Sabtu, 15 Desember 2012

KISAH LULU (3)


Lulu sedang asyik bersepeda memutari jalanan sepanjang rumahnya. Jalan utama yang dihiasi beberapa pusat perbelanjaan besar itu masih lengang. Sesekali saja angkutan berwarna biru langit lewat, menunggu penumpang. Minggu yang cerah, meski matahari mengintip langit kotanya malu-malu. 

Lulu menyantap nasi pecel blitar terenak di daerah itu. Sendirian. Cuma empat ribu rupiah, dia bisa melahap nasi hangat, tempe dan tahu berbumbu kacang, dan sebuah kripik peyek besar. Tadinya, Kak Maudy, misanannya, mau ikut. Pukul lima pagi mereka berjanji bertemu di bundaran kampus. Namun, secara tiba-tiba Kak Maudy minta maaf tak bisa ikut. Dia harus menemui seseorang. Tanpa Lulu tanyakan, dia sudah mendapatkan jawabannya lewat senyum mengembang dan rutinitas serba cepat misanan yang kerjaannya serba a la puteri keraton itu. 

Orang-orang yang sedang makan di sampingnya membicarakan kekalahan tim sepakbola Indonesia melawan Malaysia. Sedangkan Lulu sendiri, dia tidak membicarakan apa-apa. Tangannya asyik mencoret-coret sebuah kertas. Dia menggambar pemandangan di hadapannya begitu saja. Bakat menggambarnya itu bisa saja muncul kala dia makan, tidur, atau sedang ulangan sekalipun. Yap. Selesai. Lulu mencak-mencak girang. Dia lalu mengambil sepeda, bersiap mengayuhnya lagi. 

Kali ini, Lulu mau menuju alun-alun. Sekalian mampir ke rumah bibi yang dekat dengan pasar besar. Oke, sepuluh kayuhan, ponsel Lulu berdering. Lulu memonyongkan bibirnya, semoga bukan ajakan kerja kelompok. Semoga bukan ajakan kerja kelompok... Syukurlah, bukan dari teman sekolah.

"Kamu dimana, Lu?" suara Kak Maudy terdengar tenang, tapi agak bergetar.

"Ini, lagi di persimpangan taman makam pahlawan, Mbak. Kenapa?"

"Mm.. bisa menjemput Mbak ke sini?"

"Memang acaranya sudah selesai?"

"Ya, begitulah. Cepat, yaa.." 

Telepon terputus. Lulu hapal, Kak Maudy adalah tipikal perempuan kalem dengan suara nyaris tak terdengarnya. Namun, pikirannya memberontak. Hanya dua jam untuk sebuah pertemuan? Apa secepat ini? Tanpa banyak basa-basi, Lulu putar arah, kembali ke bundaran kampus. 

Di jalan, mulai banyak mahasiswa yang jalan-jalan. Ada yang memakai kostum karate, ada yang pakai training, ada yang biasa saja, seperti pakaian anak kuliah pada umumnya. Dan Lulu menjumpai sosok perempuan berjaket krem itu, di bangku semen dengan tanaman merambat di atasnya. 

"Mbak Maudy..."

"Hey." Lulu melihat, Mbak Maudy tetap seperti dua jam yang lalu. Make-upnya masih sama, ekspresi wajahnya masih sama. "Ayoo, kita pulaang. Aduh, sudah lapar aku, Lu. Kamu sudah sarapan kan?"

Lulu mengangguk. "Sudah, Mbak. Biasa, tukang makan. Loh, si itu mana? udah selesai, ya? gitu aja?" kata-kata itu meluncur saja. Baru beberapa saat Lulu menyesal mengatakannya. 

"Ya. Sudah selesai. Yuk! Aku saja ya yang memboncengmu. Kamu kan udah kurusan gara-gara praktikum tiap hari."

"Hahaha. Mbak lebay ih. Nggak segitunya juga kali. Yuk!"

Lulu diboncang di belakang (memang mau dimana lagi?:o). Sepedanya melaju pelan, bertambah cepat, lalu cepat sekali. "Mbak, jangan kencang-kencang, dong. Santai, masih pukul tujuh.."

"Pakaianku belum kucuci, Say."

"Iya..." tak lama kemudian, Lulu protes. "Lo, katanya pakaian belum selesai, kok kemari?" mereka berhenti di depan warung siomay. 

"Aku pengen makan siomay di rumah kamu. Nggak papa ya?"

Sepulang dari warung siomay pun, sepeda Lulu masih dibonceng secara kencang. Makan apa sih, mbakku yang satu ini. Perut belum diisi, tapi sepeda bisa kayak gini. 

Sampai rumah, Mbak Maudy tergesa memarkir sepedanya. Dia berjalan setengah berlari. Memakai keset dengan cepat-cepat, cuci tangan cepat-cepat, mengambil sendok cepat-cepat, mengambil piring cepat-cepat. Dan makan cepat-cepat. 

Lulu memandangnya heran. Dia mau protes, niatnya mau mengajak bercanda. Tapi dia mengurungkan niatnya kala melihat air mata yang terbit dari kedua ujung mata Mbak Maudy. 

Mbak Maudy memakan makanannya cepat-cepat. Dia tidak menyapa sama sekali orang rumah. Apalagi menatap Lulu. Dia menunduk saja pada sepiring siomaynya. Sesekali mengejap-ngejap, sok sok kepedasan. Mengambil minum, lalu makan lagi. Begitu seterusnya. 

"Mbak..." ujar Lulu. Dia tidak tahan melihat Mbak Maudy terus-terusan seperti itu. Pasti ada yang salah. 

Mbak Maudy menoleh sebentar. "Tadi, aku, ketemu. Tapi, cuma, sebentar," katanya patah-patah. "Dia, terlambat. Harus, bertemu, temannya." Suaranya bertambah serak. "Hanya setengah jam.. bertemu.. lalu, tanpa senyum, tanpa ucapan selamat tinggal, tanpa kepastian."

Kali ini Mbak Maudy menuju dapur. Lulu tahu, misanannya itu sudah tidak tahan. Lulu berpikir, apa orang itu tidak tahu berapa kali Mbak Maudy bercerita tentang objek yang sama selama sehari. Apa orang itu tidak tahu, satu tahun didiemin aja masih betah. Apa orang itu tidak tahu, gimana Mbak Maudy ngikut ayahnya tinju buat nonjok-nonjokin busa tebal, untuk melampiaskan segala protes yang tak pernah keluar dari bibirnya. Dan, apa orang yang satu kelas dengan orang itu mengerti, perhatiannya yang berlebihan itu membuat orang lain sakit. Orang yang selalu mendoakan dari kejauhan. Orang yang tak pernah berharap akan dikunjungi tiga kali dalam seminggu. 

Dan, mungkin orang itu tidak tahu, sepuluh pukis yang dibeli Mbak Maudy tadi telah mendingin. Dibeli dengan semangat, dibawa penuh semangat, diberikan dengan ikhlas, dan dibawa pulang dengan getir. 

Lulu menangkupkan bantal ke kepalanya. Dia tidak mengerti. Dia tidak tahu hal-hal yang seperti itu. Lantas, dia harus bertanya pada siapa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut