Minggu, 21 Oktober 2012

SALEUM


Hai, pemirsa. Pekan yang penuh dengan pesta pernikahan ini, saya ingin menyuguhkan sebuah lagu. Judulnya Saleum, asli dari Aceh. Lagu ini disusun para ulama Aceh looh (menurut salah satu artikel di google). Sayangnya saya tidak mendapat materi tentang sejarah Saleum lebih banyak. Apakah ini lagu spesial buat pernikahan atau nggak, belum tahu. Ketika saya bertanya kepada ibu, beliau menjawab lirik ini biasanya digunakan buat lagu diba'an. Nggak papa deh, ya. Semoga suatu hari bisa tahu. Paling nggak dari lagu ini bisa tahu juga, nyadar juga, emang Aceh bisa dibilang kota serambi mekah, dari liriknya yang sopan dan ada salamnya ini.

Nah, candu terhadap lagu ini sebenarnya agak-agak lawas sih, saat saya menonton KCB. Lagu halus (bukan gula), agak melayu, tapi tetep elegan ini (di filmnya) dipersembahkan oleh Fadil a.k.a Lucky Perdana saat menghadiri pernikahan Tiara a.k.a Tika Putri, wanita yang sangat-sangat-sangat dicintainya. Mereka sama-sama cinta tapi yang cewek nggak dinikahin juga :'(. Aduuu, jadi kebawa perasaannya nih, hehe. Lagu ini tentu beda sama lagu barat yang cenderung nge-beat. Saya jadi suka lagi pas dapet lagunya di youtube dengan instrumen musik yang lebih meriah. Selain itu, saya mulai tertarik sama lagu berbahasa Aceh dari OST Hafala Surat Delisa, sebuah film keren yang diadaptasi dari novelnya Bang Darwis "Tere Liye".

So, apakah pemirsa akan sama jatuh cintanya pada lagu ini seperti saya? semoga :)


Salam 'alaykom wa rahmatullah

Jaroe duwa blah ateueh jeumala

Jaroe lon siploh di ateueh ulee

Meu'ah lon lake'e bak kawom dum na


Jaroelon siploh di ateueh ubon

Salam 'alaykom lon teugor sapa

 Jaroelon siploh beu'ot sikureueng

syarat ulon kheun tanda mulia

Jaroe sikureueng lonbeu'ot lapan

Geulantoe timphan ngon asoe kaya

 Jaroe lon lapan lon beu'ot tujoh

 Ranup lam bungkoh lonjok keu gata


Terjemahan: 

Salam 'alaikum wa rahmatullah 
Dua tangan menangkup bejana
Sepuluh jari di atas kepala  
Maaf saya untuk semuanya

Sepuluh jari di atas kepala  
Salam ‘alaikum saya menegur sapa 
Sepuluh jari saya angkat sembilan 
Syarat saya sampaikan tanda mulia 
Sembilan jari saya angkat delapan 
Pengganti timphan dan asoe kaya 
Delapan jari saya angkat tujuh  
Bungkusan sirih saya berikan untuk anda




nb : saya juga nggak paham betul apa artinya, tetapi tetep suka lagunya :p

 sumber:

http://www.youtube.com/watch?v=RZmce8exo38

terjemahan lagu pada film "Ketika Cinta Bertasbih 1"

Sabtu, 13 Oktober 2012

Waktu dan Nilai


Waktu itu sejatinya bernilai. Seperti yang didengungkan orang-orang bijak. Jika dirasakan sendiri, ada benarnya juga, pemirsa :). Memang ada hal yang diperhitungkan seperti imbalan jasa atau yang lainnya, tetapi kalkulasi waktu juga bolehlah ya dihitung juga.

Nge-charge hp di warung di stasiun dengan durasi SETENGAH JAM, bayar tiga ribu rupiah.
Satu setengah jam di pesawat, empat ratus ribu rupiah. 
Tujuh belas jam di kereta, seratus lima belas ribu rupiah
Telat ngeklik satu detik di billing warnet, nambah seribu rupiah. 

Yang lainnya? banyak. Isi sendiri, ya. Hehe.

Jumat, 12 Oktober 2012

Hujan dan Puisi


Sebuah pinta masih basah 
di bawah gerimis yang menyapu jalanan rebah
Secangkir cemas masih tergenggam
sekuat tangan dan payung 
di kala hujan

Melaju, aku terus melaju
diselingi lagu-lagu
semoga malaikat turun menemuiku
hari ini
mendengar keluhku, pintaku, harapku, cemasku
meski aku tahu ia bukanlah Jibril yang sempurna

Jalanan ini telah renta
berbeda dengan langkahku yang masih muda
di sini


Hujan dan Puisi –Malang, 2011

Anak-anak dan Harapan

Apa harapanmu di masa depan (satu detik kemudian sampai waktu yang belum ditentukan)?

Anak-anak belajar tanpa takut dengan angka. Anak-anak puas bermain di sawah, menanam pohon, bermain lumpur. Anak-anak telah mencoba mengasah kemampuannya sejak kecil. Dan anak-anak tak perlu takut dengan cita-cita yang berbeda. Seperti anak-anak di Jepang yang sudah mengidentifikasi hal sekecil itu sejak dini, "Aku pengen jadi petani hidroponik!" salah satunya

:)

OPINI

Kali ini ingin berbagi pendapat saja. Pendapat yang berdasar pada pengalaman juga ...

Apa pembaca merasakan hal yang sama seperti saya?
Belajar di waktu SD tuh, meski enam tahun, keselnya nggak kerasa. Happy-happy aja. Boleh jadi tugas semacam menggambar peta hasilnya tak bagus banget atau rumus matematika tak terhapal dengan sempurna. Namun, nggak sampai menderita. Nggak sampai mual. Nggak sampai pengen nyerah. 

Meskipun pemerintah telah menetapkan mata pelajaran yang cukup banyak, nyatanya saya nggak protes. Bangunan SD yang kalah mentereng dengan SD di kotamadya nggak menyurutkan semangat. Buku-buku perpustakaan terbaca meski nggak ada AC nggak ada karpet. Guru-guru di sini mengajar dengan begitu tekunnya, penuh pengabdian. Nggak mengeluh apalagi curhat tentang harga kebutuhan pokok yang bertambah naik.

Saya nggak tahu gimana dengan teman-teman saya. Yang jelas, semangat saya nyosrok ketika udah gede, udah abege. What happened?

Setelah ditelusuri, saya yang protes terhadap metode belajar. Kenapa harus belajar sebanyak ini materinya? T_T. Kalaupun hapal, nggak bakalan semua yang mengendap di otak. Terus, kenapa harus hapal? Padahal besok nggak kepake. Gurunya jangan gini dong. Saya yang jarang berbuat onar di kelas sekali gaduh langsung dikasih petuah keren. Yang jagonya bikin onar jarang diapa-apain karena temannya anaknya pejabat. Oh yeah.

Ketika belajar dianggap bermain, enjoy aja bawaannya :). Itulah prinsip belajar a la anak SD.

Protes itu nggak seluruhnya salah. Mungkin banyak juga yang ngerasa seperti itu. Namun protes itu juga nggak seutuhnya benar. Salah sendiri. Kinerja otak menurun karena jarang belajar, jarang membaca, jarang juga berdoa.
Maka dari itu, lebih baik belajar keras. Karena gimanapun pasti ada hasilnya. Minimal nggak jelek-jelek banget nilai di rapor. Nggak mungkin bisa mempelajari hanya satu dua pelajaran setiap hari. It's a must. We couldn't fight for it. Yang mungkin adalah bersyukur bisa sekolah dan menjalaninya dengan rutinitas yang nggak boleh dijemukan (ditambah ekskul aja biar ga jenuh, dll).

Salah satu hal yang melegakan adalah mempelajari apa yang disukai. Ini yang didapatkan lewat kuliah. Kalau belum kuliah bisa memotivasi diri sendiri. Karena nggak  mungkin pengajar atau dosen merhatiin kita 24 jam. Bikin ilustrasi (baik gambar, cerpen, novel (bagi yang suka)) bisa memudahkan kayaknya. Peta konsep juga.

Terus, kalau bisa, mencatat impian dari awal .



Tanya

Cukup banyak yang bertanya seperti ini, "Lho. Kamu kuliah di sekolah keuangan? Kok sekolahnya di Bandung, bukan yang di Bintaro?"

Pertanyaan itu diliputi ekspresi yang bermacam-macam. Namun kebanyakan rasa penasaran, bukan dugaan saya sedang berdusta :P. Alhamdulillaah.

Maka, jawaban atas pertanyaan tersebut adalah, "Iya, saya nggak kuliah di Bintaro. Soalnya pemerintah membuat kebijakan: untuk mahasiswa yang kuliah satu tahun kampusnya tersebar di beberapa daerah. Bukan terpusat di Bintaro saja..."

Syukurlah mereka akhirnya mengerti dan mengetahui. Jadi, penge-tahu-an tersebut bisa dibagi nantinya. Mungkin kepada keluarga. Mungkin kepada anak-cucu agar lebih awal mengenal sistem tsb nantinya. Saya sendiri aja baru ngeh dengan kenyataan bahwa kampus keuangan itu nggak cuma di Bintaro saja, persis ketika tes kesehatan kemarin-kemarin.






Senin, 01 Oktober 2012

Teman, Sebuah Pilihan



“Ikut, yuk!” ajakan Khizril seperti kembang api yang meledak-ledak, bersinar di depan matanya. Warda sampai menjatuhkan pensil ke tanah hingga berbunyi nyaring. Ini siang yang terik, bukan hujan gerimis romantis dengan angin yang semilir. Tiba-tiba saja, di tengah jadwal kuliah yang padat betul, pemuda yang juga jurusan seni rupa itu rela menemui Warda di selasar kampus –tempat yang sangat tidak disukai Khizril– demi sebuah janji. Janji untuk memperkenalkan Warda bersama komunitas design interior-nya.
“Kapan lagi kamu menjadi arsitek handal jika tidak dimulai dari sekarang!” Khizril mengompori semangat Warda agar kian membara. Ah, Warda memang belum lama mengenalnya. Tak lebih dari sebulan setelah ospek jurusan diadakan, tetapi Khizril telah menjelma menjadi kakak tingkat yang begitu membantu. Informasi apa saja didapatkan. Beasiswa untuk mahasiswa semester satu, tempat kos yang nyaman, hingga tempat toko buku murah.
Ledakan itu sungguh membuat dada Warda bergemuruh. Komunitas itu, komunitas yang bisa membantu mengembangkan bakatnya. Namun, dia tetap menimbang-nimbang. Apa yang akan menjadi respon ayahnya, apa yang akan menjadi keputusan ibunya bila mereka mengetahui ia akan pergi sejauh 100km hanya untuk dengan teman-teman Khizril; yang tak jelas siapa mereka semua; apakah ada perempuan berjilbab seperti dirinya.
“Tidak mengajak yang lain?” tanya Warda antusias. Bagaimanapun, menjadi arsitek handal adalah impiannya. Ia bisa pergi jika bersama satu saja teman perempuan lain.
“Ada! Citra dan Mega akan menemanimu,” sahut Khizril mantap.
Warda berusaha keras menguak memori tentang dua nama itu. Citra dan Mega. Mereka adalah teman yang cukup baik. Selalu menutupi mahkota kepala mereka dengan jilbab, santun, dan pintar. Namun Warda bimbang, Citra dan Mega bertindak aneh akhir-akhir ini. Mereka berdua sering membolos kuliah tanpa alasan yang jelas, sering terkikik kala dosen memberikan kuliah, dan beberapa kali dilihatnya mereka melepas jilbab saat pergi ke kampus.
 “Lihatlah profil komunitas ini, Kak. Visi mereka tak jelas. Masa diskusi tentang wallpaper rumah saja sampai di café yang buka 24 jam?” Warda seketika teringat apa yang ditunjukkan Tiwi, teman satu kos dan satu jurusan tempo hari. Situs tumblr Komunitas Merah, komunitas yang digadang-gadang Khizril sebagai komunitas seni rupa terbaik di kota ini. Tak ada yang menarik baginya karena acara hanya berputar pada perkenalan di café A selama lima jam, café B selama empat jam, dan seterusnya. Tak ada fasilitas makalah, tutor yang diundang, atau yang lainnya. Selain itu, mengapa harus membayar dua ratus ribu hanya untuk satu kali pertemuan?
Warda menerawang langit senja, berharap akan menemukan jawaban atas apa yang dipikirkannya. Tak ada, tentu saja. Ia harus meminta izin ibu terlebih dahulu. Singkat, dikirimnya sebuah pesan. “Bu, bolehkah aku ikut pertemuan komunitas seni rupa pukul sembilan malam?” satu menit, dua menit, lima menit. Tak ada balasan. Ah, pastilah ibu belum turun sawah sembari berjalan ke pematang. Sementara itu, Khizril masih menungguinya dengan tenang.
Jika aku pergi ke sana pukul sembilan malam, aku tak dapat memastikan pukul berapa pulang ke kosan. Pasti sangat larut. Lagipula, hati kecilku bilang ini bukan komunitas yang kucari. Aku pun sudah melihat situs tumblr mereka. Ini hanya perkumpulan anak muda yang tak jelas juntrungnya. Namun, tak ada salahnya untuk berteman. Toh dia masih semester satu. Tak banyak tugas. Gelora di hati Warda berkecamuk.
Saat itu, Warda menangkap bayangan Izzah, teman sekelasnya yang berjalan melewati selasar perpustakaan. Langkahnya tenang dan berwibawa. Sebuah buku diktat besar digenggamnya. Ada perasaan iri dalam diri Warda –iri yang baik- karena perempuan itu telah mengikuti berbagai kejuaran tingkat nasional bahkan internasional. Warda memperhatikan bagaimana Izzah membalut tubuhnya dengan busana muslim yang rapi itu.
“Bagaimana, Warda, kamu ikut?” Khizril mendekat. Aroma rokok yang tajam menusuk hidung, membuatnya sedikit menjauh.
Citra dan Mega datang. Mereka turut menyemangati gadis berjilbab itu agar ikut. Khizril sampai setengah berlutut di hadapan Warda. Tak usah menunggu jawaban ibu, Warda telah mendapat jawabannya.
*
Motor melaju dengan sangat kencang di tengah jalanan yang ramai. Warda nampak khawatir saat dibonceng di belakang Citra. Mega dan Khizril mengendarai motor masing-masing. “Pelan-pelan saja, Cit!”
“Ah, nasihatmu seperti nasihat orang tua! tenang…”
“Kamu yakin bensinnya sudah diisi penuh?”
“Ya. Sebelum menjemput kamu, aku pergi ke pom bensin.”
“Kalau rem motornya, nggak blong, kan?”
Citra tertawa,  “Kamu ini seperti orang mau mati saja. Tak akan, percayalah. Kakakku selalu mengecek motornya setiap hari. Sampai bosan aku melihatnya.”
Warda memejamkan mata, terus berdoa. Entahlah. ini bukan malam minggu. Lazimnya jalan tak seramai di akhir pekan. Namun, ada kekhawatiran yang membayanginya. Khawatir yang bercampur dengan ketakutan. Khawatir motor ini akan bertabrakan dengan kendaraan lain, dan juga takut jika komunitas itu tak seperti harapannya.
Citra terus mengendarai motornya kencang-kencang. Warda mulai membuka mata. Ah, aman. Dua jam perjalanan dan ia sudah hampir sampai. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Komunitas Merah, komunitas terbaik di kota ini.
“Sudah sampai. Yuk!” Citra menggamit tangan Warda secara kasar.
Sebuah café yang dipenuhi dengan hiruk pikuk remaja. Warda meringis melihat pemandangan di depannya. Citra dengan santainya membuka jilbab di hadapannya, lantas menggelayut manja kepada seorang pemuda. Begitu pula dengan Mega. Nyali Warda untuk belajar seni rupa menciut. Ia tak mengekor bergabung dengan perbincangan yang sama sekali tidak ia mengerti, juga gaya hidup yang tak ia terima.
Ah, ada apa ini? Mengapa mereka membuka jilbab? Tak risihkah mereka seperti ini?
Khizril, yang sedari tadi turut sibuk dengan teman-temannya,  menangkap pertanyaan tersirat Warda dengan nada sumbang, “Kalau jilbab dibawa-bawa di komunitasku, mereka takkan diterima. Haha.” Betapa nyaringnya tawa Khizril. Betapa sempoyongannya caranya berjalan. Kini, Warda tahu benar apa yang terjadi. Ini bukan Komunitas Merah, komunitas terbaik. Ini bukan sarana pembelajaran seni rupa. Warda hanya dijadikan sebagai kelinci taruhan saja.
Ooh. Tiba-tiba Warda ingin kabur dari tempat ini. Tak peduli dingin malam yang menyeringai. Tak peduli jika harus naik truk boks besar sekalipun. Tak peduli jika dia tak dianggap sebagai adik tingkat lagi oleh kampus. Ia ingat bapak, ia ingat ibu.
“Hei, mau kemana kamu?” Khizril menahan langkahnya. “Di sini sajalah dulu. Tunggu sampai matahari terbit.” Bau alkohol menguar tajam. Warda mencari celah dari langkah Khizril cepat-cepat.
“Aku mau pulang saja. Sendirian.”
Khizril terbahak. “Tidak, tidak. Kau tak bisa. Tak ada yang akan mau mengantarkanmu.”
“Tak mengapa. Aku bisa naik motor sendiri.” Kini keberanian itu semakin muncul. Kekuatannya juga. Kekuatan untuk mempertahankan apa yang diyakini Warda sebelumnya. “Aku mau pulang.” Tegasnya sekali lagi.
Khizril mengangkat bahu, tak mau tahu. Dari kejauhan Citra dan Mega memanggil-manggil namanya, turut membawa botol minuman keras itu. Yang lain juga seperti itu. Warga bergidik. Tak ingin membuang waktu lagi, diacungkannya jempol saat sebuah mobil bak bermuatan sayur lewat. Ia melompat sekuat tenaga ke dalam mobil bak. Namun ada sesuatu yang menahannya.
“Mau kemana kau?” Tangan kasar Mega menarik ujung roknya. Citra melakukan hal yang sama. Warda mengaduh. Kakinya tercakar. Bagaimana bisa kedua temannya menjadi seberingas ini? Kedua tangan Warda meraih ujung karung berisi wortel, membuatnya tubuhnya lebih mudah masuk ke dalam bak mobil. Hap! Berhasil. Ia berhasil lepas dari amukan kedua gadis itu. Namun mereka terus mengejar sembari mengeluarkan sebuah belati. Belati tajam yang mengarah ke mata kanannya. “Anak bau kencur, kau takkan bisa lepas dari komunitas kami!”
*
“Kak, ayo bangun,” suara khas Tiwi, serak dan basah, memantul-mantul di kamar kos di pagi yang dingin. “Ayo sholat subuh!”
Warda terperanjat. Ia merasa terpisah dengan kejadian yang dialaminya barusan. Matanya berkedip, tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Kak, kenapa, habis mimpi buruk, ya?”
Mendengar pertanyaan itu, Warda langsung bangkit, tetapi kepalanya berdenyut-denyut. Pening.
Rekonstruksi cerita melingkupi memori otak Warda. Barusan ia dikejar-kejar Mega dan Citra. Namun, kejadian sebelumnya menghampirinya, kejadiaan yang benar-benar nyata. Saat kemarin sore, saat Khizril menemuinya di selasar perpustakaan dan mengajaknya ke komunitas tak jelas itu, ketika ia bimbang, lalu berpapasan dengan Izzah, lalu ia menolaknya. Khizril pulang dengan tampang kecewa, begitu pula dengan Citra dan Mega. Lantas ia pulang ke kosan seperti biasa, sholat maghrib dalam keadaan capai luar biasa, makan, sholat isya, lantas tertidur. Dan ternyata barusan hanya mimpi! sungguh, hanya mimpi!”
 “Subhanallah… alhamdulillaah…” Warda merasakan kelegaan yang amat sangat. Diperiksanya kaki kanannya. Tak ada bekas cakaran. Pun dengan roknya yang baik-baik saja. Warda merasa sangat beruntung karena menolak ajakan kemarin sore. Ya, ia ingat perkataan Izzah, teman sekelasnya yang sangat cerdas itu. Pilihlah teman yang kamu anggap baik. Jika ragu, jangan pilih.
“Kamu akan menyesal, War, telah menolak ajakanku!” umpat Khizril kemarin sore, sebelum pergi. Warda tak peduli. Ia tahu teman yang baik. Dan Khiril bukan teman yang baik. Ia sendiri yang melihat Khizril melakukan hal yang sama kepada Izzah minggu sebelumnya.
“Ada berita buruk, Kak,” ucap Tiwi dengan suara tertahan, “Komunitas yang kutunjukkan di tumblr itu ternyata benar-benar membahayakan. Dan koordinatornya dibekuk polisi karena acara yang berkedok transaksi narkoba tadi malam.”
Warda beristighfar dalam hati. Ia tahu siapa yang dimaksud. Khizril lah koordinatornya. Lagi-lagi ia bersyukur tak mengikuti acara hitam itu. Ia lalu bergegas sholat subuh, mengejar cinta untuk bertemu dengan-Nya.*

-diikutsertakan pada lomba cerpen di fanpage Indahnya Islam. Feel free for comments or anything :)

Pengikut