Sabtu, 09 Februari 2013

TENTANG NURIZ DAN NINDYA


Tentang Nuriz dan Nindya

 Jam dinding ini, mengapa terlalu cepat berjalan? Jarum telah menunjukkan pukul sebelas malam. Padahal, lima soal kalkulus belum berhasil kukerjakan. Aduh, aku harus mengetok pintu siapa? Penghuni kamar sebelah sedang keluar. Pintu depan takut kubuka, soalnya dia ketua asrama yang tegas dan berwibawa. Aduuh, ke siapa lagi?

          Kalau sudah begini, aku menyesal meninggalkan acara asrama di hari pertama untuk berkenalan satu sama lain. Tak usah kabur karena organisasi kampus. Kupandangi foto yang tersimpan rapi di laci berpegangan hati itu, orang tuaku. Sebentar, Ibu. Anakmu sedang bergulat dengan soal-soal kuliahnya. Aku juga takkan begitu mudahnya menyerah, Ayah.

            Pandanganku mengarah kepada sosok yang sedang tertidur pulas di sana. Oh, iya. Bukankah ada Mbak Nindya? Menurut ketua asrama, dia cerdas luar biasa. Lagipula, Mbak Nindya minta dibangunkan pukul sebelas. Mau belajar katanya.


Tapi, aku segan untuk berbicara banyak dengan perempuan yang baru dua hari kukenal ini. Entahlah, kombinasi antara gengsi dan… malu. Gengsi karena dari dulu aku tak pernah memulai pembicaraan. Malu karena sepertinya dia lebih rajin dariku. Hari pertama kuliah saja belajarnya sampai tengah malam.

Ya sudah, gengsi dan malu tidak berlaku lagi sekarang. Lebih baik bertanya daripada ditertawakan dosen sendirian di kelas hanya karena tak bisa mengerjakan lima soal.

            “Mbak, mbaak..” kupanggil dia dengan suara sehalus mungkin.

            “Mmm..” dia menggeliat keluar dari selimutnya.

            “Katanya mau belajar? Sudah pukul sebelas.”

       Matanya mengerjap-kerjap sesaat, mengumpulkan tenaga. “Oh, iya. Terima kasih, Nuriz.” Lantas ia berjibaku dengan buku-buku tebal miliknya, tentang coding.

“Mbak,” ujarku parau.

“Iya?” Pandangannya teralih sebentar, dari layar monitor laptop ke arahku.

“Bisa membantuku, tidak? Kalkulus…”

Jawabannya membuatku sontak terpana, “Boleh sekali. Mana, mana soalnya? Waah, itu kuliah kesukaanku. Aku dapat A semester kemarin.”

Aku menelan ludah. “Dapat A? Mbak anak informatika juga?”

“Lho, jadi kamu belum tahu? Oh, aku baru ingat, kemarin kamu tidak ikut acara kampus. Hmm, baiklah, kuperkenalkan lagi. Namaku Nindya. Nindya saja. Jangan panggil, Mbak. Meski sudah semester lima, aku masih seumuran kamu, kok. Asalku dari Jombang. Bla..bla…”

Sekarang tenggorokanku tercekat. Mengagumkan. Muda, pintar, ramah luar biasa. Aku jadi tak gengsi apalagi malu lagi. Akhirnya sampai dini hari diajarinya aku belajar. ”Kamu sebenarnya cerdas. Cuma perlu banyak latihan, kok. Insyaallah bisa dalam waktu yang tidak lama.” Acara begadang ini ditutup dengan sholat tahajjudnya Nindya dan dengkuran halus mahasiswa semester satu sepertiku.

Dan, sejak itulah aku bersahabat dengannya. Aku belajar banyak hal, khususnya tentang menghargai kebiasaan yang berbeda. Kami tak pernah gontok-gontokan karena lampu kamar yang dihidupkan saat tidur. Jika hari ini lampu kamar mati, besok harus hidup. Kami juga tak pernah debat kusir karena aku selalu qunut di waktu subuh dan Nindya tidak. Karena perbedaan itu indah. Karena banyak hal lain yang bisa kami perdebatkan. Kalkulus, matematika diskrit, dan sebagainya. Banyak hal yang bisa dibagi. Aku mengajarinya bahasa inggris, Nindya mengajariku norma-norma agama.

Kali ini, tubuhku ringkih tak bertenaga. Demam masih menyerang. Sering sekali merasa gatal tak terkira. Aku terkena cacar. Terpaksa aku harus absen dari kuliah kalkulus dan kuliah-kuliah lainnya yang kini kutunggu-tunggu.

“Kutitipkan surat keterangan sakit kamu ke Ratih, ya?” lagi-lagi aku merepotkan Nindya.

“Terima kasih. Aku bersyukur sekali punya sahabat seperti kamu, Nin.” dia menjawab ucapanku dengan senyum lebar, seperti biasa. Aku sediri heran, dia tak pernah mengeluh untuk membantuku. Selain itu, kapan orang satu ini sedih atau punya masalah? Tak pernah ditampakkannya wajah susah, cemberut, galau, merana, dan wajah penuh iba lainnya.

Aku baru mendapatkan jawaban itu malam hari, ketika aku terbangun dengan rasa gatal ini. Nindya menangis! Dari balik selimut –dengan kepala yang tersingkap—, aku bisa melihatnya memandangi foto kedua orang tuanya. Ternyata dia sama sepertiku, juga seperti mahasiswa lainnya. Rindu kepada orang tua itu seperti rindu angin pada hujan. Sayang tubuhku tak kuat menahan demam. Aku memutar otak. Setidaknya satu hal bisa membuatnya tersenyum.

Pagi menjelang. Aku hanya mesam-mesem ketika pesanan brownies kukus datang. “Loh, Pak. Saya tidak memesan brownies kukus. Kenapa diantarkan kepada saya?”

Pengantar itu menjawab, “Yang memesan memang bukan Mbak, melainkan Nuriz Zakiyah.”

Nindya memandang ke arahku. “Buat Nindya saja. Soalnya, tiga hari berturut-turut kurepotkan dengan titip makanan ini itu, dengan mengantarkan ke dokter.” Sahutku.

“Iiih, terima kasih, yaaa!!” Dia lalu mengucapkan terima kasih berulang-ulang sembari memakannya dengan lahap. “Sini, kamu juga harus makan. Aku takkan bisa menghabiskannya sendirian.”

Meski aku tak dapat menghadirkan orang tuanya ke sini, setidaknya dia tahu, ada yang menemaninya di sini, sebagai sahabat.

Alhamdulillaah, seminggu penuh beristirahat, keadaanku berangsur membaik. Aku sudah kuliah lagi. Sibuk. Masih dengan kalkulus. Masih dengan matematik diskrit. Apalagi Nindya. Di samping tugas kuliah Teknik Informatika yang memeras otak itu, dia sempat membuka kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Longman setiap hari.  

“Ada esai berhadiah dua minggu ikut kursus di Jerman.” Jelasnya saat aku bertanya. Impiannya pergi ke Jerman tak bisa ditutup-tutupi. Styrofoam berhias peta Jerman. Saat mau tidur berbicara tentang Jerman.

“Wah, keren. Semoga lolos, Nin. Jangan lupa, kalau ketemu Pak Habibie, titipkan salamku kepada beliau, ya!” ujarku iseng.

Nindya mengangguk-angguk mendengar permintaanku.

*

Akhirnya, harapan mendapatkan muaranya. Esai Nindya mendapat perhatian dewan juri. Dia dinyatakan lolos ke Jerman! Dia akan diterima oleh pihak Friedrich-Alexander Universität dengan tangan terbuka. Di International Juanda Airport, Sidoarjo, ini, aku melepasnya. Adalah kehilangan yang sangat ketika sahabat yang biasa menemani tak ‘kan hadir dalam hari-hariku nanti.

“Hati-hati ya, di sana. Paspor jangan sampai ketinggalan. Tetap sholat tepat waktu.” Aku berpesan sambil menahan haru. Tidak, air mataku tidak boleh menetes. Harusnya aku bangga dan mendukung perjalanannya kali ini.

“Oke, Bos Nuriz. Jangan lupa sarapan setiap hari. Titip mading asrama kita.” Jawabnya dengan nada yang tersendat. Kurasa, dia juga sama sedihnya denganku.

Terbanglah, sahabatku. Gapailah mimpimu. Aku akan tetap belajar darimu untuk menjadi seorang sahabat yang baik. Sahabat yang saling membantu, yang menghapus duka, yang menemani tawa.

Sebuah email kudapati minggu ini. Dari Nindya. Aku turut gembira dia gembira di sana. Tengoklah bagian surat ini,

“Nuriz, aku senang sekali bisa ke Jerman. Rasanya masih seperti mimpi. Kemarin pun bertemu Pak Habibie yang sedang sholat dzuhur di the Verband Islamischer Kulturzentren mosque di Nürnberg, Jerman bagian selatan. Salammu sudah kusampaikan! Kata beliau, kamu harus tetap rajin belajar. Kamu tahu, di sini aku bisa memesan makanan hanya dengan memencet touschscreen. Luar biasa. Sampaikan salamku kepada teman-teman asrama. Sebisa mungkin kudapatkan foto-foto yang bagus untuk mading kita.”

Betapa beruntungnya Nindya. Dia selalu menolong sesama. Akhirnya dia ditolong juga oleh Allah untuk mendapatkan impiannya. Semoga aku dapat mengikuti jejaknya.

*

(edited. Diikutkan pada Lomba Penulisan Cerpen Indigenous Universitas Jenderal Soedirman, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut