Sabtu, 30 Juni 2012

SERASAH SENJA



Serasah Senja

Kedua roda yang berputar serasi pada sepedaku terus kupacu untuk bergerak lebih cepat. Cepat dan cepat. Tak peduli dengan bulir-bulir keringat yang jatuh deras ke pipi, juga yang masih bersembunyi di balik seragam yang kukenakan. Aku melawan matahari yang terlalu pijar untukku. Tenggorokan pun sudah kering rasanya. Hasrat sudah berangan menghadap sepiring nasi dan sambal. Energi rasanya nyaris habis untuk memikirkan pelajaran. Sabar, tahanlah apa yang ada di benakmu sekarang. Sebesar apapun itu. Perjalanan dua kilometer takkan terasa jika dibarengi dengan hati yang riang.
Dengan tetap awas, kedua bola mataku kugerakkan ke kanan dan kiri. Melihat kandang-kandang sapi, lapangan kerontang, juga anak-anak kecil yang sedang bermain gundu itu. Perjalanan menuju pesisir pantai masih cukup panjang. Hingga akhirnya pandanganku terantuk pada sosok yang lewat dihadapanku barusan. Karmila! Mataku menatap jelas akan kehadiran anak lurah tempatku tinggal. Motor barunya melaju mantap ke arah selatan, berlawanan arah dengan sepeda onthelku. Hmmm.. kusapa dia sambil tersenyum, sambil berdecak kagum atas barang barunya itu. Dia membalasku dengan senyum serupa, namun terkesan lebih elegan. Meski hanya tamat sekolah dasar, Karmila cukup sukses dengan usaha banding presto ayahnya. Juga, sudah berganti status menjadi ibu beranak satu. Ya, usia boleh sama denganku, tujuh belas tahun. Namun dia sudah melebihi diriku, dari segi fisik, juga materi. Penduduk di kampungku, Tegal Ijo, kecamatan Lekok sepertinya mulai membaik kesejahteraannya. Dan aku setengah yakin setengah ragu jika penghasilan yang mereka peroleh bukan berasal dari penjarahan mangrove. Jangan tanya bagaimana dengan bapakku yang berprofesi sama sebagai nelayan. Aku akan lebih senang mengayuh pedal hingga kakiku nyaris kram daripada harus menceritakannya sekarang.
“Baru pulang sekolah, Pak Darwis?” sapa orang yang sedang membawa kail ikan dengan sekantung penuh bandeng di keranjangnya, tepat setelah aku berbelok arah menuju pemukiman pesisir, dua kilometer jaraknya. Aku tidak tahu nama orang itu. Yang jelas, ia naik sepeda onthel juga.
“Iya, Pak. Monggo…”aku tak merasa keberatan lagi saat orang-orang memanggilku dengan nama bapakku, bukan namaku. Padahal aku ini perempuan, sama dengan jenisnya Siti Hawa, sama dengan pemain sinetron Asmirandah. Punya nama, Laras. Tapi, sudahlah. Ini sudah menjadi ‘kutukan’ atas kepopuleran bapakku di kalangan pelaut seperti bapak yang menyapaku barusan. Jangan tanya dulu apa yang menjadi kepopuleran bapakku. Kepopuleran itu menurutku lebih membuat hidupku cemas dihantui kontra masyarakat.
Pemandangan yang sudah tak asing lagi bagiku telah nampak di pelupuk mata. Pemandangan yang menandakan kayuhan sepeda tuaku terhenti. Deretan bakau-bakau yang ditata sedemikian rupa di kejauhan telah menyambutku menuju rumah. Ah, aku, ibu, bapak, dan bakau. Mungkin bakaulah yang memang menjadi anak kedua bapak selain aku.
Mungkin inilah hari terparah aku bersungut-sungut atas keadaan. Menjadi anak pesisir yang terdampar di kota dengan visi menuntut ilmu, namun setiap hari harus mengurusi tanaman berakar napas itu. Menjadi gadis desa yang terkesan lugu, padahal naluriku menginginkan yang lain, seperti gadis-gadis kota pada umumnya. Ah, bapak… andaikan saja mau menuruti penawaran pekerjaan paklik di kota, tentu aku takkan terkungkung oleh pergaulan yang seperti ini.. Belum lepas tautan kedua alisku, nampak dua orang yang tergesa-gesa membawa kayu, lewat dari arah belakang rumah. Aku diam, tanpa balasan tanpa ekspresi. Aku tak akan menasihati mereka seperti bapak.
Nah, akhirnya. Sepeda sudah tersimpan aman. Kuucapkan salam dengan sangat lantang. Rupanya kedatanganku disambut oleh tamu yang tak asing lagi. Ibu lurah. Ibunya Karmila. Bu Bejo. Bapak yang tentu saja dalam hal ini berurusan dengan Bu Bejo mempersilahkanku melepas letih. Tidak sopan ikut nimbrung dengan tamu.
“Baru pulang, dhek?” sapa Ibu, setelah aku mencium kedua tangannya yang halus.
“Iya..” jawabku sekenanya.
“Lapar?” suara yang seperti biasa. Halus dan penuh kasih sayang. Tangannya mulai cekatan membersihkan sisik bandeng di luar rumah.
Aku mengangguk. Tentu, Ibu!
“Situ. Ada bandeng bakar dan kiriman jus alpukat.” Jawab ibu sembari menengok dapur.
“Ibu memasak sendiri?”
“Tidak. Baru saja diberi Bu Bejo. Ini bandengnya juga.”
“O..” Bu Bejo memang baik. Dua kali dalam sepekan selalu sowan ke rumah. Bisa bawa makanan, bisa juga sirup yang dibelinya dari kota. Kenapa pula bapak terkesan enggan menanggapi Bu Bejo? Sudah. Jangan memikirkan itu dulu. Lebih baik makan.
“Jadi Pak Darwis, dengan modal yang seiprit itu, cuma mengorbankan tanaman yang tidak keurus pemerintah itu, kita bisa untung besar lho, Pak..!” suara Bu Bejo memantul-mantul di ruang tamu, mengundang kedua telingaku untuk tetap mendengarkan.
“Maksud Bu Bejo, wanamina, begitu? empangnya bakau dibuat tambak?” jawab bapak dengan nada halus.
“Halah. Tidak usah wanamina-wanaminaan. Kesuen, terlalu lama,” suara Bu Bejo juga tak kalah halus, namun tajam penuh provokasi. “Sudah banyak nelayan yang tidak mau mengurusi bakau.. Sudah banyak, tho, tanjang yang di dekat tambak sebelah sana? Buat apa memagari pantai lagi, Pak?”
“Bisa Rob lho, Bu.. Bukankah bakau itu bagus untuk kepiting-kepiting yang ada di bawahnya, buat anak cucu kita nanti, bisa buat obat pendarahan, bisa… sebagainya.. saya lupa. Penyuluh si mahasiswa itu bilang manfaatnya banyak sekali bagi kita..”
“Iya.. tentu saja bakau itu bisa menahan gelombang. Tapi, bukankah di daerah kita jarang sekali ada rob? yang dibilang penyuluh itu yang baik-baiknya saja. Merawatnya susah. Harus disiram air laut, harus…”kali ini suara Bu Bejo lebih lantang, namun gaya kemayunya belum juga hilang.
Lha. Itu, Bu Bejo sudah tahu. Kenapa harus bersikukuh menebang buat kayu bakar? Sekarang kita sudah pakai elpiji, lebih hemat. Merawat itu demi masa depan, lho, Bu..
“Halah-halah, dibayar berapa sampeyan sampai mau jadi pengkampanye tanam mangrove, hah? Lihat saya. Punya tambak berhektar-hektar. Untungnya besar. Anak saya juga terjamin makan tidurnya. Itu saja motto hidup saya.”
Kuletakkan piring bekas makan di meja makan, sambil terus mendengarkan percakapan. Aku tahu, bapak pasti sedang berpikir keras sekarang. Paling tidak ekspresinya termenung menunduk pada lantai, menahan napas, kemudian mengatur kata agar tidak terlampau emosi.
“Pak Darwis bisa menyekolahkan anak-anak sampeyan hingga kuliah!!”
Sepertinya aku mengerti arah pembicaraan Bu Bejo. Ya, tentang pembabatan mangrove itu. Kabarnya keponakannya yang pengusaha itu minta pembebasan lahan. Katanya lagi akan tetap memperhatikan lingkungan. Akan menanam seribu mangrove Sementara Bu Bejo ngotot meminta keuntungan. Tapi aku tidak yakin. Menyambangi esturia saja mereka belum. Aku tak pernah bertemu dengan mereka saat menjaga bibit dari serangan ternak.
“Sudahlah Pak Darwis. Kita ini sama-sama miskin. Walaupun bapak seorang guru, yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa, tapi tetap saja tho, pak, kalau hidupnya seperti ini, tetap membosankan? Sekali-kali lah, Bu Darwis dibelikan cincin emas atau daster baru.. jangan hanya disuruh bersihkan sisiknya ikan saja kerjaannya..”
Kulirik ibu yang terang-terangan mendengar perkataan itu dari balik bilik. Beliau hanya mematung dengan kepala tunduk.
“Ini mumpung lho, Pak.. para warga itu sepakat mau mencabuti bibit-bibit mangrove yang baru saja ditanam orang-orang dari luar kota itu. Kan percuma, wong nanamnya saja salah. Di aliran sungai yang tak ada pasang surutnya. Ayolah, Pak.. jadinya kita bisa leluasa buat tambak di samping tanaman mangrove itu..”
Hening. Kondisi genting, persis detak jarum jam tengah malam. Kondisi di luar sana sepi, persis juga di sini. Jika boleh memilih, undangan, rujukan, paksaan, rayuan,, atau apapun namanya yang diluncurkan oleh tetangga-tetanggaku itu pasti akan kuterima. Aku sudah tahu jika akhir-akhir ini bapak sedang krisis income, kekurangan pendapatan. Tahlilan khaul untuk Mbah Kakungku membutuhkan biaya yang besar. Melaut sedang tak banyak ikan. Sayangnya aku bukan bapak.
“Maaf Bu Bejo, saya tidak bisa.. meskipun bapak-ibu setiap hari datang kesini, saya tetap tidak ingin ikut. Kita ini dari kalangan nelayan. Jangan mau diakali orang-orang yang mau menghancurkan kita.”
“Menghancurkan bagaimana pak? Jelas-jelas keponakan saya yang ada di kota Pasuruan sana bilang, kayu-kayu mangrove itu kalau dijual untungnya besar sekali! Anda mau munafik kalau lahan tambak itu harus diperlebar?”
“Sekali lagi maaf , Bu… Kami…”
“Terimakasih waktunya. Saya pamit pulang!”
Terdengar pintu rumah terbanting dengan keras. Kulihat bapak menerawang ke langit-langit rumah yang masih tak diberi asbes. Pasti sulit menghadapi istri pejabat desa yang satu itu. Diam-diam aku merasa kasihan. Aku tak patut menganggap hal ini sepele.
“Mas, kenapa tidak kalem sedikit dengan tetangga kita? Mereka sedang buta hatinya. Siapa sekarang yang tidak ingin uag? Ibu saja ingin..” ibu mencoba berdiskusi. Mungkin terbujuk rayuan Bu Bejo.
“Laras, sana. Lakukan kegiatan rutinan kamu!” Bapak tidak bergeming dengan perkataan Ibu. Malah pemilik suara berwibawa itu memintaku ke tempat menyebalkan yang selalu dianggap penting. Agenda tiga bulanan. Baiklah. Ingin ku katakan bahwa aku keberatan. Capai. Dan berpuluh alasan lainnya. Tapi aku tak tega. Aku, setelah berpanas-panas ria harus segera mengangkut diri menuju semak belukar penuh nyamuk itu, dengan sepeda onthel kembali.
***
Bukannya aku tidak menyukai tempat ini. Aku sungguh suka. Tempat ini mengingatkanku pada berjuta kenangan saat seseorang menyebutku Esturia, muara. Sungguh, sebenarnya aku tak keberatan jika bapak menyuruhku mengamati perkembangan bakau dengan serasah-serasahnya yang jatuh anggun menjejak bumi. Serasah, daun-daun tua yang kelebihan garam akan jatuh pada saatnya, nyaris sama dengan yang dulu dia bilang, seseorang akan menemukan kebenaran pada saatnya. Aku selalu menunggu teman masa kecilku, yang kuanggap sahabat terbaikku, Mariska. Dia ikut orang tuanya ke Surabaya.
Hanya saja penantianku kuanggap percuma, karena teman masa kecilku itu tak pernah nampak. Satu bulan, dua tiga bulan, hingga tengah tahun kemarin dia tak memberiku kabar apapun. Dia bilang dia akan bersaing denganku, menunjukkan prestasi akademik kami. Mariska, bagaimana dia bisa menghilang bak ditelan bumi begini?
Tak ada lagi kegiatan mengamati propagul saat air laut surut, tak ada lagi yang bersama membantu bapakku, Darwis selama bertanam mangrove setahun yang lalu, juga menyiapkan ijur, bambu penyangga bibit bakau.
Tak lagi aku menghirup bau lumpur yang khas ini dengan hati senang karena ditemani sahabat yang juga mencintai pendidikan.. Aku sepertinya tak kuat untuk memendam kenangan yang begitu menggebunya.
Kini semuanya berubah. Sangat drastis.
Serasah senja itu nampak seperti aku, kini. Hanya saja serasah itu berguna, aku tidak. Tak sepantasnya aku menolak amal bakti bapak, yang belum dianggap pemerintah, yang untungnya didukung mahasiswa yang mulai berkunjung. Kuingat lagi, di kala wajahku mulai ditekuk, di saat hatiku sedang patah karena tak bisa berkumpul bersama teman-teman yang rumahnya di kota, bapak hanya berkata seperti ini, “Seseorang yang mengurusi hidup orang satu itu bagaikan mengurusi hidup orang seluruhnya.”
Betapa satu tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi bapak.. dan tak seharusnya penantian akan balasan sms, telepon, atau surat dari Mariska yang tak membuahkan hasil apapun membuatku kecil hati. Walaupun dari Bu Bejo aku tahu, Mariska berkembang menjadi remaja yang modis. Cantik dan pintar.
Bapakku adalah pejuang bakau. Dan aku harus senang dengan itu.
Serasah jatuh, bukan jatuh terhina, namun berkorban karena keinginannya untuk berguna.
Serasah senja itu.. Bapak, kukira. Ya, bapak !
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut