Selasa, 08 Januari 2013

SEBUAH KISAH DI SUDUT DESA LOK BAINTAN



SEBUAH KISAH DI SUDUT DESA LOK BAINTAN

Sebuah jeruk siam banjar menggelinding di atas lantai kayu. Berputar-putar, lantas berhenti. Galuh memungutnya, kemudian berlari ke dapur untuk mencucinya dengan air bersih. Dikupasnya buah berwarna hijau tua itu dengan cekatan. Saat kulit ari sempurna terkelupas, dia makan dengan lahap. “Segar! Segar!“ serunya sambil mengejap-ngejapkan mata. 

Syahbana, sang paman (yang sebenarnya hanya berumur dua tahun lebih tua itu), memperhatikannya, lalu berceloteh, “Kau masih seperti dulu, Luh, seperti anak kecil. Masih ingat tidak, saat kau bersemangat menaiki anak tangga Masjid Mujahiddin hingga nyaris tercebur ke dalam sungai?” 

Galuh seketika terbahak. Gigi-gigi putih mentimunnya terlihat. “Iih, Paman. Masih ingat saja. Iya, waktu itu umurku masih tujuh tahun. Imut benar, ya? Sarung buat sembahyang sudah basah, masih ditakut-takuti pula kalau ada ikan paus di sungai Paku Alam ini.”

Nenek Inggit tersenyum memperhatikan tingkah polah anak bungsu dan cucunya itu. Si Galuh, sang cucu, belum genap satu jam di rumah kayu ini, tetapi suasana rumah kian semarak saja akan kehadirannya. Lihatlah, pemilik pipi gembung itu telah menjelma menjadi gadis sehat nan ceria. Sekarang dia sudah kelas tiga SMP. Nenek Inggit juga masih menyimpan memori indah tentangnya. Pernah, suatu kali, Galuh kecil memancing bersama Syahbana hingga pulang membawa banyak ikan bawal. Dia juga meronta-ronta ingin naik jukung saat mau pulang ke Pontianak. Tentu saja, yang paling kelelahan adalah Syahbana. Pemuda yang sekarang duduk di kelas dua SMA itu harus mendayung jukung dari ujung Sungai Paku Alam hingga perbatasan Sungai Martapura. “Sekalian saja kudayung sampai Alun-alun Banjarmasin,” ungkap Syahbana saat itu.

Galuh sudah terlalu kangen dengan Desa Lok Baintan, tempat Nenek Inggit lahir, tumbuh, dan menghabiskan masa senjanya. Setahun sekali kemari, rasanya waktu melesat seperti angin kencang. Masih kurang. Dia senang bermain air di tengah deru klotok (perahu mesin) bermuatan para wisatawan. Dia menikmati salat di masjid terapung. Dia senang-senang saja naik jukung hanya untuk membeli satu kemasan deterjen bubuk untuk cucian nenek yang menggunung. Intinya, dia betah berada di Lok Baintan. Dia mau saja tinggal di sana andai kedua orangtua tidak berdinas di Pontianak. “Mumpung masih sore,  aku mau beli permen kacang di samping rumah itu, ah!”

“Tadi kamu kan sudah pergi ke warung kelontong. Akal-akalanmu saja, ya, biar bisa bermain air?!” seru Syahbana. Galuh hanya menjulurkan lidahnya.  

Gadis berambut ikal itu mengunyah permen kacang sembari mengayun-ayunkan kedua kakinya di depan rumah, di atas air Sungai Paku Alam yang dingin. Dipandanginya jejeran rumah berkayu yang berhadapan. Inilah Lok Baintan, sebuah desa di Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Air telah menjadi urat nadi kehidupan orang-orang Banjar, termasuk neneknya. Tak ada sepetak tanah di depan, di samping, maupun di belakang rumah. Mau melebarkan pandangan sampai berpuluh-puluh meter ke depan pun, keadaannya tetap sama. Mau ke toko, harus melewati air. Mau ke masjid pun harus melewati air. Mau ke sekolah, ya harus melewati air lagi. Namun inilah ciri khasnya, istimewanya. Berbeda dengan kehidupan Galuh di Pontianak yang seperti kehidupan penduduk pada umumnya.

Galuh memicingkan matanya ke arah dapur. Nenek sedang membersihkan tiga keranjang besar jeruk siam banjar, kegiatan rutinnya kala selesai berdagang di pasar terapung Lok Baintan. “Nek, mau saya bantu?” tawarnya dengan ekspresi bersemangat.

“Sini, Luh..” Keduanya membersihkan jeruk-jeruk hasil berkebun dengan kain halus satu per satu. Tak lama, makan siang sederhana terhidang. Nasi hangat lauk ikan bawal. Galuh menikmati momen langka itu. Kapan lagi seperti ini. Mumpung jatah liburan semester belum habis. Dan mumpung ayah dan ibu mengizinkan tinggal bersama nenek. Kenyang, Galuh mengusap-usap perutnya perlahan.

“Nenek, jukung-nya ada dimana?” tanyanya sembari mencari-cari sesuatu di belakang rumah. Yang dimaksud jukung adalah sebuah sampan kayu tradisional yang biasa dipakai para pedagang seperti nenek.

“Ada, dia aman terikat di sisi rumah sebelah utara…” benar, sampan cokelat panjang itu sedang mengapung tenang di atas sungai. 

“Nenek, mengapa harus berjualan di Pasar Terapung Lok Baintan? Mengapa tak mencoba berdagang di daratan saja?” Tanya Galuh memulai percakapan. Pertanyaannya lepas tanpa beban. Nenek Inggit meletakkan sendok kuahnya sebentar. Dia cukup kaget mendapat pertanyaan itu. Pertanyaan serupa yang sering dilontarkan Syahbana dengan intonasi yang membara. Melihat ekspresi neneknya yang penuh makna, Galuh menjadi ketar-ketir. 

“Mengapa kamu bertanya seperti itu, Luh?” tanya nenek balas bertanya. Tangannya sibuk membersihkan piring-piring yang kotor.

“Mm..” Galuh memutus perkataannya sejenak. Dia melirik Syahbana yang pura-pura sibuk mengumpulkan kail ikan. Syahbana menaruh telunjuk tangan kanannya ke mulut. Sejenak Galuh ragu. “Karena jumlah pedagang tak sebanyak dulu lagi, katanya. Penjual permen kacang itu yang bilang.” Tenggorokannya tercekat. Galuh menyesal harus berbohong. “Galuh dengar, keuntungan berjualan di daratan malah lebih besar daripada berjualan di atas jukung.

Terus, yang membuat Galuh penasaran, mengapa Nenek selalu menjual berpuluh-puluh tangkai jeruk siam banjar segar setiap hari? Mengapa tak menjual saja ikan bawal, kacang panjang, atau berbagai pakaian? Apa Nenek tak bosan?”

Syahbana menghadapkan wajahnya, turut mendengar pembicaraan. Dia menyulut perkataan Galuh. “Mama, Galuh saja bilang begitu. Berarti, ada bagusnya memang kita pindah saja ke daratan!”

Bu Inggit mengelap tangan sebentar, mengurai jeda, lalu menghadapkan wajahnya ke arah Galuh. Tak sedikit pun menoleh ke Syahbana. “Sudah berapa kali kamu ke Pasar Terapung Lok Baintan, Luh?”

Belum sempat menjawab, Syahbana main sela, “Mama pasti capai tiap hari harus mengayuh jukung sendirian, kan? Biarlah uang makan kita dari hasil kerja Syahbana menjadi penyewa klotok saja! Upah dari perahu bermesin itu cukup kok untuk makan.” Syahbana bersikeras.

“Mama bertanya kepada Galuh, bukan kepadamu, Syahbana. Sudah berapa kali kamu ke Pasar Terapung Lok Baintan, Luh?” Nenek mengulang pertanyaannya.

Bola mata Galuh berputar ke kanan dan ke kiri. “Ke Pasar Terapung di Lok Baintan, ya? Tiga kali saja, Nek. Itu pun sewaktu kecil. Ibu dan Ayah selalu datang kemari saat sore hari, lalu pulang menjelang malam.”

Nenek Inggit tidak kaget. Mereka berdua dibatasi waktu dan ruang hingga berada di tempat yang berbeda, dengan gaya hidup yang berbeda. “Kalau begitu, ikut Nenek berjualan besok pagi, yuk! Liburanmu kan masih panjang.” Ungkapnya bergeletar. Ada harapan besar melesak-lesak dalam dada.

“Dan tak usah dengarkan nasihat pamanmu itu. Dia terlalu kuat menyimpaan perkataan orang-orang yang tak pantas didengarkan…”

Galuh menengok Syahbana. Syahbana berbalas menatap. Tak mungkin lagi dia mendebat mamanya, mendebat kecintaannya. Dia juga gagal membujuk Galuh untuk membuat jera ibunya berjualan. Meski demikian, dalam hatinya ia bersyukur, sang ibunda tetap teguh pendirian.

“Tuh, kan, Paman. Apa aku bilang, mustahil untuk membujuk Nenek Inggit. Lagipula, sebenarnya aku tak keberatan kalau nenek berjualan...” bisik Galuh kepada Syahbana.

*

“Luh, ayo bangun. Kita berangkat sekarang!” seru nenek sambil menggoyangkan-goyangkan tubuhnya.

Galuh harus rela bangun tidur pukul empat pagi. Mau berjualan ke pasar terapung saja membutuhkan tekad yang besar. Dingin membuatnya memakai sebuah jaket tebal besar. Sementara Nenek Inggit siap dengan tanggui, pakaian khas banjar-nya. Begitu juga dengan caping rumbia yang sangat lebar. Tiga keranjang jeruk siam banjar sudah tertata rapi di atas jukung.

Nenek Inggit mengayuh jukung-nya dengan tenang. Setenang matahari pagi yang merayap di tengah horizon. Semarak jingganya mulai meluas. Setenang klotok yang belum dipenuhi puluhan pasang sepatu anak-anak sekolah. Sesyahdu suasana sunyi sehabis subuh. Berdua mereka menuju Sungai Martapura yang luas.

Akhirnya, aliran Sungai Martapura terbelah oleh ratusan jukung. Di bawah jembatan Lok Baintan, ratusan pedagang melimpah ruah. Kehidupan pagi yang baru mulai terlukis. Kanvas terhampar dari semesta pagi. Sementara warna-warni mengalir dari tangan-tangan pedagang yang saling menukar barang dagangan, senyuman para pembeli, dan kehadiran wisatawan.

          Galuh tercekat. Pemandangan ini, sama seperti peristiwa tujuh tahun lalu! Ratusan jukung menjalari aliran sungai Martapura ini. Pedagang apa saja, ada! Di sudut utara ada pedagang beras, di sampingnya ada pedagang pisang. Di sampingnya lagi ada yang menjual celana pendek. Mau makan apa saja, tinggal menukar jeruk siam banjar dengan segala yang diinginkan. Begitu pula dengan yang datang kemari. Tak hanya para pedagang yang akan menukar barang dagangannya, para wisatawan juga berdesakan. Mereka berdecak kagum atas pemandangan yang tak biasa ini.

Galuh diizinkan Nenek Inggit memakan apa saja. Dia asyik memakan soto banjar dengan suwiran ayam di atasnya. Habis makan, dia membeli sebuah buah mentega. Rasanya yang seperti manggis –dominasi manis dan asam- membuatnya lagi-lagi mengejap-ngejapkan mata bahagia.

“Bu Inggit, tukar sekantong jeruk siam banjarmu dengan ikan bawalku, ya!” seru seorang lelaki bercaping hitam. Jukungnya mendekati jukung nenek hingga berdempetan. Dari intonasi bicaranya, sepertinya ia benar-benar menginginkan jeruk-jeruk Nenek Inggit.

Nenek Inggit mengangguk. “Bolehlah, Pak. Kasman.” Dimasukkannya jeruk-jeruk itu. Tanpa sebuah timbangan. Naluri yang pasti. Ditukarnya dengan setengah kantong berisi ikan bawal putih yang masih segar. Galuh berdecak kagum. 

“Bu Inggit, mau menukar jeruk siammu dengan beras kepunyaanku?” seorang wanita ber-tanggui marun berseru. Dia pun sama. Salah satu sisi jukungnya menyentuh jukung nenek.

“Tidak, Bu Ratna. Terima kasih.” Nenek Inggit menolak halus. “Masih banyak persediaanku di rumah. Mm.. tapi, kalau mau, jeruknya ditukar dengan minyak goreng saja, ya?”

Tak hanya dua pembeli jeruk siam banjar yang mendekati Nenek Inggit, tetapi puluhan! Galuh sampai kelelahan melayani para pembeli. Yang harus diingatnya terus-terusan adalah, harga satu kilo jeruk untuk pembeli –termasuk wisatawan- dengan alat tukar uang adalah sepuluh ribu rupiah.

Matahari terasa merangkak lebih cepat. Pukul sembilan. Tiga keranjang besar buah jeruk nyaris habis. Jukung mereka terisi dengan sepuluh butir kelapa, empat kilogram minyak goreng, dua kilogram ikan bawal, dan juga dengan tiga buah pakaian hangat untuk Galuh. 

Wisatawan pun seperti tak ada habisnya. Sepasang turis di atas klotok menghampiri  Nenek Inggit dan Galuh. Yang lelaki berambut ikal, berjenggot tak tebal, tinggi, dan kulitnya putih pucat. Sementara sang wanita berambut lurus dikepang, berkacamata hitam, dan berkulit lebih gelap. Mereka mencoba jeruk siam banjar Bu Inggit. “Sejak kapan pasar terapung ini ada, Bu?” tanya sang wanita dengan bahasa Indonesia yang lancar.

“Sejak dua abad lalu, alias dua ratus tahun,” kata Nenek Inggit dengan yakin.  “Pasar Terapung Lok Baintan telah ada sejak jaman Kerajaan Banjar.

Kalau ingin melihat pemandangan terbaik di Sungai Martapura ini, pergilah sebentar ke Jembatan Gantung.” Nenek Inggit menutup penjelasannya dengan senyum yang merekah.
        
          Galuh menekuri segala yang dialaminya pagi ini. Lama. Rambut ikalnya terhempas angin. Jukung bergerak cepat oleh arus sungai yang mulai membesar.

“Sekarang, kamu tahu mengapa Nenek tak ingin ke tempat lain, seperti ke daratan atau tempat-tempat berbangunan besar itu, Luh?” tanya Nenek sambil memandang mata Galuh, dalam.
        
          Galuh mengangguk mantap. “Karena di Lok Baintan lah sebagian besar orang banjar memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk Nenek juga. Orang-orang dari luar Banjar bahkan sangat bersemangat mengunjungi tempat ini.” Dan pengabdian, Nek. Pengabdian Nenek lah yang membuat rezeki yang tak banyak menjadi lebih berkah.”
        
       Nenek Inggit mengangguk. “Ya, itulah mengapa Nenek tak mau pindah. Karena banyak yang kemari, membutuhkan kehadiran Nenek. Membutuhkan jeruk-jeruk siam banjar kita. Begitu pula dengan ratusan pedagang lain. Kami tak akan surut karena satu-dua iming-iming. Apalagi pasar terapung ini telah terkenal, bahkan sampai ke penjuru dunia.”
      
           “Oh, iya. Apa dulu Nenek bertemu Kakek di bawah jembatan layang ini?” tanya Galuh. Sepengetahuannya, tak ada satu pun yang tahu tentang kisah cinta nenek kesayangannya itu.
    
     “Menurutmu?” Nenek hanya menjawab sambil mengedipkan mata. Dia membiarkan sejenak Galuh menebak-nebak bagian sejarah hidupnya itu. “Mungkin saja.”
 
         “Ya, kami bertemu di sini, di Sungai Martapura. Empat puluh tahun lalu, Nenek menjadi pedagang jeruk siam banjar yang masih muda dan kakekmu menjadi menjadi pedagang bawal yang ramah. Kami bertemu pada suatu pagi yang indah. Sangat indah.” Galuh mulai menebak, jangan-jangan minat memakan ikan bawal diturunkan dari sang kakek. 

Ratusan pedagang Lok Baintan mulai menyusut hingga tampak beberapa orang saja. Nenek Inggit dan Galuh pun bersiap pulang, membelah Sungai Martapura yang berkilauan oleh sinar mentari.

Lihatlah, Galuh telah membuka cakrawalanya terhadap Pasar Terapung Lok Baintan. Di dadanya terpatri janji ‘tuk lebih sering mengunjungi nenek dan juga Pasar Terapung Lok Baintan. Semoga kau pun juga begitu.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut