Sabtu, 08 Desember 2012

PENCITRAAN


PENCITRAAN

Lagi-lagi aku mendapati sesosok bayangan yang sedang membungkuk itu. Tengah malam begini. Sendirian. Celingukan. Terkadang memandang ke kanan, terkadang memandang ke kiri. Sangat mencurigakan. Biasanya, yang dilakukannya adalah berjalan mengendap-endap melewati rumah kecilku, juga rumah-rumah tetanggaku, lalu berbelok ke kiri. Hilang. Tak ada kabar kemalingan atau apapun memang. Namun kurasa, yang dilakukan orang itu benar-benar ganjil.

         Bagaimana tidak ganjil jika dia hanya seorang diri berjalan –seperti tanpa arah?- dia tidak mabuk, terbukti dari jalannya yang tak sempoyongan. Dia juga tidak berjudi, karena yang kutahu markas judi terbesar ada di sebelah timur, bukan di sebelah barat. Yang paling membuatku penasaran adalah siapakah dia? Wajahnya selalu tertutupi caping hitam, persis ninja di televisi yang biasa ditonton anakku.

         Rupanya, malam ini aku mendapat jawabannya. Sesaat setelah selesai menonton sepakbola –sayangnya MU kalah, aku mendapati orang itu berjalan mengendap-endap lagi. Herannya, dia selalu berhasil berjalan sendirian kala orang terlelap. Biasanya satu dua ada saja yang jagongan, entah pos ronda atau apa. Namun dia tahu rupanya, mana jalanan yang sepi, mana pula jalanan yang ramai. 

          Dia datang dengan pakaian yang sama. Persis seperti orang yang mau pergi ke sawah. Yang membedakan adalah jaket tebal yang melapisi tubuh tambunnya yang kekar. Nah, nah, tubuh tambun? Rasa-rasanya aku pernah melihat orang yang seperti ini. Apa sih tujuannya?

        Ooh, lihatlah. Dia berhenti sebentar di depan rumah. Dia seperti melupakan sesuatu, lantas merogoh tas kantongnya. Aku terpekik. U, uang? Berapa jumlahnya? Tak kurang dari lima ratus ribu rupiah. Ngepet-kah dia? Lantas dia berlalu. Hanya deheman kecil yang tertinggal.

       Aku ingin sekali membuntutinya. Tapi juga ragu. Ragu kalau ketahuan olehnya. Jangan-jangan dia bukan pencuri. Jangan-jangan dia cuma ingin pergi ke sawah, atau menengok kekasihnya. Keinginan ini terus saja menggedor hatiku. Bagaimana ini?

         Ah, kubuka sajalah pintu rumah, lantas cepat kukunci. Dia mengendap-endap. Aku juga mengendap-endap. Cepat juga berjalannya orang itu. Dia seperti terburu-buru setelah melewati lapangan luas yang menjadi perbatasan desa. Lalu dia menikung, belok kanan, lalu belok kiri. 

       Apakah aku sedang bermimpi? Diketoknya pelan rumah seseorang –sepertinya rumah Mbok Darmi-. Lantas, ketika perempuan tua itu muncul, segera diserahkannya uang itu kepada Mbok Darmi. Darimana uang itu? Siapa dia? Apa motifnya? Pertanyaan itu masih berkecimpung di otakku. Aku bersembunyi di balik rerimbunan semak ketika orang itu berbalik ke arahku. Betapa terkejutnya aku ketika melihat orang yang berjalan itu adalah kepala desaku sendiri. Pak Sunyoto!

       Terburu juga aku mengikuti langkahnya. Ternyata dia langsung pulang. Rumahnya tak jauh dari sini. Aku tertegun sejenak. Ini pasti pencitraan. Ya, pencitraan! Seperti yang didengung-dengungkan orang-orang di televisi. Mutahil ada pimpinan desa yang mau membantu rakyatnya diam-diam. Dia pasti caper sama penduduk sini, untuk mencalonkan diri lagi. Tak mungkin tak ada yang mau dipuji. Iya kalau jamannya Kholifah Umar! Rahasia ini akhirnya kusimpan sendiri.

        Pagi menjelang. Istriku kaget ketika aku bertanya tentang Pak Sunyoto, “Tumben sampean tanya seperti itu. Tidak, dia tak bakal nyalon jadi kepala desa lagi. Dia sendiri yang bilang.”

       Banyak sekali perubahan ketika lelaki paruh baya itu memimpin. Jarang ada yang tawur lagi -karena desaku terkenal dengan celuritnya-, jarang pula ada yang protes karena pendistribusian raskin yang macet, dan sebagainya. Aku tergugu. Nanti malam, aku akan mengikutinya lagi.

      Benar saja. Dia datang lagi. Dia berjalan berjingkat lagi. Kali ini ke arah tepian sungai dekat perbatasan desa. Rumah Pak Dedi. Luar biasa, lagi-lagi dia memberi uang. Jika memang urusan ke Pak Dedi adanya, aku yakin dia sedang meminjamkan uang. Pensiunan guru itu curhat kepadaku kemarin tentang biaya sakit livernya. Apakah ini masih pencitraan?

      Keesokan paginya, aku mau kerja seperti biasa, berangkat ke pasar. Tapi si sulung sudah minta uang buat SPP. Padahal dagangan lagi sepi. Istriku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku bilang sabar ya, tapi dia sudah tak sabar lagi. UAS sudah menunggu. Ya nanti kucarilah di pasar, saat aku berdagang ikan.

     Ooh, ternyata sama saja. Tak ada yang mau meminjamiku. Apakah semua orang berubah menjadi pelit? Anaknya lagi ujian semua? Ya sudahlah. Mungkin aku akan pinjam ke mertuaku esok hari. 

     Sore aku baru sampai rumah. Lauk ikan asin sudah tersedia. Aku makan dengan lahap, dengan istri dan anak-anakku. Kalau keadaanku seperti ini, apakah pak kades mau sowan ke rumahku juga, ya? Lo, sekarang terpikir seperti itu. Kuteguk air putih yang rasanya kian tawar karena hidupku ini.

        Malam menjelang. Masih pukul sebelas malam. Aku tiduran sambil menggigit sarung yang membelit di kursi rotan. Aku tak mau ngarep-ngarep kedatangannya, kedatangan Pak Sunyoto. Namun semakin aku tak mau berharap, mata ini semakin tak bisa terpejam. Aku lupa belum sholat isya. Setelah itu, barulah agak tenang, meski demikian, aku tak sabar dengan apa yang akan terjadi.

       “Dok, dok, dok!” terdengar suara pintu diketuk. Seketika itu pula jantungku berdebar kencang.

       Segera aku beranjak, melihat dari tirai. Orang bercaping itu! Siapa? Kuteriakkan. Saya, Sunyoto. Terdengar desisan dari luar. 

    Benarlah yang kuduga. Kubuka pintu depan. Dia lantas masuk ke ruang tamu. "Ada apa Pak Kades malam-malam begini?" kataku memancing jawaban. Kemungkinan aku sudah tahu dia mau menjawab apa, tapi aku tutupi saja.

     Dia membuka capingnya, lantas berkata, “Pak Joko, ini buat SPP-nya Nak Andri ” Katanya tegas, langsung pada inti. ”Ibunya Andri sudah bercerita.”

    “Tapi saya tidak perlu dikasihani!” aku meradang. Aku memang butuh uang, tetapi aku tidak ingin mengemis sama orang.

     “Pak, ini pinjaman. Bukan uang sekadar pemberian. Kapan-kapan Bapak bisa mengembalikan ke saya. Tidak ada bunga. Bayar saja dengan uang yang sama, dua ratus ribu.”

     “Ini bukan pencitraan, kan?” aku terkaget, mengapa aku bisa keceplosan seperti itu. 

    “Insya Allah tidak. Saya ini sudah tua, sudah mulai penyakitan. Saya takut ketika mati tak banyak bekal. Jadi saya ingin membantu orang-orang sebisa saya, seperti Kholifah Umar. Lagipula, saya sudah tidak ingin menjadi kepala desa lagi. Ruwet, Pak..”

      Aku hanya melongo mendengar penjelasannya, juga ketika dia kembali memasang caping, lantas pergi. Ini amal baik, bukan pencitraan! Duh, Gusti, ternyata masih ada orang yang seperti Pak Sunyoto ini. Tak terasa aku menitikkan air mata. Aku sampai lupa berterima kasih kepadanya.* (Ruang Publik Radar Bromo, 2 Desember 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut