, gemintang yang juga tak kalah cemerlang. Pertama kali disukai seseorang, lalu bertindak memalukan di depan orang itu? Oh, andai aku bisa operasi plastik. Rey pasti pergi begitu saja ketika benar-benar menyadari aku ini jelek. Jauh dari sempurna.
Aku tak dapat membayangkan bagaimana reaksiku jika bertemu dengannya. Nyaris aku beranjak ke tempat tidur kalau tak kulihat sebuah benda yang terlempar ke kamarku. Hooh, siapa? Tak ada siapa-siapa di luar. Sebuah gumpalan kertas lagi! Kakiku kembali ngilu. Mungkinkah Rey menuliskan sebuah surat penolakan untukku? Tak mungkin, tetapi benar! Guratan tulisan pada kertas itu..dia yang menulis.
Kurasa kamu tidak dapat menerka apa yang kumau. Mengapa aku menulis puisi-puisi itu padamu, mengajakmu bertemu, lalu berlalu begitu saja. Kamu tahu Geng Sablon? Tidak banyak yang tahu bahwa akulah kepala geng itu..”
Cerita macam ini? Rey kepala geng itu? Pastilah dia ingin membuatku merana, dan dia berhasil.
Awalnya aku ingin membalas hukuman skors semingguku dengan membuatmu gatal-gatal sepanjang hari dan pingsan karena setengah lusin cicak yang kubawa. Ya, surat cinta itu hanyalah rekaan, benar-benar fiktif. Tapi, setelah melihat sapu tangan yang kau kenakan, kau menjadi malaikatku. Aku jadi teringat adikku yang kusayangi melebihi diriku sendiri.”
Adik? Sapu tangan? Tunggu-tunggu. Tiarakah maksudnya?
Kautahu? Tiara begitu takjub ketika bercerita tentangmu, seperti menceritakan seorang Wonderwoman. Kaubalut ketakutannya dengan pelukanmu. Sungguh, sudah lama dia tak mendapat kasih sayang seorang ibu. Ayahku yang buruklah yang menceraikan wanita sebaik dia. Terima kasih telah menolong Tiara. Maafkan aku, Cha. Aku janji, Geng Sablon tak akan berulah lagi.”
Seketika itu juga aku bersimpuh. Frame demi frame tentang Tiara tersibak dalam pikiranku. Lalu tentang Geng Sablon. Tuhan, begitu manisnya Engkau menolongku. Aku tak peduli jika aku menjadi itik buruk rupa hingga tak ada seorangpun mencintaiku. Namun aku senang membuat orang-orang di sekitarku bahagia. Termasuk gadis kecil pemilik senyum manis itu..
“Ada apa, Cha? Kamu kok nangis-nangis terus senyum-senyum sendiri?” Nenek Upa masuk ke dalam kamar. Kupandang wajah ayunya yang belum hilang dimakan usia. Aku tahu, banyak cerita yang belum kubagi padanya.***

tebaktebak hayo tebak




I fell down, and I couldn't stand by my self anymore
+ thinking : udah besar, ayoo jalan lagi :D


I sank in the deepest painful ocean 
+ thinking : ayoo belajar renang

I got lost, I didn't know where my home is
+ thinking : sedia peta sebelum tersesat :))


Rabu, 13 Juni 2012

SUDAHKAH ANDA MEMBAYAR PAJAK?

Ya. Pertanyaannya adalah sudahkah Anda membayar pajak?



tuk. tuk. tuk.

udah dapat jawabannya?

apa? belum bayar? kenapa? bagaimana bisa?

FADE OUT

 Tulisan ini akan sedikit membahas pajak. Lazimnya, orang nggak akan mau membayar pajak kalau nggak dipaksa, kan? Naah, negara berbaik hati mungut pajak karena ujung-ujungnya buat kemakmuran rakyat. Serius. Kan, jutaan orang nyetor pajak nih. Uangnya tuh dikumpulin, buat bangun jalan raya, buat bangun sekolah, sampai beasiswa master yang digelontorkan pemerintah pada instansi-instasi perguruan tinggi pun dari pajak..

Kembali ke pertanyaan. Sudahkah Anda membayar pajak?

Sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, pembaca nyaris berhubungan sama membayar pajak setiap harinya.

Contoh 1 : pergi ke minimarket, terus beli sebotol Aqua. Harganya Rp1700. Ada tulisan PPN Rp170 yang tertera di struk belanja. Pajak Pertambahan Nilai kan, salah satu macam pajak?:D

Contoh 2 : bawa motor ke ATM. Pas pulang dari ATM, bayar retribusi parkir. Retribusi itu pajak daerah, jadi masih nggak jauh-jauh dari pajak juga...

Contoh 3 : ke counter, beli hape yang harganya Rp2.500.000. Itu sebenernya udah kehitung PPN 10% lagi looh.

Intinya, pajak itu nggak sebatas pajak yang nominalnya gede kayak empunya perusahaan multinasional di negara kita. Bukan hanya gaji orang tua sebagian besar remaja di negeri ini saja yang dikenakan pajak.

Hal-hal yang kecil pun dapat kita temukan..

Ketika kita bayar PBB juga termasuk pajak kaan? Bedanya, wilayah kabupaten/ kota tuh yang biasanya mendapat bagi hasil pajak yang lebih besar.

Oke. Let make it simplier.

Pajak penghasilan, pajak yang mengurangi gaji itu.. dikenakan bagi orang-orang yang berpenghasilan di atas 1,32 juta. Setornya ke kas negara, yang mengelola dan memiliki wewenang untuk mengolah hasilnya adalah pusat. 

Begitu juga dengan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). PPN merupakan salah satu pajak pusat. Jadi, jangan kaget kalau pas ke toko buku di mal-mal, segala barang terkeena PPN. Soalnya, pengusaha toko buku (dan yang lainnya) yang udah punya peredaran uang sebesar lebih dari 600 juta harus memotong dan memungut PPN pada konsumennyaa.

Kalau yang di daerah itu kayaak pajak reklame, pajak hiburan (klo ada konser), PBB, dan pajak restoran. Jadi, pas kita bayar bill  ke restoran secara nggak langsung udah termasuk pajaknya...

Satu pertanyaan yang mungkin dipertanyakan banyak orang: kenapa banyak orang korupsi pajak?

Sebenarnya, yang bener-bener berintegritas banyaak banget. Yang korupsi tuh yang hatinya lagi nggak bener aja. Hanya saja, yang jelek-jelek terkesan mencolok bagi masyarakat. Padahal, lagi-lagi, yang kerjanya s i p itu banyaak banget. Hanya oknumnya ajaa yang sering di-blow up (yang bisa nego pajak dg perusahaan berdasarkan peraturan tp diselewengin). 

Perpajakan di negara kita ini ada aturannya. Yang bayar pajak kalau nggak bener ada sanksinya, fiskus (pengatur pajak)nya pun kalau nggak bener ya ada sanksinya juga..


 So, mari bayar pajak ! :D





 


Selasa, 12 Juni 2012

KELAS SENI DADAKAN

Ramuan diperoleh pada Juni, 12/ 2012.
Episode hari ini seperti oase di tengah padang pasir. Apa pasal? Pasalnya adalah ketika penghuni kelas berseragam putih hitam membuat sedikit ‘keonaran’ di kelas. 
Tidak terbayangkan rasanya ketika kelas PPSP tidak jadi, kemudian kelas ditutup  dan lampu dimatikan. Layar proyektor berubah menjadi biru yang terlihat kelam. Dua anak manusia berjejeran sambil berebut mic, berbicara seperti sedang on air di sebuah radio.
“Hai pemirsa,” Sapa Bang Ruhut. “apa kabar Anda hari ini? Mari kita dengarkan kisah yang berikut ini..”
Dan mulailah Halim melancarkan aksinya, “Malam itu, aku baru saja memarkir motor Jupiter Mx-ku..”dia berbicara dengan suara perutnya.  Merk motor ini merujuk pada motor seorang teman yang berada di kelas kami, Imam. Yang dimaksud mesem saja, tabah merk motornya dicuplik oleh Halim dan Ruhut.
“Lalu, Ya Tuhaaan!..” terdengar jeritan pilu, menyayat, dan sontak membuat kelas yang gaduh ini sunyi senyap. “.. ada seorang anak kecil yang tersenyum kepadaku… !!” Cerita lalu berlanjut dengan ending bergantung (terserah pemirsa). Teman-teman terkikik-kikik, termasuk Puspa juga J
Trust me, sepasang matamu takkan mau untuk tak memberikan perhatian pada mereka berdua!
Setting kelas yang udah kayak suasana “Uji Nyali” itu bertambah komplit ketika Bang Ruhut memainkan lagu Lingsir Wingi, sebuah lagu Jawa yang katanya bikin merinding. Benar-benar jam kosong yang menakjubkan!
Hihihi, beberapa kali Halim menampilkan ekspresi yang begitu menyedihkan, dan.. berhasil menyedot perhatian kami memang.
Sesi on air radio ini ditutup dengan cukup sukses, saudara-saudara.
Yo! Acara kemudian berganti dengan Halim yang jadi motivator a la ESQ. Setting lagu pun berubah menjadi Koi. Halim tetap menjadi the main artist. “Kita masih bersyukur bisa bernapas hari ini. Napas masih gratis dan Tuhan masih menyayangi kita. Kalau begitu, apa yang telah Anda berikan kepada Tuhan? Apa? Apa?”
Ada peluru hati nancap ke hati.
Beberapa menit kemudian (seperti episode sinetron yang dinamis dan bergerak begitu cepat), ada Fadil dan Nasaor yang membawa gitar. Akhirnya, rame-rame kita bikin karaokean di dalam kelas. Do you believe that STAY STUDENTS CAN BE MORE CREATIVE IN THE PASTIME, GUYS? XD.
Sutradara Fadil mencari relawan yang menjadi vokalis. Dan pilihan akhirnya jatuh kepada Reshita. Dengan perform yang nggak kalah sama pertunjukan pensi di sekolah-sekolah mereka menampilkan aksinya.
Not just one song, but a lot ! :D
Kami nyanye rame-rame. Kami melepas penat. Melepas galau. Menghalau lapar. Memperbanyak syukur karena bisa ketemu teman-teman yang nggak nyangkanya bisa diajak ‘gila’ juga.
Begitulah, saudara-saudara. Menit demi menit kami lewati bersama dan kelas “otak kiri” ini memulai gaya hidup natural alamiahnya –yang otak kanan bangeet— dengan sukses. Yeah, we still remember beberapa hari lagi UTS kok. We remember. And we believe in our God and our capacity.
Eh, ternyata hal-hal yang menyenangkan tidak berakhir sampai di sini. Saat pelajaran PPN pun kami masih bisa ketawa gara-gara melakukan tipuan otak.
Caranya nih, ya. Lazimnya kan kalau dosen bilang gajah, masis harus bilang BESAR dan gerakan tangannya akan membentuk sebuah lingkaran besar. Kalau dosen bilang semut, masis akan bilang KECIL dengan gerakan tangan membentuk sebuah lingkaran kecil. Sekarang dibalik. Kalau gajah tetap bilang besar TAPI gerakan tangannya membentuk lingkaran kecil. Buat semut juga begitu. Semut itu keciiil (tapi lingkarannya harus gede) Diulang-ulang tuh sampe ada yang salah. Absolutely permainan ini menelan banyak korban :P. Level ditingkatkan dengan menambah kadal (pendek tapi tapi tangannya harus terulur panjang) dan ular (sebaliknya), rumput dan gedung (rendah dan tinggi).
Hmm.. are they confusing? Definitely not! It’s amusing. You can try this at home.
Can’t do this one? You can ask me. Hehe.
Terketik-ketik dengan sporadis pada 13-6-12. 12.12

Pengikut