Senin, 01 Oktober 2012

Teman, Sebuah Pilihan



“Ikut, yuk!” ajakan Khizril seperti kembang api yang meledak-ledak, bersinar di depan matanya. Warda sampai menjatuhkan pensil ke tanah hingga berbunyi nyaring. Ini siang yang terik, bukan hujan gerimis romantis dengan angin yang semilir. Tiba-tiba saja, di tengah jadwal kuliah yang padat betul, pemuda yang juga jurusan seni rupa itu rela menemui Warda di selasar kampus –tempat yang sangat tidak disukai Khizril– demi sebuah janji. Janji untuk memperkenalkan Warda bersama komunitas design interior-nya.
“Kapan lagi kamu menjadi arsitek handal jika tidak dimulai dari sekarang!” Khizril mengompori semangat Warda agar kian membara. Ah, Warda memang belum lama mengenalnya. Tak lebih dari sebulan setelah ospek jurusan diadakan, tetapi Khizril telah menjelma menjadi kakak tingkat yang begitu membantu. Informasi apa saja didapatkan. Beasiswa untuk mahasiswa semester satu, tempat kos yang nyaman, hingga tempat toko buku murah.
Ledakan itu sungguh membuat dada Warda bergemuruh. Komunitas itu, komunitas yang bisa membantu mengembangkan bakatnya. Namun, dia tetap menimbang-nimbang. Apa yang akan menjadi respon ayahnya, apa yang akan menjadi keputusan ibunya bila mereka mengetahui ia akan pergi sejauh 100km hanya untuk dengan teman-teman Khizril; yang tak jelas siapa mereka semua; apakah ada perempuan berjilbab seperti dirinya.
“Tidak mengajak yang lain?” tanya Warda antusias. Bagaimanapun, menjadi arsitek handal adalah impiannya. Ia bisa pergi jika bersama satu saja teman perempuan lain.
“Ada! Citra dan Mega akan menemanimu,” sahut Khizril mantap.
Warda berusaha keras menguak memori tentang dua nama itu. Citra dan Mega. Mereka adalah teman yang cukup baik. Selalu menutupi mahkota kepala mereka dengan jilbab, santun, dan pintar. Namun Warda bimbang, Citra dan Mega bertindak aneh akhir-akhir ini. Mereka berdua sering membolos kuliah tanpa alasan yang jelas, sering terkikik kala dosen memberikan kuliah, dan beberapa kali dilihatnya mereka melepas jilbab saat pergi ke kampus.
 “Lihatlah profil komunitas ini, Kak. Visi mereka tak jelas. Masa diskusi tentang wallpaper rumah saja sampai di café yang buka 24 jam?” Warda seketika teringat apa yang ditunjukkan Tiwi, teman satu kos dan satu jurusan tempo hari. Situs tumblr Komunitas Merah, komunitas yang digadang-gadang Khizril sebagai komunitas seni rupa terbaik di kota ini. Tak ada yang menarik baginya karena acara hanya berputar pada perkenalan di café A selama lima jam, café B selama empat jam, dan seterusnya. Tak ada fasilitas makalah, tutor yang diundang, atau yang lainnya. Selain itu, mengapa harus membayar dua ratus ribu hanya untuk satu kali pertemuan?
Warda menerawang langit senja, berharap akan menemukan jawaban atas apa yang dipikirkannya. Tak ada, tentu saja. Ia harus meminta izin ibu terlebih dahulu. Singkat, dikirimnya sebuah pesan. “Bu, bolehkah aku ikut pertemuan komunitas seni rupa pukul sembilan malam?” satu menit, dua menit, lima menit. Tak ada balasan. Ah, pastilah ibu belum turun sawah sembari berjalan ke pematang. Sementara itu, Khizril masih menungguinya dengan tenang.
Jika aku pergi ke sana pukul sembilan malam, aku tak dapat memastikan pukul berapa pulang ke kosan. Pasti sangat larut. Lagipula, hati kecilku bilang ini bukan komunitas yang kucari. Aku pun sudah melihat situs tumblr mereka. Ini hanya perkumpulan anak muda yang tak jelas juntrungnya. Namun, tak ada salahnya untuk berteman. Toh dia masih semester satu. Tak banyak tugas. Gelora di hati Warda berkecamuk.
Saat itu, Warda menangkap bayangan Izzah, teman sekelasnya yang berjalan melewati selasar perpustakaan. Langkahnya tenang dan berwibawa. Sebuah buku diktat besar digenggamnya. Ada perasaan iri dalam diri Warda –iri yang baik- karena perempuan itu telah mengikuti berbagai kejuaran tingkat nasional bahkan internasional. Warda memperhatikan bagaimana Izzah membalut tubuhnya dengan busana muslim yang rapi itu.
“Bagaimana, Warda, kamu ikut?” Khizril mendekat. Aroma rokok yang tajam menusuk hidung, membuatnya sedikit menjauh.
Citra dan Mega datang. Mereka turut menyemangati gadis berjilbab itu agar ikut. Khizril sampai setengah berlutut di hadapan Warda. Tak usah menunggu jawaban ibu, Warda telah mendapat jawabannya.
*
Motor melaju dengan sangat kencang di tengah jalanan yang ramai. Warda nampak khawatir saat dibonceng di belakang Citra. Mega dan Khizril mengendarai motor masing-masing. “Pelan-pelan saja, Cit!”
“Ah, nasihatmu seperti nasihat orang tua! tenang…”
“Kamu yakin bensinnya sudah diisi penuh?”
“Ya. Sebelum menjemput kamu, aku pergi ke pom bensin.”
“Kalau rem motornya, nggak blong, kan?”
Citra tertawa,  “Kamu ini seperti orang mau mati saja. Tak akan, percayalah. Kakakku selalu mengecek motornya setiap hari. Sampai bosan aku melihatnya.”
Warda memejamkan mata, terus berdoa. Entahlah. ini bukan malam minggu. Lazimnya jalan tak seramai di akhir pekan. Namun, ada kekhawatiran yang membayanginya. Khawatir yang bercampur dengan ketakutan. Khawatir motor ini akan bertabrakan dengan kendaraan lain, dan juga takut jika komunitas itu tak seperti harapannya.
Citra terus mengendarai motornya kencang-kencang. Warda mulai membuka mata. Ah, aman. Dua jam perjalanan dan ia sudah hampir sampai. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Komunitas Merah, komunitas terbaik di kota ini.
“Sudah sampai. Yuk!” Citra menggamit tangan Warda secara kasar.
Sebuah café yang dipenuhi dengan hiruk pikuk remaja. Warda meringis melihat pemandangan di depannya. Citra dengan santainya membuka jilbab di hadapannya, lantas menggelayut manja kepada seorang pemuda. Begitu pula dengan Mega. Nyali Warda untuk belajar seni rupa menciut. Ia tak mengekor bergabung dengan perbincangan yang sama sekali tidak ia mengerti, juga gaya hidup yang tak ia terima.
Ah, ada apa ini? Mengapa mereka membuka jilbab? Tak risihkah mereka seperti ini?
Khizril, yang sedari tadi turut sibuk dengan teman-temannya,  menangkap pertanyaan tersirat Warda dengan nada sumbang, “Kalau jilbab dibawa-bawa di komunitasku, mereka takkan diterima. Haha.” Betapa nyaringnya tawa Khizril. Betapa sempoyongannya caranya berjalan. Kini, Warda tahu benar apa yang terjadi. Ini bukan Komunitas Merah, komunitas terbaik. Ini bukan sarana pembelajaran seni rupa. Warda hanya dijadikan sebagai kelinci taruhan saja.
Ooh. Tiba-tiba Warda ingin kabur dari tempat ini. Tak peduli dingin malam yang menyeringai. Tak peduli jika harus naik truk boks besar sekalipun. Tak peduli jika dia tak dianggap sebagai adik tingkat lagi oleh kampus. Ia ingat bapak, ia ingat ibu.
“Hei, mau kemana kamu?” Khizril menahan langkahnya. “Di sini sajalah dulu. Tunggu sampai matahari terbit.” Bau alkohol menguar tajam. Warda mencari celah dari langkah Khizril cepat-cepat.
“Aku mau pulang saja. Sendirian.”
Khizril terbahak. “Tidak, tidak. Kau tak bisa. Tak ada yang akan mau mengantarkanmu.”
“Tak mengapa. Aku bisa naik motor sendiri.” Kini keberanian itu semakin muncul. Kekuatannya juga. Kekuatan untuk mempertahankan apa yang diyakini Warda sebelumnya. “Aku mau pulang.” Tegasnya sekali lagi.
Khizril mengangkat bahu, tak mau tahu. Dari kejauhan Citra dan Mega memanggil-manggil namanya, turut membawa botol minuman keras itu. Yang lain juga seperti itu. Warga bergidik. Tak ingin membuang waktu lagi, diacungkannya jempol saat sebuah mobil bak bermuatan sayur lewat. Ia melompat sekuat tenaga ke dalam mobil bak. Namun ada sesuatu yang menahannya.
“Mau kemana kau?” Tangan kasar Mega menarik ujung roknya. Citra melakukan hal yang sama. Warda mengaduh. Kakinya tercakar. Bagaimana bisa kedua temannya menjadi seberingas ini? Kedua tangan Warda meraih ujung karung berisi wortel, membuatnya tubuhnya lebih mudah masuk ke dalam bak mobil. Hap! Berhasil. Ia berhasil lepas dari amukan kedua gadis itu. Namun mereka terus mengejar sembari mengeluarkan sebuah belati. Belati tajam yang mengarah ke mata kanannya. “Anak bau kencur, kau takkan bisa lepas dari komunitas kami!”
*
“Kak, ayo bangun,” suara khas Tiwi, serak dan basah, memantul-mantul di kamar kos di pagi yang dingin. “Ayo sholat subuh!”
Warda terperanjat. Ia merasa terpisah dengan kejadian yang dialaminya barusan. Matanya berkedip, tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
“Kak, kenapa, habis mimpi buruk, ya?”
Mendengar pertanyaan itu, Warda langsung bangkit, tetapi kepalanya berdenyut-denyut. Pening.
Rekonstruksi cerita melingkupi memori otak Warda. Barusan ia dikejar-kejar Mega dan Citra. Namun, kejadian sebelumnya menghampirinya, kejadiaan yang benar-benar nyata. Saat kemarin sore, saat Khizril menemuinya di selasar perpustakaan dan mengajaknya ke komunitas tak jelas itu, ketika ia bimbang, lalu berpapasan dengan Izzah, lalu ia menolaknya. Khizril pulang dengan tampang kecewa, begitu pula dengan Citra dan Mega. Lantas ia pulang ke kosan seperti biasa, sholat maghrib dalam keadaan capai luar biasa, makan, sholat isya, lantas tertidur. Dan ternyata barusan hanya mimpi! sungguh, hanya mimpi!”
 “Subhanallah… alhamdulillaah…” Warda merasakan kelegaan yang amat sangat. Diperiksanya kaki kanannya. Tak ada bekas cakaran. Pun dengan roknya yang baik-baik saja. Warda merasa sangat beruntung karena menolak ajakan kemarin sore. Ya, ia ingat perkataan Izzah, teman sekelasnya yang sangat cerdas itu. Pilihlah teman yang kamu anggap baik. Jika ragu, jangan pilih.
“Kamu akan menyesal, War, telah menolak ajakanku!” umpat Khizril kemarin sore, sebelum pergi. Warda tak peduli. Ia tahu teman yang baik. Dan Khiril bukan teman yang baik. Ia sendiri yang melihat Khizril melakukan hal yang sama kepada Izzah minggu sebelumnya.
“Ada berita buruk, Kak,” ucap Tiwi dengan suara tertahan, “Komunitas yang kutunjukkan di tumblr itu ternyata benar-benar membahayakan. Dan koordinatornya dibekuk polisi karena acara yang berkedok transaksi narkoba tadi malam.”
Warda beristighfar dalam hati. Ia tahu siapa yang dimaksud. Khizril lah koordinatornya. Lagi-lagi ia bersyukur tak mengikuti acara hitam itu. Ia lalu bergegas sholat subuh, mengejar cinta untuk bertemu dengan-Nya.*

-diikutsertakan pada lomba cerpen di fanpage Indahnya Islam. Feel free for comments or anything :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut