Kamis, 14 Juni 2012

KISAH SI ITIK BURUK RUPA

Aku mengenalmu lewat kata-kata, lewat gurat wajah, lewat angin
Aku menyentuhmu dengan pena, dengan rindu, dengan air mata
Ingin aku menemuimu dalam asa yang tiada batasnya
            Ini kali ketiga aku menemukan kertas bertuliskan puisi tak bertuan. Isi dan tulisannya sama persis dengan dua kertas yang kutemukan sebelumnya. Tiga hari lalu kutemukan di kolong meja dan kemarin lusa di ruang baca favoritku di perpustakaan. Aku masih yakin ini hanyalah kebetulan. Meskipun Lena, teman sebangkuku, selalu bilang bahwa ada seseorang yang merindukanku.
            Kubuang kertas ini ke tempat sampah. Aku sudah lapar, ingin cepat-cepat pulang.
            Renny, temanku yang seorang model sebuah majalah terkenal, berjalan cepat melewati gerbang. Langkahnya menarik perhatian banyak orang. Dia tersenyum sekilas padaku. Aku tahu, aku takkan pernah bisa menyamai langkahnya itu. Seorang itik buruk rupa sepertiku, yang berkulit legam, yang tak berhidung mancung, yang wajahnya biasa-biasa saja, takkan mampu menarik perhatian banyak orang.
            Kulanjutkan langkah. Kucegat angkutan hijau yang akan melintas di hadapanku.
            *
            Aku bersyukur tinggal bersama Nenek Upa yang sangat menyayangiku. Aku juga tak menyalahkan takdir karena sejak kecil, orang tuaku telah tiada. Toh aku masih bisa berkunjung ke makam mereka. Nenek Upalah yang menyemangati hari-hariku, yang menguatkanku agar menjadi yang terbaik. Hasilnya, aku selalu mendapat ranking tiga besar di kelas.
Angkutan tua ini berjalan lurus melewati jalan protokol. Semakin lama semakin menjauh dari pusat kota. Seorang anak kecil berseragam SD yang duduk tak jauh dariku terkantuk-kantuk. Kepalanya sesekali mengangguk. Ranselnya yang berat itu didekap. Lalu dia bertanya, “Kakak, persimapangan Jalan Juanda masih jauh ya?”
Aku menggeleng. “Tinggal lima menit lagi. Adik turun di situ?”
Dia mengangguk sambil mengusap wajahnya. “Belum pernah naik angkutan sendiri. Biasanya dijemput Ayah.”
Angin semilir membelai wajahku. Aku duduk di kursi paling ujung, dekat kaca belakang. Angkutan melewati jalanan lengang penuh pertokoan tak terpakai di sebelah kiri dan kanan. Sebentar lagi adik kecil ini akan turun. Lalu aku juga akan turun. Perutku sudah berbunyi beberapa kali. Keinginanku untuk cepat-cepat sampai terganti oleh firasat buruk ketika seorang lelaki berewokan naik ke angkutan ini.
Sedari tadi, angkutan hanya diisi oleh supir, aku, dan anak SD. Entah mengapa, lelaki yang duduk di sampingku menatap tasku berkali-kali. Aku jadi curiga. Apalagi dia sepertinya tak berniat bepergian. Dia hanya membawa badan. Kedua tangannya dimasukkan pada saku jaket kulitnya yang tebal. Aku mendekat pada anak kecil SD tadi. Oh, namanya Tiara. Nama itu tertera pada seragam putihnya. Kini posisiku di dekat pintu. Jalanan masih lengang. Waktu berjalan sangat lambat.
Lelaki berewokan itu ikut pindah ke dekat pintu. Dia memilih duduk di sampingku. Aku diapit oleh dua orang sekarang. Aku bergidik ngeri ketika membayangkan berita-berita di televisi. Kupikirkan berbagai cara menghadapi kemungkinan terburuk saat ini.
“Serahkan dompetmu, atau perutmu akan tertusuk pisau tajam ini!” Seketika aku terkejut mendengar perkataan lelaki di sampingku itu. Perampokan! Tangannya menggenggam benda mengkilat berujung runcing. Benar-benar pisau. “Jangan coba-coba berteriak kalau tak ingin nyawamu berakhir naas di sini.”
“Pelankan kemudimu!” Supir di depanku ketakutan. Dia juga terancam. Dia tak dapat berbuat apa-apa selain menuruti perintah lelaki itu. Aku beristighfar. Di saat yang genting ini, aku harus bertindak cepat dan tepat. Kalau tidak, bukan hanya aku saja yang tak selamat. Tiara bisa jadi korbannya.
“Cepat! Kau mau memberontak, hah?!” ujung pisau itu kian mendekat ke pinggangku, hanya berbatas kain seragam sekarang. Orang ini tidak main-main. Tiara ketakutan. Dia terisak dalam diam. Cepat-cepat kuberikan dompet warna merah jambuku. Pandangan lelaki itu kemudian tertuju pada anak kecil ini.
“Jangan coba-coba menyakitinya. Dia adikku!” ucapku tegas. Kurengkuh anak kecil tadi yang semakin menderas air matanya. Dia mengerti, di saat seperti ini, dia harus berbohong.
Tuhan Maha Besar. Satu gebrakan keras terdengar dari arah belakang. Sebuah motor polisi tiba-tiba menabrak sisi belakang angkutan. Lelaki itu ketakutan. Dia melompat keluar dan berlari cepat memasuki sebuah perkampungan.
Angkutan terhenti. Seorang polisi turun dari motornya, meminta maaf pada supir angkutan. Bapak supir malah mengucapkan terima kasih dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Polisi itu geram dan ingin mengejar. Namun kutolak, “Tidak usah, Pak. Saya hapal bagaimana wajah orang itu. Yang terpenting sekarang adalah adik kecil ini. Dia sangat ketakutan.”
Tiara hanya mau pulang bersama polisi itu jika kutemani. Aku setuju. Kuantarkan dia sampai ujung gang rumahnya. Selanjutnya, biarlah polisi itu yang menemui orang tuanya. Sebelum berpisah, Tiara memberikanku sebuah sapu tangan yang digunakannya untuk mengusap wajahnya tadi. “Terima kasih,” ucapnya dengan mata berbinar-binar. Aku mengangguk. Kuminta dia melupakan kejadian tadi.
Aku pulang naik ojek. Nenek Upa menyambutku seperti biasa, cerah dan bahagia.  Aku tak memberi tahu apa yang baru terjadi karena beliau pasti akan sangat khawatir. Yang terpenting aku selamat. Akan kuurus kartu-kartuku di kemudian hari.
Kupejamkan mata. Aku bermimpi Tiara tersenyum dengan binar matanya yang indah.
***
            “Cha, kamu dapat puisi lagi tidak hari ini? Wah, aku sudah tak sabar..” seru Lena sehabis dari kantin Bu Iyah.
            “Belum. Ah, semoga saja benar-benar tidak dapat. Penulisnya pasti sudah menemukan alamat yang asli, bukan ditujukan kepadaku, si itik buruk rupa.” Pikiranku masih terbayang-bayang peristiwa kemarin. Sekali lagi, aku bersyukur telah selamat. Tak ada luka sesayat pun yang tergores dari tubuhku, juga gadis mungil bernama Tiara itu. Bagaimana kabarnya sekarang? semoga dia baik-baik saja.
            “Aduh, sudah kali berapa kubilang, puisi itu benar-benar untuk kamu! Kamu itu peri angsa, kamu cantik. Kamu bukan itik buruk rupa. Percayalah itu.” Lena bersungut-sungut.
Hening. Lena menunggu responku. “Ngomong-ngomong, ada anak dari Geng Sablon yang mengancammu? Bilang aku saja. Akan kulaporkan pada guru BK.”
            Aku menggeleng pelan. “Tak satupun anggota Geng Sablon yang mengancamku.” Pekan lalu, kulaporkan rencana pembalasan tawuran terhadap sekolah sebelah oleh Geng Sablon pada guru BK. Mereka akan melakukan aksi yang cukup brutal. Teman-teman sudah tahu, tapi diam karena diancam. Aku tak hanya menjadi itik yang jelek, tetapi juga nekat. Syukurlah rencana itu tak pernah terjadi. Apakah Geng Sablon tahu bahwa akulah pelapor itu, aku tak peduli. Aku akan baik-baik saja.
            Lena mengajakku kembali ke kelas. Baru saja duduk santai di atas bangku, Lena sudah terpekik histeris. “Waah, akhirnya puisi cinta itu datang!”
            Lena menjulurkan tangannya pada kolong bangukuku, mengambil sebuah gumpalan kertas. Dibukanya benda itu cepat-cepat, lalu membaca tulisan yang tergores di dalamnya. “Cha, jika cinta ingin bermuara, kita bisa bertemu di kelas ini sepulang sekolah. Dari pengagum rahasia.”
Aku kehabisan kata-kata.
“Dia menyebut namamu, Cha! Benar kan apa kataku. Kamu bukan itik buruk rupa. Kamu itu puteri angsa, Cha. Maukah kubantu mempersiapkan penampilanmu bertemu pengagum rahasia nanti sore? Kira-kira, siapa ya pangeranmu? Pastilah dia lelaki yang tampan nan bersahaja.
“Ti..dak mungkin..” Tidak mungkin kumiliki seorang pegangum rahasia.
            Lena membujukku dan memberikan segala argumentasinya, bahwa aku benar-benar pantas memiliki pengagum rahasia. Tak akan acara sekadar menggodaku apalagi pembalasan Geng Sablon. Aku tercenung, terpengaruh. Aku memang punya hak untuk dicintai. Aku mulai iri dengan teman-teman lain yang sudah punya kekasih. Aku setuju untuk menemui pemilik puisi itu nanti sore. Sendirian, empat mata. Jantungku berdebar-debar. Perasaanku berkecamuk tak karuan. Aku ingin pelajaran segera berakhir.
            ***
Pelan kutapaki tangga menuju kelas. Kelasku berada di lantai dua sehingga terkadang aku merasa nyeri ketika harus naik-turun setiap hari. Anehnya, aku tak merasakan sakit apa-apa saat ini. Kuatur napas. Untuk menemui seorang pegagum rahasia saja begini mendebarkannya.
Aku berdoa semoga tidak pingsan atau mati kutu dalam bicara. Ya, baru kali ini ada lelaki yang mau mengajakku bertemu! Pastilah dia mengajakku berbicara. Kuberikan senyum terbaikku saat bertatapan dengannya. Lelaki ini.. menawan! Terlalu menawan untuk itik buruk rupa sepertiku. Aku tidak pernah mengenal dia sebelumnya.
Dia.. meskipun pada awalnya kikuk juga, dia ikut tersenyum. Kalimat pertamanya membuatku meleleh. “Ocha, ya? Aku yang mengirimkan puisi-puisi itu..”
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Melihat malaikat seperti dia, kugenggam tali ranselku erat-erat. Bibirku terkunci rapat.
“Aku Rey, kelas 9E. Kita memang belum pernah bertemu. Tetapi aku selalu mengamatimu dari jauh.” Duhai, apa yang dikatakannya barusan? Mengamatiku dari jauh?
Cha, kamu harus bersikap santai. Kalau tidak, nanti kamu benar-benar terlihat seperti orang yang tak pernah ditemui lelaki..” Kuingat perkataan Lena. “Apa kabar?” kupaksakan kata sapaan itu muncul.
“Luar biasa,” jawabnya. Aku tertawa kecil. Gayanya seperti orang yang sedang ikut seminar. Dia benar-benar mampu membuat suasana lebih santai. “Mau ini?” pintanya sembari memberi sebuah kudapan padaku.
Lagi-lagi aku tersenyum. Sial. Aku tak dapat menutup kenyataan bahwa aku terpesona akan keindahannya. “Pastel itu dibuatkan adikku. Dia sangat jago memasak meskipun masih kecil.”
Untuk menjaga keanggunan sebagai itik yang akan berenkarnasi menjadi puteri angsa, kukunyah pastel itu pelan-pelan. Rasanya memang enak.
“Kamu cantik apa adanya. Kamu tahu, kamu berhasil membuat Geng Sablon mati kutu di hadapan guru BK dan wakil kepala sekolah.” Aku tersipu, bagaimana dia bisa tahu? Pelan tapi pasti, pastel itu kutelan. Tapi, ada apa ini? Mula-mula wajahku terasa gatal, lalu tanganku juga gatal.
“Kenapa?” katamu bernada khawatir.
Sungguh terlalu! Aku lupa kalau aku alergi telur. Pastel ini pastilah ada telurnya. Sebentar lagi aku benar-benar menjadi itik buruk rupa. Ruangan kelas yang penuh debu membuatku terbatuk-batuk dan bersin-bersin. Oh, tolonglah. Jangan alergi sekompleks ini sekarang.
Rey menatapku, menahan tawa. Dia mencari sesuatu di sakunya. “Tak usah repot-repot.” Kurogoh-rogoh isi tasku. Sapu tangan.. aku butuh sapu tangan. Syukurlah aku masih menyimpan pemberian Tiara kemarin sore. Kututupi sebagian mukaku dengan sapu tangan. Aku tak boleh membuat lawan bicaraku terdiam seperti patung. Jadi, perbincangan harus tetap diteruskan. “Maaf ya, Rey. Kamu ikut panik.”
Rey masih menatapku. Kali ini benar-benar terdiam. Dia memandangiku seperti aku ini sebuah lukisan mewah. “Kenapa? Aku jelek ya? kamu harusnya sadar, aku hanya seekor itik buruk rupa..”Oh, matilah aku. Aku sudah merusak reputasiku sendiri.
Dengan cepat dia keluar kelas, membuang sebuah kresek hitam ke tengah taman sekolah. “Jangan! kamu bisa kena sanksi karena membuang sampah sembarangan,” aku berteriak, dia tak peduli. Rey tersenyum, lalu mengatakan kalimat yang tak terduga sebelumnya. “Aku harus pergi. Maaf.”
Aku harus pergi. Maaf. Itukah kata-kata terakhir dari seorang pengagum rahasia? Pertemuan yang mengagumkan. Aku terduduk lemas. Rasanya? tidak dapat dideskripsikan. Aku harus menyadari sebelumnya bahwa aku ini hanyalah itik buruk rupa. Jatuh cinta saja tak pantas, apalagi sakit hati.
Lena tergopoh-gopoh masuk kelas. Dia sudah melihat apa yang terjadi dari kejauhan. Lena menguat-nguatkanku agar tetap sabar. Ia merasa bersalah.“Tenang, Cha. Siapa sih, Rey itu? Kamu itu puteri angsa. Kamu akan mendapat yang lebih baik daripada orang-orangan sawah itu!”
Lena menungguiku, mengantarkanku ke toilet, dan menraktirku makan siang. Kubilang aku baik-baik saja, meskipun sebenarnya aku tidak baik-baik saja. Saat tiba di rumah, kutolak permintaan Nenek Upa untuk makan bersama. Itik ya tetap itik. Tak akan jadi puteri angsa walau diapa-apakan.
Malam ini bulan bersinar cerah, tak seperti aku. Kupandangi kawan-kawannya, gemintang yang juga tak kalah cemerlang. Pertama kali disukai seseorang, lalu bertindak memalukan di depan orang itu? Oh, andai aku bisa operasi plastik. Rey pasti pergi begitu saja ketika benar-benar menyadari aku ini jelek. Jauh dari sempurna.
Aku tak dapat membayangkan bagaimana reaksiku jika bertemu dengannya. Nyaris aku beranjak ke tempat tidur kalau tak kulihat sebuah benda yang terlempar ke kamarku. Hooh, siapa? Tak ada siapa-siapa di luar. Sebuah gumpalan kertas lagi! Kakiku kembali ngilu. Mungkinkah Rey menuliskan sebuah surat penolakan untukku? Tak mungkin, tetapi benar! Guratan tulisan pada kertas itu..dia yang menulis.
Kurasa kamu tidak dapat menerka apa yang kumau. Mengapa aku menulis puisi-puisi itu padamu, mengajakmu bertemu, lalu berlalu begitu saja. Kamu tahu Geng Sablon? Tidak banyak yang tahu bahwa akulah kepala geng itu..”
Cerita macam ini? Rey kepala geng itu? Pastilah dia ingin membuatku merana, dan dia berhasil.
Awalnya aku ingin membalas hukuman skors semingguku dengan membuatmu gatal-gatal sepanjang hari dan pingsan karena setengah lusin cicak yang kubawa. Ya, surat cinta itu hanyalah rekaan, benar-benar fiktif. Tapi, setelah melihat sapu tangan yang kau kenakan, kau menjadi malaikatku. Aku jadi teringat adikku yang kusayangi melebihi diriku sendiri.”
Adik? Sapu tangan? Tunggu-tunggu. Tiarakah maksudnya?
Kautahu? Tiara begitu takjub ketika bercerita tentangmu, seperti menceritakan seorang Wonderwoman. Kaubalut ketakutannya dengan pelukanmu. Sungguh, sudah lama dia tak mendapat kasih sayang seorang ibu. Ayahku yang buruklah yang menceraikan wanita sebaik dia. Terima kasih telah menolong Tiara. Maafkan aku, Cha. Aku janji, Geng Sablon tak akan berulah lagi.”
Seketika itu juga aku bersimpuh. Frame demi frame tentang Tiara tersibak dalam pikiranku. Lalu tentang Geng Sablon. Tuhan, begitu manisnya Engkau menolongku. Aku tak peduli jika aku menjadi itik buruk rupa hingga tak ada seorangpun mencintaiku. Namun aku senang membuat orang-orang di sekitarku bahagia. Termasuk gadis kecil pemilik senyum manis itu..
“Ada apa, Cha? Kamu kok nangis-nangis terus senyum-senyum sendiri?” Nenek Upa masuk ke dalam kamar. Kupandang wajah ayunya yang belum hilang dimakan usia. Aku tahu, banyak cerita yang belum kubagi padanya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut