Jumat, 21 Oktober 2016

KIPAS ANGIN

Panas sepanas-panasnya. Jalanan berdebu. Asap mengepul di udara. Turun dari angkot, kedua kaki Marr ditarik sekuat tenaga. Langkahnya panjang-panjang. Dia melewati jalan beraspal dengan banyak sisi berlubang. Rumah-rumah berdekatan. Jemuran bergelantungan. Bocah-bocah kecil berlarian dengan ingus meleleh tanpa sapu tangan.
Di hadapan bangunan berdinding batu-bata, Marr langsung melepas sepatu dan kaus kaki, melemparnya sembarangan. Tasnya dia tumpuk di sebuah kursi yang sudah penuh oleh cucian yang baru kering. Dia merebahkan diri pada kasur busa tipis, setipis badan remaja tanggungnya. Kasur busa itu melengkung di tengah, menyisakan pegal tiap habis tidur semalam.

Marr menyalakan kipas angin di samping kasur, memencet tombol nomor tiga. Baling-baling benda itu perlahan berputar cepat, menimbulkan sedikit gemerisik, mengeluarkan angin segar. Lega menjalari dada Marr.
Marr bersiul-siul. Oh, ada langkah kaki yang semakin dekat. Ibunya.
“Datang-datang nggak uluk salam. Urukane sopo kui?”
Marr mencium punggung tangan. Dia ambil segelas es teh manis segar yang sudah ibu Marr taruh di atas meja belajarnya. Celemek lusuh masih melekat pada tubuh wanita itu. Ada noda minyak di sisi atas, ada tumpahan kecap di sisi bawah.
“Angkotnya Pak Po.” Dia menyebut nama tetangga yang tinggal sepuluh langkah dari rumah. “Lagi malas naik kereta. Tadi Pak Po nyuruh aku nggak bayar lagi, Bu.”
“Ck. Laki-laki itu.”
Wajah Ibu Marr juga berpeluh. Rambutnya yang sudah beruban terjurai melewati kuping dan dagu. “Nanti malam antarkan gorengan buat dia, ya. Nggak enak merepoti terus.”
“Sekalian aku mau ke rumah Kamto, Bu. Mau ngerjakan tugas kelompok.”
Kipas angin terus berputar. Kali ini ibu Marr turut mendekati benda berbaling-baling plastik itu. Ikut menikmati semilir angin yang menerpa wajah dan punggung yang basah.
“Pakai sepedamu. Sudah Ibu perbaiki ke bengkel tadi pagi. Ban dalamnya harus diganti. Sekarang makan dulu, lah. Nasi di belakang masih hangat. Ibu baru goreng ayam sama tempe tahu.”
“Nanti saja. Aku ngantuk, Bu.”
“Kalau begitu, lepas dulu seragammu.”
Marr menuruti dengan malas. Dia berkaos oblong dan bercelana pendek sekarang.
Kipas angin masih menyala. Deritnya masih ada. Debu-debu yang menempel di permukaan plastiknya bertambah tebal saja. Ibu Marr tersenyum, mengacak-acak rambut anaknya yang makin besar saja tiap hari.
Sementara di luar, cuaca masih panas. Langit bumi belum menurunkan hujan. Dan Marr sudah terjatuh di alam mimpi.

*

Pondok Aren, 21 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut